Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Platonic Relationship: Sang dan Florencia
Florencia memotong poninya lagi. Sang bertaruh ia melakukannya sendiri. Kini, sang gadis terlihat lebih imut, meskipun orang lain akan mengatakan bahwa gayanya aneh.
Florencia hanya menguncir rambut lurusnya itu secara sederhana, tetapi rapi. Ia melakukannya siang ini. Sang tahu karena pagi tadi ia melihat Florencia masih menggeraikan rambutnya.
Florencia membetulkan letak kacamatanya. Ia mengenakan kemeja resmi berwarna hijau tua, celana panjang hitam, dan sepasang sepatu boots. Sangat berciri khas si Sia Sia.
Satu hal yang tidak mungkin hilang sebagai kesan seorang Florencia bagi Sang, kecantikannya. Terlalu sulit bagi Sang untuk tidak terpengaruh dengan ini.
Florencia berbicara di pantry dengan Sang, tanpa mimik wajah tertentu.
Sang menengok ke samping, ke arah gadis cantik itu, kemudian tersenyum. “Tahu. Hubungan akrab, intim, tetapi tidak melibatkan rasa cinta, atau … hmm … seks?”
Florencia mengangguk. “Kalau gitu, gimana, Pak? Eh, aku mau dong bikin teh juga, pakai gula tapi. Butuh glukosa buat tenaga hari ini,” ujar Florencia. Seperti biasa, mengubah tema percakapan sesuka hati.
“Kalau gitu gimana?” tanya Sang. Keningnya mengerut.
“Ya gitu.” Florencia mengambil cangkirnya yang terisi penuh dengan air panas dan teh celup Lipton. Ia memasukkan satu sugar stick dan mengaduknya, kemudian berjalan keluar pantry. Ia memberikan tanda agar Sang mengikutinya.
Florencia duduk di kursi meja kerjanya. Lagi-lagi tidak ada Dina di sana. Gadis itu memang memiliki tugas lapangan yang membuat ia lebih sering meninggalkan bangku. Kadang harus ke divisi percetakan atau desain fisik.
Sang duduk di sana.
“Sampai mana tadi, Pak? Oh, iya. Platonic relationship,” lanjut Florencia.
Sang terkekeh. “Sampai mana? Memangnya kita kemana-mana? Kan belum ada yang dibahas, Flo.”
Florencia kini yang meringis. “Eh, iya.”
Sang mereguk teh tanpa gulanya. “Kamu serius, ehm … soal apa yang kamu omongin waktu itu? Yang … ehm …”
“Suka sama pasangan orang? Iya, Pak. Lebih tepatnya, suami orang.”
Florencia mengutarakannya dengan santai, terlalu santai. Sampai-sampai Sang tahu bahwa hati di dalam gadis itu yang bertindak sebaliknya. Pasti butuh keberanian luar biasa untuk mengatakan hal ini.
“Flo. Ehm … pelan-pelan saja, boleh? Saya minta maaf karena, ehm … udah terlalu gamblang waktu itu.”
Flo mengangguk. Ia sepertinya menahan malu, dan air mata.
Sang menghela nafas. “Kok bisa?”
Florencia melirik ke arah Sang. “Kok bisa apanya?”
“Kok bisa ada, ehm … rasa itu?”
“Bapak sendiri? Kok bisa?”
“Kamu dulu, dong. Kan saya yang tanya pertama,” protes Sang.
Florencia memalingkan wajah, tidak hendak beradu pandang dengan orang yang membuatnya kacau balau itu.
“Apa ya? Dewasa, nyambung. Ehm … perhatian, good-looking.”
“What?! Good-looking darimananya, Flo? Ngelantur kamu, ya.”
Florencia langsung merasa malu. Ia hendak meninggalkan planet ini untuk tinggal di Mars saja rasanya.
Sang sadar. “Kamu itu yang cantik, Flo. Eh … sori, jadinya terkesan cringe.”
Florencia memberanikan menatap sepasang mata Sang. Ia tahu, laki-laki itu jujur.
“Eh, tapi bukan itu alasan utamanya. Maksud saya, bukan berarti kamu nggak cukup cantik ya, Flo. Kamu itu, ah, sialan, Flo. Kamu itu memesona. Cara berpakaian kamu yang nggak biasa itu malah, malah membuat kamu semakin, menarik. Tapi, kamu pintar banget, jadi, sama seperti apa yang kamu bilang, saya merasa nyambung, dapat chemistry-nya.”
“Bukannya sifat aku jelek, ya, Pak? Bapak aja berkali-kali pengin mukul aku karena nyebelin. Juga sering nggak sopan.”
“Memang, memang nyebelin. Aneh juga kan kamu, Flo,” Sang terkekeh.
Florencia menundukkan wajahnya. “Terus, Bapak merasa empati sama aku. Terus, terus, lama-lama, ehm … tumbuh rasa? Gitu?”
“Sang menyandarkan punggungnya dan mendesah. “Kurang lebih gitu, lah, Flo. Nggak nyangka perasaan itu semakin dalam. Saya kecanduan dengan kehadiran kamu. Awalnya, dengan kamu ada aja saya sudah senang. Sekarang, saya pengin lebih. Interaksi sama kamu, ngobrol, liat kamu ketawa. Damn!”
Florencia tertawa. Ia tersipu. Wajahnya memerah.
“Kok bisa, ya, Pak?”
Sang mengedikkan kedua bahunya.
“Jadi, gimana kita, sekarang, Flo?”
Florencia meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Kemudian, seperti memberanikan diri, membalik tubuhnya menghadap Sang. Ia menatap laki-laki itu dalam-dalam. “Pak, aku, eh … aku sayang sama Bapak. Aduh, malunya. Mungkin cinta, aku nggak tahu. Tapi, aku tahu semuanya salah. Bapak juga. Di sisi lain, jujur, Pak. Aku nggak bisa jauh dari Bapak. Kalau, kalau … kita bersahabat. Maksudnya, bersahabat lebih dekat, gimana Pak? Ala-ala platonis.”
Sang balas menatap mata indah sang gadis. “Memangnya kita nggak melibatkan rasa cinta?” Sang ingin tertawa geli.
“Ya, mungkin, mungkin dengan begitu, pelan-pelan, hubungan kita akan jadi platonis.”
Sang tak tahan untuk tidak tertawa. Geli, sekaligus gemas dengan gadis itu. “Kamu nggak mau kita sama-sama menghindar aja sekalian, Flo?”
“Bapak mau?”
Sang menggeleng. Pelan, tapi pasti. “Nggak tahu, deh.”
“Ih, Pak. Harusnya aku yang nggak jelas gitu. Aku kan komorbid, Bapak kan normal.”
“Kalau soal cinta, komorbid atau normal, bakal sama-sama jadi gila, Flo. Saya udah bilang kalau sekarang kita imbang, kan? Sama aja.”
Florencia mereguk tehnya kembali.
“Pak, maaf, ya. Aku serius. Aku nggak tahu harus pakai kalimat yang gimana untuk menjelaskan ini semua. Aku kacau, dan makin kacau karena tahu ternyata Bapak juga kacau. Perasaan itu numpuk-numpuk, malah makin buat aku kacau.”
Sang tidak menutup-nutupi lagi caranya memandang Florencia. Keterpesonaannya pada gadis itu sudah lama disembunyikan di dalam berbagai alasan.
Florencia sadar, tetapi tak menolaknya. “Jadi, gimana menurut Bapak? Maksudku, itu tadi, ehm … hubunan platonis?”
Sang tersenyum. “Ide yang bagus. Masih bisa dekat, ehm, kasih perhatian, tahu sama tahu, sambil pelan-pelan mengubah rasa. Seiring waktu kita bisa jadi sahabat beneran, tanpa … tanpa rasa.”
Walaupun Sang mengucapkannya dengan tenang, bahkan Florencia pun tahu betapa pedih kalimat itu terdengar.
Florencia tersenyum. Ia mengulurkan tangannya yang disambut lembut oleh Sang, tetapi jabatan tangan itu kokoh. Keduanya tertawa, perih, tetapi kelegaan di dada mereka tidak bisa dipungkiri. Ada kenyamanan yang tidak perlu dibuang. Ada rasa percaya yang tidak perlu disingkirkan. Ada kejujuran yang tidak perlu dibungkam.
“Aku suka, ehm … dagu Bapak,” Florencia tertawa kencang. Wajahnya memerah. “Udah lama mau bilang ini, tapi nggak mungkin, kan? Jadi, dibanding menyimpan lama, mending aku jujur aja sekarang.”
Sang menggelengkan kepalanya. “Saya suka … suka sekali, bibir kamu.”
Florencia yang wajahnya sudah memerah itu seperti akan meledak. “Pak! Jangan gitu. Itu sih seksual,” ujarnya protes, meskipun Sang pun tahu Florencia merasa tersanjung.
“Well, what can I say? I can’t lie, you’re hot.”
Kali ini Florencia sungguh meledak. Ia mencubit lengan Sang, tindakan yang tidak pernah ia lakukan sama sekali selama ini. Sang menahan jeritan, kemudian mengusap-usap lengannya yang habis dicubit tadi.
Jadi kek biarlah rahasia dia pernah mencintai perempuan lain selain ibu mereka dibawa sampe kubur.
penasaran sama perasaan Florentina, sbnrnya Florentina ada kepekaan nggak sama Sang Rakyan?
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.