"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelidikan dan Perasaan yang Terungkap
Hari keempat misi di lembah Sunyi dimulai dengan perintah dari senior pengawas melalui jimat komunikasi—mereka diminta menyelidiki empat titik anomali spiritual yang tersebar di seluruh lembah. Pembagian pun dilakukan.
Ziqi dan Aqinfa memilih untuk menyelidiki sisi barat lembah. Weyi ditugaskan bersama Qinlan ke sisi utara. Sementara Weimu dan Linyan menuju sisi timur. Masing-masing kelompok menerima jimat penghubung untuk komunikasi jika terjadi bahaya.
Perjalanan Ziqi dan Aqinfa berlangsung diam selama beberapa waktu. Aqinfa mencoba beberapa kali mencairkan suasana, namun Ziqi tetap seperti biasanya: dingin, tenang, dan hemat bicara. Tapi Aqinfa tidak menyerah, senyum dan celotehnya tetap mengisi ruang sunyi di antara mereka.
Namun, saat mereka melewati celah sempit di antara dua tebing, suara siulan tajam menggema. Penyusup muncul—tiga orang berjubah hitam yang wajahnya tertutup kain.
Ziqi dengan cepat menarik pedangnya, membentengi Aqinfa.
"Mundur," ujarnya pendek.
Aqinfa mengangguk dan melompat ke belakang, namun salah satu musuh berhasil menerobos dan menggoreskan pedangnya ke lengan Aqinfa.
"Agh!" seru Aqinfa tertahan, namun tetap berdiri tegak dan mengangkat pedangnya. Ia tidak menyerah.
Pertarungan berlangsung sengit. Dalam kerjasama diam-diam, Ziqi dan Aqinfa berhasil melumpuhkan dua penyusup, dan satu lagi kabur ke arah utara. Setelah memastikan situasi aman, Ziqi segera menghampiri Aqinfa.
Wajahnya tidak setenang biasanya. Ia menarik lengan Aqinfa dengan hati-hati dan melihat luka yang cukup dalam.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" tanyanya dengan suara rendah namun tajam.
"Aku bisa menahan sedikit sakit. Itu tak seberapa dibanding tertinggal darimu," gumam Aqinfa pelan sambil tersenyum lemah.
Ziqi membuka kantong obatnya, mengeluarkan kain bersih dan ramuan penyembuh. Ia duduk di lutut, membalut luka Aqinfa dengan cermat, namun tangannya sedikit gemetar. Aqinfa menatap wajah Ziqi dari dekat, dan untuk pertama kalinya, Ziqi tidak menghindar.
"Senior..." bisik Aqinfa. "Apa kau tak menyukaiku?"
Ziqi berhenti bergerak. Ia perlahan mengangkat wajahnya, dan mata mereka bertemu. Tak ada jawaban.
"Aku sungguh menyukaimu. Tapi kalau keberadaanku membuatmu tak nyaman... aku bisa mundur. Katakan saja."
Ziqi masih diam, namun bola matanya tampak bergejolak. Detik berikutnya, ia melakukan hal yang tak pernah terbayangkan Aqinfa:
Dengan cepat dan diam, Ziqi membungkuk dan menyentuh bibir Aqinfa dengan lembut. Hanya sejenak, cukup singkat untuk terasa seperti mimpi, tapi cukup lama untuk menghapus semua keraguan.
Aqinfa membeku. Matanya melebar. Jantungnya berdentum lebih keras dari sebelumnya.
Saat Ziqi menarik diri, wajahnya tetap tenang tapi pipinya sedikit memerah.
"Kau terlalu berisik kalau ditolak," gumamnya pelan.
Aqinfa tertawa pelan meski masih lemas. "Jadi... ini ya caramu bilang suka?"
Ziqi tidak menjawab, namun ia merapikan rambut Aqinfa yang berantakan karena bertarung, jari-jarinya menyentuh lembut pipi Aqinfa.
"Bodoh. Kau pikir aku akan membiarkanmu mendekatiku selama ini kalau aku tak punya perasaan apa-apa?"
Aqinfa menggigit bibir bawahnya, menahan senyum malu. "Kau sungguh membingungkan. Kadang seperti gunung es, kadang... seperti matahari yang menyelinap di balik salju."
Ziqi hanya menggeleng pelan. "Kalau kau sembuh nanti, jangan terlalu banyak bicara seperti ini. Bisa-bisa aku terbiasa."
"Boleh saja... asal terbiasanya sama aku," balas Aqinfa dengan suara manja.
Ziqi memalingkan wajah, namun dari samping, Aqinfa bisa melihat ujung telinganya memerah.
Di kejauhan, suara ledakan kecil dari arah timur dan utara menandakan kelompok lain pun menghadapi kesulitan.
Namun di antara ancaman dan misi, malam ini menjadi awal dari sesuatu yang tak bisa lagi disangkal.
Dan di balik dinginnya malam, hati Ziqi yang beku… mulai mencair karena satu orang: Aqinfa.