"Apa kabar, istriku? I’m back, Sanaya Sastra."
Suara dingin pria dari balik telepon membuat tubuh Naya membeku.
Ilham Adinata.
Tangannya refleks menahan perut yang sedikit membuncit. Dosen muda yang dulu memaksa menikahinya, menghancurkan hidupnya, hingga membuatnya hamil… kini kembali setelah bebas dari penjara.
Padahal belum ada seumur jagung pria itu ditahan.
Naya tahu, pria itu tidak akan pernah berhenti. Ia bisa lari sejauh apa pun, tapi bayangan Ilham selalu menemukan jalannya.
Bagaimana ia melindungi dirinya… dan bayi yang belum lahir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Regazz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Kau Obsesiku sekarang
Bab 2 || Kau Obsesiku sekarang
Dulu sebelum kuliah di Jakarta, Naya sempat menolak dengan alasan biaya.
"Lebih gak perlu kuliah, Bu. Daripada kuliah mending aku disini aja bantuin ibu kerja di ladang. " ujar Naya.
Ia sedang duduk di tengah-tengah ladang bersama dengan sang ibu, ibu Wati.
"Jangan, Nak. "
"Daripada untuk uang kuliah aku, mendingan untuk biaya sekolahnya adik-adik aja."
"Jangan Naya. Apa kamu gak inget apa amanah almarhum bapak kamu dulu?"
"Ingat kok, bu. Tapi, bu sekarang kondisinya lagi gak bisa. "
"Pokoknya kamu harus kuliah. Jangan berdiam diri di kampung ini. Bisa bikin sakit kepala ibu,"
Sepertinya keputusan Ibu Wati untuk menguliahkan putrinya ke luar kota, akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya nanti.
•••
"Dimana Calla, Pak?" tanya Naya.
Ilham tersenyum menyeringai menatap Naya dengan remeh. "Tubuhmu kecil, tapi nyalimu gede juga ya..." ucap Ilham ingin meraih wajah Naya.
Dia mesum, pikir Naya.
Ia menatap Ilham dengan tatapan sengit. Sedangkan Ilham masih mempertahankan seringainya menatap remeh kepada Naya.
"Seharusnya pak Ilham itu dasar. Calla itu sudah jadi istri orang, jangan jadi pebinor lah, Pak."
"Trus, kamu mau apa hah?! Mau lapor suaminya? Suaminya aja di penjara, 'kan?"
Naya kaget, dari mana pria ini tau jika Kaif masuk penjara?
Naya nampak berpikir dan kemudian menatap tajam Ilham dengan penuh air.
Ilham yang pintar, tentu saja tau dari maksud dari tatapan Naya tersebut padanya.
"Kenapa? Kamu nuduh aku? Kalau iya, kenapa?" tantang Ilham yang tak kenal takut.
"Akan aku laporkan ke polisi." ancam Naya berbalik arah.
Namun, ia merasa tas ranselnya kembali ditarik.
"Mau kemana anak kecil? Kau pikir bisa kabur dari ini semuanya, hah?"
Naya memberontak, namun sepertinya kekuatannya tak besar seperti Ilham. Ia langsung melepaskan Ranselnya. Namun, lagi-lagi Ilham bisa menarik ujung jilbab yang ia kenakan.
"Akh!"
Rambut Naya terlihat jelas, rambut panjang berwarna hitam legam lurus tersebut terlihat jelas. Rambut kuncir satu tersebut terlihat indah.
Naya tidak menyangka Dosen tersebut akan melakukan hal ini padanya. Ini penghinaan baginya.
Plak!
Naya langsung menampar wajah Ilham dengan keras. Ilham hanya terdiam dengan perlakuan Naya barusan. Sembari memengang bekas tamparan Naya di pipinya.
Bukannya marah, ia terlihat tersenyum miring. Tatapannya masih tajam.
Gadis itu begitu marah sekali, "Kurang ajar!" Naya berhasil merebut jilbabnya dari tangan Ilham. Ia segera mengenakannya.
Tatapannya masih tajam menatap Ilham. Naya berjongkok untuk mengambil tas ransel miliknya. Namun, tidak menyangka Ilham yang memeluknya dari belakang.
Sentuhan yang tidak biasa ini membuat Naya semakin risih. Ini sudah termasuk dalam ranah pelecehan.
"Mau kemana Naya? Kau pikir bisa kabur, hah?!" tanya Ilham dengan suara dinginnya. Begitu menakutkan, namun Naya berusaha untuk tetap berani.
"Lepaskan, Pak!" teriak Naya.
Ia juga heran, kenapa lingkungan kampus ini begitu sunyi. Apa tidak adakah satupun yang mendengar teriakannya disini?
Kenapa seolah waktu tidak mendukung dirinya.
Naya berusaha memberontak melepaskan diri. Namun, kekuatan Ilham begitu besar sekali. Ia kesusahan bahkan untuk bergerak.
Hingga ia meraba sesuatu dan menemukan sebuah debu. Tanpa menunggu lagi, ia melempar debu tersebut tepat ke mata Ilham.
"AAAA!!" Ilham kesakitan sembari mengucek-ngucek matanya.
"AWAS KAU NAYA!"
Ilham nampak begitu marah sekali, matanya begitu sakit sekali akibat debu yang dilemparkan oleh Naya barusan. Namun, ia masih bisa melihat sedikit dengan jelas. Ia melihat Naya yang berlari.
"Aku harus telpon orangtuanya Calla." gumam Naya ketika melihat Ilham yang nampak masuk kedalam mobilnya.
"Aku harus ngikutin dia, mungkin aja dia mau ke tempat Calla di sekap." gumam Naya lagi langsung mengendap-endap melihat Ilham.
Ia langsung keluar dan menyetop sebuah ojek online yang sedang mangkal tepat di depan gerbang kampus.
"Ikutin mobil itu, pak!" tunjuk Naya.
Sedangkan, Ilham yang berada di dalam mobil tersenyum menyeringai sembari menatap kaca spion miliknya.
"Dia polos atau bego?" lirih Ilham tertawa mengejek. Ia mengendarai mobilnya dengan begitu santai sekali.
•••
Naya terus membuntuti mobil Ilham sembari terus mengobrol dengan Ayah Calla. Orangtua Calla begitu khawatir sekali dengan apa yang terjadi.
Hingga mobil Ilham berhenti tepat di sebuah perkebunan tebu. Lokasinya sudah keluar dari kota Jakarta.
Sebelum pergi, Naya memberikan lembaran uang pada ojek tersebut. Meski, uangnya habis untuk membayar ojek yang jaraknya begitu jauh tersebut.
'Uang bisa dicari, tidak dengan teman.' pikir Naya.
Naya terus saja mengintip mengikuti langkah kaki Ilham yang berjalan masuk kedalam perkebunan tebu yang ternyata di tengah-tengahnya ada sebuah rumah kecil.
"Dosen itu benar-benar gila. Nyekap Calla di tengah kebun tebu dalam kondisi hamil." Lirih Naya yang begitu khawatir sekali dengan sahabatnya itu.
Teriakan Calla terdengar jelas dari tempat ia berdiri. Naya melihat ada sebuah batu dan langsung melemparnya kearah kaca jendela tersebut.
Craakk!
Ilham segera keluar.
"Siapa disana?!" Ilham tampak marah sekali.
Naya berjalan dibalik pohon tebu yang masih rimbun, berjalan mengelilingi rumah tersebut. Ia lewat dari belakang rumah itu. Melihat ada sebuah pisau di dapur, ia segera mengambilnya tanpa berpikir panjang. Untuk berjaga-jaga nanti.
"Calla!" panggil Naya pelan.
Ia berjalan mengendap-endap masuk kedalam rumah yang nampak lusuh itu, rumah ini nampak reyot dan terbakar sebagian.
"Calla, ini aku Naya." panggilannya lagi.
"Naya~"
Suara itu berasal dari dalam kamar. Segera Naya membukanya.
Calla didalam, dengan kondisi begitu mengenaskan sekali. Ia duduk di kursi dengan posisi kedua tangan yang sudah teringat di belakang.
"Kamu gak apa-apa, 'kan?" panik Naya memastikan kondisi Calla baik-baik saja.
Ia menggunakan pisau tersebut untuk membuka tali di tangan Calla. Setelah lepas Calla memeluk Naya Dnegan erat.
"Aku takut, Nay." lirih Calla yang tubuhnya bergetar dalam pelukan Naya.
"Tenang, Nay. Ada aku disini, sekarang kamu sudah aman." ujar Naya mengelus pundak Calla.
"Perut aku sakit, Nay~" suara Calla begitu menahan kesakitan sekali sembari memegangi perutnya.
Darah keluar dari balik gamis yang dikenakan oleh Calla.
"Astagfirullah... "
Naya kaget bukan main, apa yang harus ia lakukan. Calla mengalami pendarahan. Jika ia membawa Calla sekarang, Ilham akan tau.
Tanpa mereka sedari bahwa Ilham sedari tadi diluar sedang memperhatikan mereka berdua dari balik jendela luar. Ia sedang mengisap sebatang rokoknya dengan santai, sembari menunggu momen yang tepat untuk masuk.
' Kamu menarik juga, Naya. Aku suka semangat berani mu itu. Rela melakukan apapun demi seorang teman.' batin Ilham.
Ilham menjatuhkan rokoknya ketanah dan mulai menginjaknya. Dan berjalan cepat masuk dari belakang rumah saat melihat Naya yang membawa Calla untuk bersembunyi didalam lemari tua.
Namun, saat ia akan masuk.
Tuk!
"Akh!"
Sebuah batu dilempar ke arahnya, tepat mengenai kepala bagian belakang. Ia pun menoleh.
lham tidak menyangka dengan tindakan berani Naya barusan.
Meski, nampak berani. Ia bisa melihat Naya dengan tubuh sedikit bergetar menatap dirinya tajam.
Mengesankan, pikir Ilham.
"Jadi, ini perbuatanmu ya?" tanya Ilham datar dan langsung mengejar Naya.
Naya berlari dengan cepat.
'Aku harus cepat. Supaya Calla dan anaknya selamat. Semoga bantuan juga segera datang.' batin Naya terus berlari dengan mengangkat sedikit roknya keatas.
Ia berlari dengan tidak tentu arah sama sekali. Ia tidak menemukan apapun, selain hanyalah deretan pohon tebu yang begitu rimbun.
Dor!
Suara tembakan tersebut membuat Naya kaget. Ia lupa bahwa Ilham punya senjata api.
Naya sontak saja terdiam, jarak ia berdiri dengan Ilham hanyalah beberapa belas meter saja.
"Menyerah saja Naya, kau tidak akan bisa lari. Kecuali, kau ingin peluru ini menembus otakmu langsung." ancam Ilham. Ia berjalan dengan cepat menghampiri Naya yang nampak ketakutan.
Terdapat banyak sayatan bekas daun pohon tebu yang tajam di pipi Naya.
“Saya mohon… lepaskan kami, Pak…” suara Naya bergetar, kedua tangannya menggenggam erat, memohon dengan sungguh-sungguh.
"...dan jangan ganggu Calla lagi. Bapak bisa cari wanita lain saja. Kasihan Calla dan kandungannya,"pinta Naya.
Ilham tidak menjawab. Senjata api di tangannya masih terarah tepat di kepala Naya. Tatapan matanya dingin, namun bibirnya tersungging senyum miring yang membuat bulu kuduk Naya meremang.
Perlahan, pria itu menurunkan pistolnya. Naya menghela napas lega, meski masih tegang.
'Aku hanya bisa pasrah jika harus mati hari ini ya Allah.' batin Naya.
Ilham menatapnya lama, dalam jarak yang terlalu dekat. Dari dekat, Naya bisa merasakan nafasnya, dan itu membuat jantungnya berdetak makin kencang.
Ternyata kau cantik juga, batin Ilham, memperhatikan mata bulat dan wajah baby face Naya yang tak membosankan untuk dilihat.
“Baiklah… aku akan melepaskan…” ucap Ilham, sengaja menggantungkan kalimatnya sambil memasukkan pistol ke bagian belakang celananya.
Naya yang semula panik mulai menunjukkan rona kelegaan di wajahnya.
Ia merasa lega.
Namun...
“Tapi… hanya Calla saja.”
Naya mengerutkan dahi, menatapnya bingung.
“Masih bingung, ya?” tanyanya sambil sedikit membungkuk, membuat tinggi mereka sejajar. Tatapannya menusuk tajam dan dingin.
“Aku memikirkan kata-katamu barusan. Dan aku sudah tidak terobsesi lagi padanya…” bisiknya pelan. Jemarinya terulur, menyentuh ujung hidung Naya.
“Tapi kau…”
Naya menelan ludah.
'Aku?' Naya tidak habis pikir dengan kalimat yang keluar dari mulut Ilham.
“Kau obsesiku sekarang, Naya. Mulai detik ini… kau milikku.” Sebuah senyum miring mengembang di wajah Ilham.
Ini petaka, pikir Naya.
To be continue...
aku tunggu up nya dari pagi maa Syaa Allah 🤭 sampai malam ini blm muncul 😁
kira-kira itu pak dosen gila ngapain krmh ibu Yanti 🤔