Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Abel belum juga kembali. Tapi ketimbang langsung koar-koar, Anjani memutuskan untuk berkeliling lebih dulu, siapa tau bisa menemukan Abel di tempat-tempat terdekat. Si hebring itu, ‘kan, paling gemar kalau disuruh nongkrong, kedip sebentar teman barunya pasti sudah nambah lagi.
Ruang sekretariat, sepertinya tidak ada. Tenda PMR pun hanya menyisakan Raka dan teman-temannya. Anjani lantas menatap salah sat tenda sebagai kemungkinan terakhir.
“Abel nggak nangkring di tendanya Laksa, ‘kan? Seharusnya sih enggak kalau dia nggak mau digerebek sama warga.”
“Oi! Masih kelayapan aja lo, mau gabung sama geng perkuntian kah?”
Anjani buru-buru menarik Dito, membawanya pada area sudut agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh siapapun.
“Abel belum balik ke tenda,” bisiknya.
“Lah, masa? Lagi apelin Laksa kali. Dia, ‘kan, emang paling demen nangkring di tenda orang lain.”
“Nggak ada elah. Tendanya aja udah ditutup kayak gitu, ya, kali si Abel diajak masuk ke tenda.” Anjani tolah-toleh lagi. “Lo dari sekretariat, ‘kan? Bocahnya ada di sana kagak?”
“Kagak. Kalau ada, gue nggak akan keluar tenda sambil nyeker begini. Sendal gue, ‘kan, dipakai sama dia.”
“Abel pergi ke mana, ya, To? Masa dia diculik sih?”
Dito mendengus, agak mencemooh ucapan sahabatnya. “Orang tidak beruntung mana sih yang mau culik dia? Untung kagak, buntung iya. Yang ada pada tekor karena Abel banyak makannya.”
Anjani terkekeh. “Sial! Mana bener lagi. Menurut lo, kita laporan ke Bian nggak?”
“Kita cek dulu ke tendanya Laksa, kalau nggak ada baru kita lapor ke Bian. Ngeri kena amuk gue.”
“Lo yang ngetok, ya? Masa anak gadis kayak gue harus bertamu di tenda para bujangan jam dua malam begini? Merosotlah harga diri gue.”
“Iyeee.”
Belum sempat melangkah lebih jauh, salah satu penghuni tenda yang sama dengan Abel, kontan berlari dengan wajah panik. Kebetulan Bian juga baru keluar dari tenda PMR.
“Bian, Bian, Abel belum balik ke tenda nih.”
“Si anying!” Dito sampai kelepasan memaki karena terlanjur kesal. “Minimal cari di sekitar dulu anying, main lapor-lapor aja.”
“Belum balik ke tenda?” Bian terlihat mengerutkan dahi. “Gimana ceritanya dia belum balik ke tenda jam segini? Terakhir kali dia main sama siapa?”
Begitu menatap sekeliling, Bian kontan menemukan Anjani yang kini mulai mepet-mepet ke Dito.
“Too, gue takut ditelen sama Bian.”
“Lah, apalagi gue?”
“Abel ke mana?” Bian datang dengan langkah lebar dan errrr aura-aura ingin makan orang. “Jawab sekarang. Gue nggak butuh yang namanya kebohongan.”
“Gue juga nggak tau, Bi.”
“Nggak tau?”
Dito menyahut lebih dulu karena Bian terlihat tidak bisa diajak berbicara secara lembut.
“Gue sama Jani emang sempat ketemu sama dia, tapi nggak lama karena Dinda pengen ngobrol berdua sama Abel. Setelah itu, ya, nggak tau. Gue nangkring di sekretariat sama anak-anak terus ini bocah juga langsung rebahan di tenda.”
“Dinda?” sahut Melati, dia terdengar seperti tidak percaya. “Tapi Dinda udah ada di tenda. Gue sempet ngecek dan dia udah rebahan sama gengnya Dita.”
“Kalian nggak bohongin gue, ‘kan?” Bian kembali menatap Jani-Dito lagi.
“Lah, serius, Pak. Gue ketemu sama Abel tuh sekitar jam satu, sekarang udah jam berapa? Udah jam dua lebih. Kalau gue tau keberadaan Abel, nggak nunggu jam dua pun anaknya udah gue seret ke tenda.”
Bian segera bergegas mendatangi tenda Dinda. Gadis itu mengatakan berpisah dengan Abel tak lama setelah memberikan susu kotak. Anjani sempat menaruh curiga, tapi enggan berkomentar agar suasana tidak semakin kacau.
“Gue nggak percaya deh, To. Muka si Dinda, aura-aura wewe gombelnya kenceng banget.”
Dito menoyor kepala Anjani dengan kekehan kecil. “Bisa serius dulu nggak? Orang lagi panik begini malah nyebut wewe gombel, mau diculik lo?”
“Lagian opini dia nggak meyakinkan banget, curiga emang disembunyiin di dalem be—“
Dito langsung melotot. Hampir menepuk bibir Anjani andaikan Bian tidak lewat dengan langkah terburu-buru.
“Mau ke mana, Bi?”
“Cari ke hutan.”
“Jam segini? Lo nggak takut diculik sama kalong wewe terus disembunyiin di b—“
“Janiii.”
“Ehehehe, bercanda. Sebelum cari ke hutan dengan resiko ketemu sama binatang liar, mending kita cari ke sekitar dulu nggak sih? Takutnya itu anak udah molor di tenda kelas sepuluh.”
Bian semakin gencar mengerutkan dahi.
“Gue nggak nyebut Laksa loh, Bi. Jadi kalem aja muka lo jangan kayak mau nelen orang begitu.” Anjani berusaha tersenyum santai, aslinya sudah deg-degan setengah mampus. Takutnya, Bian malah semakin ingin menelannya mentah-mentah.
“Siapa tau itu, siapa sih namanya, anak Gugus Harimau juga tapi gue lupa namanya, pokoknya dia yang minjem kursi lipet ke tendanya Laksa. Siapa tau Abel ikut tidur di sana karena isi tendanya cuma tujuh.”
“Ceweknya si Raka itu?” tanya Dito.
“Emang Raka punya cewek? Raka loh ini, si pangeran es-nya anak PMR tiba-tiba punya cewek? Wah, sungkem sih gue ama ceweknya.”
“Orang yang lo maksud itu ceweknya Raka, dodol!”
“Oh, iya, tah?” Anjani malah cengengesan setelah itu.
“Siapa?”
“Clarista. Gugus Harimau 1.”
Ketiganya hampir mengucap salam, namun kedatangan Laksa bersama Abel di punggungnya berhasil menarik perhatian. Anjani yang sadar lebih dulu, kontan mendekat. Raut wajahnya panik, kontras dengan wajah datar yang ditunjukkan Laksa saat itu.
“Lak, Abel kenapa?”
Laksa bergegas membawa Abel ke tenda PMR tanpa mengatakan apa-apa. Begitu Abel berbaring dengan nyaman, Laksa segera menarik hot pack dari dalam saku tapi nyatanya tidak ada. Ah, cuaca dingin seperti sekarang benar-benar hampir membekukan telapak tangan.
“Kenapa Abel bisa sama lo?!”
Bian menarik kerah baju Laksa, menariknya ke pojok tenda dengan tatapan nyalang. Alih-alih peduli dengan aura peperangan itu, Laksa lebih mempedulikan kondisi tubuhnya dengan menggosok telapak tangan. Setiap cuaca dingin, telapak tangan dan kaki Laksa akan terasa jauh lebih dingin daripada suhu bagian lain. Kalau kata Abi, sebelas dua belas dengan daging yang dimasukkan ke dalam lemari pendingin.
“Jawab pertanyaan gue?!” Bian semakin mengeratkan cengkeramannya. “Kenapa Abel bisa keluar dari hutan dalam keadaan nggak sadar kayak gini? Lo apain dia di sana, hah?! Lo apain dia, Megantara Laksa?!”
“Dia tidur.”
“Tidur?! Lo masih berani jawab sesantai ini setelah melakukan yang aneh-aneh ke dia?” Bian tertawa sarkas, setengah menatap nyalang. “Bajingan! Bisa-bisanya gue kecolongan kayak gini.”
“Mabuk kecubung?” Laksa gantian menatap remeh.
“Minimal nanya dulu sebelum ngoceh nggak jelas.”
“Jelas-jelas lo bawa Abel dalam keadaan nggak sadar, kalau bukan memanfaatkan keadaan terus apa? Lo kasih dia obat? Lo apain dia di sana? Lo mainin?”
“Beneran stres ini orang.”
Laksa hampir berbalik namun Bian malah melayangkan pukulan hingga ia tersungkur ke tanah.
“Emang brengsek! Nggak seharusnya gue biarin Abel deket-deket sama lo.”
“Bi, udah. Kita belum tau kenapa Abel bisa kayak gini, jangan pakai kekerasan dulu, kenapa?”
“Oh, lo udah mulai belain si bajingan ini, Jan? Merasa simpati mentang-mentang dia kelihatan polos? Lo nggak lihat apa yang udah dia lakukan ke sahabat lo sekarang? Kalau dia baik, mana mungkin bawa cewek keluar dari hutan dalam keadaan nggak sadarkan diri?"
“Obatin tangan sama kakinya.”
“Lo mau ke mana, hah?! Gue belum selesai ngomong sama lo.”
Bian menahan Laksa lagi. Cengkeramannya begitu erat sampai-sampai lengan Laksa mulai terasa sakit. Anjani jelas semakin panik, kalau tidak ada yang berani menenangkan Bian, mungkin peperangan
betulan akan terjadi setelah ini.
“Tangan dan kaki Abel habis diikat?” tanya Raka.
“Hm.”
“Diikat? Lo nemu dia di mana, Lak?” Dito mendorong
Bian dengan cukup kasar. Persetan dengan makian yang akan didapatkannya nanti, keterangan Laksa jauh lebih penting.
"Di bawah pohon.”
“Kalau berdasar luka goresnya, kayaknya Abel diikat cukup kenceng. Kemungkinan dalam waktu yang lama juga.” Raka akhirnya mengangkat kepala. “Waktu lo datang, Abel dalam kondisi kayak gimana?”
“Kaki tangan terikat, mata tertutup, bibir disumpal.”
“HAH?”
Dito dan Anjani saling pandang.
“Ngapain jam segini lo masih kelayapan?” Bian menyahut lagi, kali ini kedua tangannya telah terkepal di sisi tubuh. “Nggak usah bikin skenario seolah-olah ada yang culik Abel, karena gue udah memastikan keamanan tempat ini. Kalau ada yang nekat cari masalah, udah pasti itu lo. Kenapa nggak ngaku aja kalau lo emang dalang permasalahan ini?”
Laksa mendengus, merasa geli dengan pernyataan Bian. “Beneran mabok kecubung ìni orang.”
“Faktanya lo yang ada di sekitar Abel selama penculikan berlangsung. Ngaku aja daripada harus berbelit-belit kayak sekarang, buang-buang waktu aja.”
“Tanya ke Abel daripada ngoceh nggak jelas. Gue cabut.”
Bian hampir menahan Laksa, namun Anjani melepaskannya. Waktu terlalu dingin untuk pertikaian tidak jelas ini.
"Bi, udah. Nanti pada kebangun kalau lo teriak-teriak kayak gini.”
“Nggak akan gue bebasin dia gitu aja.”
“Rak, ada luka lain ngga?” tanya Dito.
“Aman. Bahkan kedingingan pun nggak karena dua tangan Abel sama-sama pegang hot pack.” Raka tersenyum tipis. “Gue rasa Laksa cuma tolongin Abel, bisa dilihat dari jaket kebesaran yang dipake sama dia. Ukuran jaket Abel nggak mungkin sebesar ini, ‘kan?”
“Abel juga nggak punya jaket kayak gini,” sahut Anjani.
“That’s it. Daripada nuduh yang enggak-enggak, emang ada baiknya nunggu Abel sadar dan tanyain semua detail kejadiannya.”
Anjani sempat menatap Dito, tapi si sinting itu menggeleng kecil seolah tengah menahan Anjani agar tak mengatakan apapun. Tak lama setelah itu, Abel mulai menggeliat kecil, membuka mata dengan keterkejutan tinggi.
“LAKSA!”
Ia menatap ke sekeliling, begitu menyadari jika tempat dan situasinya mulai berubah, Abel kontan semakin panik.
“Laksa mana? Kenapa gue bisa sampai sini?”
“Bel, lo kenapa?” Anjani duduk di hadapan Abel dan memeluknya. “Gimana ceritanya lo bisa masuk hutan anying?! Kenapa tangan sama kaki lo juga kena ikat? Lo ... lo nggak diapa-apain sama orang, ‘kan?”
“Gue ceritain nanti.”
“Laksa yang bawa lo ke hutan?” Bian menyahut dengan tatapan tajam.
“Bukan, gue malah ditolongin sama dia. Sekarang Laksa ada di mana?”
“Balik ke ten—“
Abel meninggalkan tenda PMR tanpa pikir dua kali, begitu sembrono berlari sampai ia melupakan alas kaki. Bola matanya kontan membulat ketika Laksa gemetaran di depan tenda.
“Laksa ... Laksa. Lo ... lo kenapa?” Seketika rasa paniknya semakin memuncak ketika bersentuhan dengan telapak tangan besar itu. “Sial! Kenapa telapak tangan lo jadi beku sih? Laksa, lo nggak apa-apa, ‘kan? Laksa jawab, plis jangan bikin gue panik.”
Ketika kepala Laksa jatuh ke atas pundaknya, Abel tak lagi bisa mengatakan apa-apa.
“Laksaaaaaaaa.”
Kenapa situasinya malah jadi kayak gini sih?