Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Penantian yg dinanti,luka yg belum sembuh,dan harapan yg kembali menyala
Malam itu, Asillah sulit memejamkan mata. Bayangan Aisyah dengan tatapan penuh amarah dan tuduhan yang menyakitkan terus berputar di benaknya. Ia merasa bersalah, menyesal, dan takut. Takut jika pertemuan esok hari justru akan memperburuk keadaan. Takut jika Aisyah semakin membencinya. Takut jika Alfin sudah tak lagi mencintainya.
Namun, di sisi lain, ada secercah harapan yang menyala dalam hatinya. Harapan untuk memperbaiki hubungan dengan Aisyah, harapan untuk kembali bersama Alfin, dan harapan untuk membangun keluarga yang utuh dan bahagia.
Pagi harinya, Asillah bangun dengan perasaan campur aduk. Ia mempersiapkan diri dengan hati-hati, berusaha tampil sebaik mungkin di hadapan Alfin dan Aisyah. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun rapi, dan merias wajahnya tipis-tipis. Ia ingin terlihat kuat dan tegar, meskipun hatinya sedang rapuh.
Setelah selesai bersiap-siap, Asillah menghampiri kamar Aisyah. Ia mengetuk pintu dengan lembut dan memanggil nama Aisyah.
"Sayang, bangun yuk. Hari ini kita mau ketemu Papa," kata Asillah, dengan nada lembut.
Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Asillah merasa khawatir dan membuka pintu kamar Aisyah perlahan-lahan.
Ia melihat Aisyah masih tertidur pulas di ranjangnya. Wajahnya tampak pucat dan matanya sembab. Asillah merasa iba melihat putrinya yang masih kecil harus menanggung beban emosi yang begitu berat.
Ia mendekati Aisyah dan mengelus rambutnya dengan sayang. "Sayang, bangun yuk. Papa sudah menunggu kita," bisik Asillah, di telinga Aisyah.
Aisyah menggeliat dalam tidurnya dan membuka matanya perlahan-lahan. Ia menatap Asillah dengan tatapan kosong.
"Mama bohong. Papa nggak sayang sama Aisyah," gumam Aisyah, dengan suara serak.
Asillah merasa hatinya sakit mendengar perkataan Aisyah. Ia berusaha untuk menenangkan Aisyah dan meyakinkannya bahwa Alfin masih menyayanginya.
"Nggak sayang. Papa sayang banget sama Aisyah. Makanya, hari ini kita mau ketemu Papa. Aisyah mau kan ketemu Papa?" kata Asillah, dengan nada lembut.
Aisyah terdiam sejenak. Ia tampak ragu dan bimbang.
"Beneran Papa sayang sama Aisyah?" tanya Aisyah, dengan tatapan penuh harap.
"Beneran sayang. Papa kangen banget sama Aisyah," jawab Asillah, meyakinkan Aisyah.
Aisyah kemudian bangkit dari ranjangnya dan memeluk Asillah erat. "Aisyah juga kangen Papa," bisik Aisyah, di telinga Asillah.
Asillah membalas pelukan Aisyah dan mencium keningnya dengan sayang. Ia merasa lega karena Aisyah mau bertemu dengan Alfin.
Setelah itu, Asillah membantu Aisyah bersiap-siap. Ia memilihkan pakaian yang paling bagus untuk Aisyah dan menyisir rambutnya dengan rapi. Ia ingin Aisyah terlihat cantik dan ceria saat bertemu dengan Alfin.
Setelah selesai bersiap-siap, Asillah dan Aisyah berangkat menuju tempat yang telah disepakati dengan Alfin. Selama perjalanan, Aisyah tampak gelisah dan tidak sabar untuk bertemu dengan ayahnya.
"Mama, Papa udah nunggu kita belum?" tanya Aisyah, berkali-kali.
"Sabar ya sayang. Sebentar lagi kita sampai," jawab Asillah, dengan nada menenangkan.
Akhirnya, mereka sampai di tempat tujuan. Asillah melihat Alfin sudah menunggu mereka di depan sebuah taman bermain. Wajahnya tampak lelah dan cemas.
Saat melihat Asillah dan Aisyah datang, wajah Alfin langsung berubah cerah. Ia tersenyum lebar dan menghampiri mereka dengan langkah
Melihat Alfin, Aisyah langsung berlari menghambur ke pelukannya. "Papa!" teriaknya riang, melupakan sejenak amarah dan kekecewaannya pada Asillah.
Alfin menyambut Aisyah dengan pelukan erat, menciuminya berkali-kali. "Aisyah sayang! Papa kangen banget sama Aisyah!" ucapnya, dengan suara bergetar menahan haru.
Asillah hanya bisa terpaku melihat pemandangan itu. Hatinya menghangat melihat Aisyah kembali ceria, namun juga terasa nyeri karena ia tahu kebahagiaan itu belum sepenuhnya miliknya.
Alfin kemudian melepaskan pelukannya dari Aisyah dan menatap Asillah dengan tatapan penuh penyesalan. "Asillah... maafkan aku," ucapnya lirih.
Asillah mengangguk pelan, berusaha untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, Alfin. Yang penting sekarang Aisyah sudah bertemu denganmu," jawabnya, berusaha menyembunyikan luka di hatinya.
Alfin kemudian menggandeng tangan Aisyah dan mengajak mereka masuk ke dalam taman bermain. Aisyah tampak sangat senang dan bersemangat. Ia berlari ke sana kemari, mencoba semua wahana permainan yang ada.
Alfin dengan sabar menemani Aisyah bermain. Ia tertawa, bercanda, dan menggendong Aisyah berkeliling taman. Asillah hanya bisa mengikuti mereka dari belakang, mengamati interaksi ayah dan anak itu dengan perasaan campur aduk.
Sesekali, Aisyah menoleh ke arah Asillah dan tersenyum. Namun, senyum itu tidak sampai ke matanya. Asillah bisa merasakan ada jarak yang tercipta antara dirinya dan Aisyah.
Saat Aisyah sedang bermain ayunan, Alfin menghampiri Asillah dan duduk di sampingnya. "Terima kasih sudah mau mempertemukan Aisyah denganku," ucap Alfin, dengan nada tulus.
"Sama-sama, Alfin. Aku tahu Aisyah sangat merindukanmu," jawab Asillah, berusaha untuk bersikap biasa.
"Aku tahu aku sudah membuat kesalahan besar. Aku sudah menyakitimu dan Aisyah. Aku sangat menyesal," kata Alfin, menatap Asillah dengan tatapan penuh penyesalan.
"Aku sudah memaafkanmu, Alfin. Tapi, aku tidak tahu apakah aku bisa melupakan semuanya," jawab Asillah, dengan nada lirih.
"Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu dan Aisyah. Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan kembali kepercayaanmu," kata Alfin, menggenggam tangan Asillah dengan erat.
Asillah tidak membalas genggaman Alfin. Ia hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Alfin. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Aisyah," kata Asillah, mengalihkan pandangannya ke arah Aisyah yang sedang bermain ayunan.
Alfin menghela napas panjang. Ia tahu, ia harus berusaha keras untuk mendapatkan kembali hati Asillah dan Aisyah.
Setelah puas bermain di taman, Alfin mengajak Asillah dan Aisyah untuk makan siang di sebuah restoran. Selama makan siang, Aisyah tampak lebih ceria dan banyak berbicara dengan Alfin. Ia menceritakan semua hal yang telah ia lakukan sejak terakhir bertemu dengan Alfin.
Asillah hanya bisa mendengarkan percakapan mereka
Suasana hangat dan ceria di restoran tiba-tiba berubah menjadi tegang dan dingin. Aisyah, yang tadinya riang bercerita pada Alfin, tiba-tiba terdiam dan menatap Asillah dengan tatapan penuh amarah.
"Aisyah mau sama Papa aja!" serunya tiba-tiba, memecah keheningan.
Asillah dan Alfin terkejut mendengar perkataan Aisyah. Mereka saling bertukar pandang dengan cemas.
"Sayang, kenapa bicara seperti itu? Mama kan juga ada di sini," kata Asillah, berusaha menenangkan Aisyah.
"Mama jahat! Mama lebih memilih sering ketemu Om itu daripada Papa!" balas Aisyah, dengan nada yang semakin meninggi. Air mata mulai membasahi pipinya.
Kata-kata Aisyah menghantam Asillah seperti palu godam. Ia merasa malu, bersalah, dan tidak berdaya. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pada Aisyah bahwa ia tidak bermaksud untuk menyakitinya.
Alfin mencoba untuk menenangkan Aisyah. "Sayang, jangan bicara seperti itu. Mama sayang sama Aisyah dan Papa," kata Alfin, dengan nada lembut.
"Nggak! Mama bohong! Mama udah nggak sayang sama Papa lagi! Mama cuma sayang sama Om itu!" seru Aisyah, dengan air mata yang semakin deras mengalir. Ia menunjuk Asillah dengan jari telunjuknya, tatapannya penuh dengan kekecewaan.
Asillah merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia tidak tahan lagi mendengar tuduhan Aisyah. Ia bangkit dari kursinya dan berlari keluar restoran, meninggalkan Alfin dan Aisyah yang terkejut.
Alfin segera menyusul Asillah keluar restoran. Ia melihat Asillah berdiri di pinggir jalan, menangis sejadi-jadinya.
"Asillah, tunggu!" seru Alfin, menghampiri Asillah dan meraih tangannya.
Asillah menepis tangan Alfin dan menatapnya dengan tatapan yang penuh kesedihan. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Alfin. Aku sudah menyakiti Aisyah. Aku sudah menghancurkan keluarga kita," ucap Asillah, dengan suara bergetar.
"Ini bukan salahmu, Asillah. Ini salahku. Aku yang sudah berbohong padamu. Aku yang sudah membuat Aisyah bingung," balas Alfin, mencoba untuk menenangkan Asillah.
"Tidak, Alfin. Ini juga salahku. Aku yang sudah membawa Arya ke dalam kehidupan kita. Aku yang sudah membuat Aisyah berpikir bahwa aku tidak menyayanginya lagi," kata Asillah, menggelengkan kepalanya dengan putus asa.
"Kita bisa memperbaiki semuanya, Asillah. Kita bisa bicara dengan Aisyah. Kita bisa menjelaskan padanya bahwa kita berdua menyayanginya," kata Alfin, menggenggam tangan Asillah dengan erat.
"Aku tidak tahu, Alfin. Aku tidak tahu apakah Aisyah akan mempercayaiku lagi. Aku takut ia akan terus membenciku," ucap Asillah, dengan air mata yang semakin deras mengalir.
Tiba-tiba, Aisyah keluar dari restoran dan menghampiri Asillah dan Alfin. Wajahnya masih basah oleh air mata.
"Papa... Aisyah mau sama Papa aja. Aisyah nggak mau sama Mama," kata Aisyah, meraih tangan Alfin dan memeluknya erat.
Asillah merasa seperti ditusuk ribuan jarum di hatinya mendengar perkataan Aisyah. Ia merasa tidak berdaya dan tidak berguna. Ia merasa telah kehilangan segalanya.
Alfin memeluk Aisyah erat dan menatap Asillah dengan tatapan yang penuh penyesalan. "Asillah... aku mohon, jangan menyerah. Kita bisa melewati ini bersama-sama," ucap Alfin, dengan nada memohon.
Asillah hanya bisa menatap Alfin dan Aisyah dengan tatapan yang kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa telah mencapai titik