Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan Bersama 2
Aku menoleh pada Hanif yang menahan senyumannya. Laki-laki itu mengangguk pada gadis yang merangkul tanganku dengan erat.
"Teteh kamu itu kaget kalau kayak gitu reaksinya," tegur Hanif pada adiknya.
Gadis itu menoleh padaku lalu terkekeh sembari melepaskan tangannya, "maaf ya teteh!! Soalnya dari kemarin-kemarin pengen ketemu malah gak dibolehin sama abang."
"Gak boleh karena kamu suka agresif, dia jadi takut tau gak," timpal Hanif.
Aku menahan senyuman mendengarnya, tapi tiba-tiba mengingat abang. Pasalnya, aku tidak pernah merasa seperti itu ketika mendapatkan kakak ipar.
Dulu, saat abang mengenalkan teteh ke keluarga—wanita itu tidak banyak bicara dan bahkan sama sekali sepertinya tidak ada niatan untuk dekat denganku ataupun mertuanya.
"Kenalan dulu dong!" ucap Hanif dengan senyumannya padaku.
"Teteh salam kenal ya! Aku seyilla, adiknya bang hanif. Teteh panggil aku adik boleh, panggil yila juga boleh," ucapnya.
"Nama teteh, Riyani," jawabku.
"Udah tau kok, ibu juga udah tau bahkan," timpalnya membuatku menoleh pada Hanif dengan banyak pertanyaan.
Apa dia sudah banyak berbicara tentangku pada orang tuanya?
Hanif melirik jam di tangannya, "yuk kita masuk dulu aja! Kayaknya sebentar lagi mau mulai," ajaknya membuatku mengangguk.
Hanif mengajakku untuk duduk di kursi belakang, sedangkan adiknya kembali pada kursi keluarga yang disediakan bersama dengan kedua orang tuanya.
Acara akad nikah pun dimulai, nampak pengantin pria sudah duduk dengan wajah tegangnya. Pengucapan akad nikah pun begitu lancar hingga tidak banyak waktu terbuang.
Aku menoleh pada Hanif, "kalau Aa nanti ngucapin akad begitu bakal nangis gak?"
"Tergantung," jawabnya singkat.
"Kok tergantung?" tanyaku lagi dengan heran.
"Tergantung kamu, kalau kamu nanti pas ketemu Aa-nya ketawa ya pasti ikut ketawa walaupun udah nangis," jawabnya membuatku mendecak lalu mencubit pinggangnya pelan.
Hanif terkekeh setelahnya, selama acara akad nikah dan juga upacara adat—hanif hanya menggenggam tanganku dengan erat. Sesekali laki-laki itu membisikkan tentang beberapa tamu undangan yang datang.
Selepasnya, Hanif mengajakku untuk menemui orang tuanya di meja keluarga. Aku sempat ragu, namun jika tidak percaya pada diri sendiri dan juga Hanif mungkin hubungan kita juga tidak akan berkembang.
Wanita paruh baya dengan kebaya yang persis seperti yang kupakai itu tersenyum lalu berdiri seolah menyambut kedatanganku.
"Riyani kan?" tanyanya.
Aku mengangguk dengan senyuman lalu bersalaman padanya dan juga ayah hanif yang juga tersenyum menatapku.
""Ayo sini duduk deket ibu!" ajak ibu Hanif membuatku menoleh pada Hanif yang sejak tadi tersenyum seolah senang melihatku disambut dengan baik oleh keluarganya.
"Kamu kenapa baru mau ketemu sama ibu? Padahal kan udah berbulan-bulan kenal sama Hanif," tanyanya.
Aku sempat menoleh pada Hanif.
"Kan Abang udah bilang bu, abang memastikan dulu hubungan kita mau dibawa kemana. Terus alhamdulilah, cewek yang abang suka mau diajak serius, ditambah orang tuanya juga nyambut abang dengan baik," jawab Hanif.
"Kamu kok bisa suka sama anak ibu? Dia itu emang ramah sama orang tapi kalau sama cewek kayaknya baru kali ini ngeliat dia gandeng tangan cewek," ledek ibu membuatku terkekeh.
"Nanti nginep aja ya di rumah ibu, ke Cianjur kan cuman 1 jam aja," ucap ibu hanif padaku.
"Kan abang kerja besok, bu,"
"Ih orang ibu ajakin neng, bukan kamu,"
"Tapi kan dia juga gak mau nginep kalau sendirian," timpalnya, "iya kan?" tanya Hanif sembari menoleh padaku.
Aku tersenyum lalu mengangguk, "lain waktu aja ya bu! Neng juga besok kan bagian kerja."
"Tapi bener ya nginep kapan-kapan ke sana?" Aku mengangguk, "insyaallah bu."
"Ya kalau ibu kasih restu, nanti bisa kapan-kapan nginep di sana. Kan bakal kunjungan ke rumah mertua kalau udah jadi menantu," ujar Hanif membuatku menoleh padanya dengan pipi memerah malu. Aku mencubit pahanya pelan hingga laki-laki itu terkekeh dengan gemasnya.
"Ih ibu udah kasih restu dari awal hubungan kalian. Apalagi setelah ketemu neng, ibu makin yakin kalau mau jadiin neng menantu," ucap Ibu membuatku tersipu malu.
Setelah mengobrol cukup lama, aku juga dikenalkan pada beberapa keluarga dekat Hanif—termasuk pada keluarga pengantin.
Aku juga ikut prasmanan bersama Hanif yang ikut mengantri di belakang.
"Aa mau makan banyak?" tanyaku.
"Ini prasmanan neng bukan mukbang," usilnya membuatku mencubit tangannya yang menggenggam sejak tadi.
"Emangnya kenapa?"
"Neng gak mau makan, tapi udah ngantri di sini," jawabku.
"Kan kamu belum makan daritadi pagi, masa gak mau makan," timpal Hanif.
"Neng—"
"Kamu diet bukan latihan meninggal, jadi makan aja. Sesekali gak apa-apa makan rendang san segala macam, kan kamu juga gak makan sama tempatnya," ucap Hanif mengomeli.
Pada akhirnya, aku tetap makan—dengan ayam suwir pedas, gado-gado, dan juga sayur sup. Ditambah dengan kerupuk udang dan juga es krim yang kubawa duluan.
Hanif menggelengkan kepalanya, "katanya tadi ada yang bilang gak bakal makan."
Aku mendelik padanya, "katanya tadi disuruh makan karena takut kelaparan. Sekarang malah diledek."
Hanif terkekeh mendengarnya, "iya deh iya gak bakal menang ngeledek kamu mah. Makannya pelan-pelan aja." Laki-laki itu juga menyiapkan air minum untukku.
Ia menggeser cup es krimnya padaku, "buat kamu aja. Aa kurang suka."
Aku mengulas senyuman padanya, "makasih!"
"Sama-sama," jawabnya dengan senyuman.
Beberapa keluarga hanif tersenyum melihat kita berdua, apalagi memang Hanif dikenal jarang berbaur dengan keluarganya yang tidak begitu dekat. Terutama dengan cewek yang kadang mengajak kenalan lebih dulu.
Setelah makan selesai, aku terus menggaruk leher yang terasa begitu gatal.
"Kenapa neng?" tanya Hanif merasa heran.
Aku menggelengkan kepala, "gak tau A. Kok gatel ya leher aku," ucapku sembari terus menggaruk leher.
Hanif terlihat mulai panik, laki-laki itu mencari adiknya—meminta Yila untuk mengecek leherku.
"Loh teteh makan apa? Ada alergi ya?" tanya Yila membuat Hanif cukup terkejut.
"Aku gak makan yang aneh, kenapa bisa gini?" tanyaku pada Hanif yang juga kini kebingungan.
"Udah gatel banget ya?" tanya Hanif sembari memegangi tanganku. Aku mengangguk dengan wajah yang mulai memerah karena mulai gatal.
"La, ayah bawa mobil kan?" tanya Hanif dianggukinya, "minta tolong buat bawain kuncinya gih! Abang bawa teteh ke parkiran."
"Ya udah abang tunggu ya!" ucap Seyilla langsung pergi mencari ayahnya yang tadi pergi untuk mengurus sesuatu.
Hanif memapah ku ke parkiran, laki-laki itu terlihat panik karena memang wajahku mulai sedikit bengkak.
"Jangan dulu digaruk ya! Takut lecet," pintanya.
"Tapi gatel, A," keluhku mulai menangis.
"Iya sebentar ya! Aa obatin nanti," ucapnya sembari menggenggam tanganku.
Tidak lama setelahnya, Seyilla datang dengan kunci mobilnya. Hanif membuka kuncinya, ia membantuku untuk duduk sebentar di dalam—lalu mencari kotak p3k yang selalu ada di mobil ayahnya.
Memang bukan salep khusus alergi yang ada si kotak itu, tapi masih bisa mengatasi rasa gatal dari alergi. Setidaknya leher dan wajahku bisa diatasi segera.
"La tunggu di sini ya! Temenin abang sama teteh," pinta Hanif.
"Emangnya kenapa pake ditemenin bang?" tanya Seyilla dengan kebingungan.