NovelToon NovelToon
Paman CEO Itu Suamiku!

Paman CEO Itu Suamiku!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lee_ya

Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.

Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.

Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lele Liar!

“Arkaaaa! Ada ikan lele keluar dari kolam! Sumpah aku nggak bohong!”

Suara panikku menggema di halaman belakang vila yang tenang itu. Aku berdiri di atas kursi taman, menunjuk kolam ikan dengan ekspresi horor seperti habis lihat makhluk astral, padahal hanya seekor lele gemuk yang berhasil melompat keluar.

Arka keluar dari dapur dengan muka panik. “Lele? Keluar? Kamu kenapa bisa sampai berdiri di kursi?”

“Karena lelenya ngeludahin aku!” teriakku.

Dia mengerutkan kening. “Lelenya ngeludah?”

“Ya... kayaknya dia nggak suka aku nyanyi. Tadi aku nyanyi lagu dangdut, terus dia tiba-tiba loncat. Ini pasti karma karena aku fales!” ucapku antusias.

Arka tertawa—tawa yang langka, renyah dan jujur.

“Kamu ini baru juga liburan sehari, sudah bikin skandal sama ikan kolam,” katanya sambil mengambil serokan kolam dan mengembalikan si lele pemberontak ke habitatnya.

“Aku tuh korban. Bayangin kalau lelenya punya dendam lama ke manusia. Mungkin dulu sepupunya dimasak pecel lele, terus sekarang dia balas dendam ke aku!”

Arka menggeleng sambil tertawa. “Kamu serius harus bikin podcast komedi suatu hari nanti.”

Aku melompat turun dari kursi dan pura-pura hormat.

“Siap, Komandan. Tapi sekarang aku butuh mandi. Aku rasa ada kutukan lendir ikan di kaki aku.”

“Lendir ikan bukan kutukan, Nayra,” ucapnya sambil berjalan ke dapur lagi. “Itu lendir cinta alam.”

***

Siang itu, setelah mandi dan mengganti pakaian, aku menyusul Arka yang duduk di teras belakang dengan secangkir kopi dan laptop di pangkuannya.

“Hei, bisa nggak liburan ini bebas dari laptop? Aku kan pengen punya suami liburan, bukan sekutu spreadsheet,” godaku sambil menjulurkan wajah di depan layarnya.

Dia menutup laptop dengan pelan. “Maaf. Kebiasaan.”

Aku duduk di sebelahnya, lalu menatap langit. “Kamu tahu nggak, liburan ini kayak oase. Tapi juga bikin aku takut.”

Arka menoleh. “Takut kenapa?”

Aku menatapnya, ragu. Lalu memberanikan diri. “Karena biasanya, hal-hal indah datang sebelum badai.”

Dia tak langsung menjawab. Tapi tangan kirinya bergerak menyentuh jemariku pelan.

“Kalau ada badai, kita jalan pelan-pelan. Bareng.” Ucapnya lembut.

Hening itu manis. Tapi seperti yang kukatakan... ketenangan biasanya hanya prolog dari kekacauan.

***

Sore menjelang, kami memutuskan berjalan kaki di sekitar vila. Udaranya sejuk, langit keunguan, dan jalan setapak berbatu yang dikelilingi pohon pinus seperti setting drama Korea.

“Aku mau foto di situ!” seruku sambil menunjuk batang pohon besar dengan akar menggantung.

Arka mengangkat alis. “Mau manjat pohon? Mau ngapain?”

“Biar kekinian, dong. Nanti aku upload ke Instagram. Caption-nya, ‘Gadis alam, tapi hatinya nggak liar.’”

Dia tertawa lagi. “Oke, oke. Tapi jangan jatuh.”

Aku pun bergaya seperti Tarzan gagal, berdiri di antara akar pohon sambil membuka tangan ke samping. “Cepat, Arka! Jepret!”

Dia mengambil ponsel, mengabadikan fotoku sambil tertawa kecil.

“Kalau kamu jadi model majalah outdoor, pasti judulnya ‘Istri CEO yang bersahaja tapi suka drama di hutan.’”

Aku menyengir. “Tepat sekali.”

***

Tapi semua tawa itu mendadak lenyap ketika kami kembali ke vila.

Di depan gerbang, berdiri seseorang yang asing. Pria. Usianya mungkin tiga puluhan. Berpakaian rapi, wajahnya tenang, tapi mata tajam seperti menilai setiap inci dari kami.

Arka langsung melangkah cepat. “Kenapa kamu di sini?”

Aku menatap mereka berdua bergantian. “Kamu kenal?”

Pria itu tersenyum tipis. “Sudah lama, Arka. Tapi kayaknya istrimu belum tahu siapa aku.”

“Pergi, sekarang juga. Aku nggak mau ada kekacauan,” kata Arka dengan nada lebih dingin dari biasanya.

Pria itu menatapku.

“Saya Davin. Dulu... saya rekan bisnis Arka. Dan saya tahu beberapa hal yang sebaiknya kamu tahu juga.”

Arka berdiri tegap di depanku, seperti pelindung. “Jangan dengarkan dia.”

Tapi hatiku mulai dipenuhi pertanyaan. Ini dia, badai kecil yang mulai bertiup. Seperti firasatku.

“Kalau kamu memang nggak sembunyiin apa-apa, kenapa harus takut aku dengar dia?” tanyaku pelan.

Arka menoleh padaku. Wajahnya berubah. Ada luka. Ada konflik. Dan ada sesuatu yang tak bisa dia sembunyikan lebih lama lagi.

“Aku janji akan jelaskan semuanya. Tapi bukan sekarang.”

Aku mengangguk pelan. Tapi dalam hatiku, aku tahu akan ada babak baru akan dimulai.

Dan aku harus siap, jadi istri dari laki-laki yang mungkin belum sepenuhnya aku kenali.

***

“Aku janji akan jelaskan semuanya. Tapi bukan sekarang.”

Itu kata-kata Arka kemarin, dan sampai pagi ini, ia belum mengatakan apa pun lagi.

Kami sarapan dalam diam. Hanya suara sendok dan detak jantungku yang rasanya lebih keras dari biasanya. Aku menatap roti panggang di piring, tapi tak mampu menelannya.

Arka duduk di seberang, memutar cangkir kopinya, menunduk seperti sedang mencari keberanian di dasar gelas.

“Aku nggak tahan, Arka. Aku butuh tahu,” akhirnya aku bicara.

“Siapa Davin? Dan apa yang dia maksud tentang kamu?”

Arka meletakkan gelasnya perlahan. Ia mengangkat wajah, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sorot mata itu kosong tapi jujur. Rapuh tapi tidak lari.

“Davin itu dulu partnerku di awal-awal aku bangun bisnis,” katanya pelan.

"Kami bangun proyek bersama, teknologi finansial kecil yang waktu itu belum dilirik pasar. Kami ambisius, muda, dan terlalu percaya satu sama lain.”

Aku menunggu, tak ingin menyela.

“Singkatnya, kami sukses. Tapi Davin mulai ambil jalan pintas. Dia manipulasi data klien, ambil dana gelap. Aku tahu. Aku marah. Tapi waktu itu kami sudah terlalu besar untuk jatuh. Jadi aku buat kesepakatan.”

Mataku menyipit. “Kesepakatan?”

“Dia pergi dari perusahaan, bawa sahamnya, dan aku tutup kasus itu secara internal. Supaya klien nggak panik. Supaya perusahaan nggak kolaps. Supaya ribuan karyawan nggak kehilangan pekerjaan.”

Aku menarik napas dalam.

"Jadi kamu tahu dia korupsi, tapi kamu biarkan pergi begitu saja?”

Arka menatapku.

“Aku pikir waktu itu itu keputusan terbaik. Tapi Davin nggak pernah lupa. Dia benci aku karena aku buat dia keluar dari sistem. Dan sejak itu, dia selalu cari cara balas dendam.”

Aku berdiri, berjalan ke jendela besar vila. Pemandangan Lembang yang indah kini tak lebih dari latar belakang drama batin yang kusut.

“Aku bisa terima kalau kamu punya masa lalu buruk,” kataku pelan.

“Tapi aku nggak bisa terima kalau kamu sembunyiin itu dariku seolah aku hanya perabot rumah tangga.”

“Aku hanya nggak ingin kamu takut padaku, Nayra.”

Aku menoleh. “Yang bikin aku takut bukan kamu. Tapi cara kamu menutup-nutupi segalanya.”

***

Hari itu kami kembali ke Jakarta dengan suasana beku. Tak ada percakapan. Tak ada genggaman tangan. Hanya denting ketegangan yang makin lama makin tajam.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Kulempar tas ke sofa dan duduk di ranjang sambil memeluk lutut.

Kenapa pernikahan ini selalu diwarnai rahasia?

Kenapa semuanya terasa seperti teka-teki yang hanya aku yang disuruh menyelesaikannya?

Tak lama, pintu diketuk.

“Boleh masuk?” suara Arka terdengar pelan.

Aku tidak menjawab. Tapi pintu terbuka juga. Ia masuk dengan hati-hati, membawa sepiring kecil berisi puding cokelat.

“Bu Nani bilang ini makanan damai buat kamu. Aku cuma tukang antar,” katanya canggung.

Aku mengangkat alis.

“Makanan damai?”

“Ya. Kamu suka cokelat. Dan aku suka kamu nggak marah.”

Aku nyaris tersenyum. Tapi wajahku tetap datar.

Dia duduk di sofa, meletakkan piring di meja, dan berkata,

“Kalau kamu mau marah, marahlah. Aku pantas dimarahi. Tapi jangan berhenti bicara.”

Aku menunduk. Lalu pelan-pelan berkata, “Aku nggak butuh suami sempurna, Arka. Aku cuma butuh suami yang jujur. Yang percaya aku cukup kuat buat mendengar hal-hal pahit.”

Dia mengangguk. “Aku sedang belajar.”

Lalu kami diam beberapa saat.

“Aku juga punya rahasia, kamu tahu?” ujarku tiba-tiba.

Arka menoleh. “Apa?”

“Aku pernah ikut lomba makan kerupuk waktu SD dan nyaris copot gigi susu depan. Tapi tetap menang.”

Dia terdiam sejenak. Lalu tertawa. Tawa lepas yang entah kenapa membuat dadaku ringan.

“Aku pikir kamu mau ngaku kalau pernah punya mantan penipu atau semacamnya,” katanya sambil mengusap wajah.

“Yah, itu bisa menyusul. Siapa tahu besok-besok aku ngaku pernah jatuh cinta sama tokoh anime,” balasku.

“Udah pasti kamu pernah,” katanya cepat.

“Kok tahu?”

“Kamu kelihatan kayak tipe cewek yang nangis waktu karakter favoritnya mati.”

Aku terdiam. “Jadi kamu tahu aku baperan.”

“Bukan baperan,” ucapnya pelan.

“Kamu punya hati yang sensitif. Itu bukan kelemahan. Justru itu yang aku kagumi dari kamu.”

Dan malam itu, kami tidak saling minta maaf.

Tapi kami saling mendekat, dengan pelan, dengan langkah kecil.

Dan itu jauh lebih berarti.

***

Tengah malam, aku terbangun karena suara notifikasi ponsel. Pesan masuk dari nomor tak dikenal lagi.

“Sudah dengar setengah kisahnya. Tapi belum semuanya. Arka tidak sebaik yang kamu kira. Aku bisa buktikan. Mau tahu? Temui aku besok. Sendirian.”

Pesan itu disertai alamat kafe kecil di selatan Jakarta.

Aku menatap layar lama, jantungku berdegup tak karuan.

Rahasia Arka mungkin belum selesai.

Dan aku... mungkin harus mulai jadi istri yang lebih berani.

1
Dini Aryani
mohon maaf, karakter istri egois. dia menuntut suami yg diinginkan semua istri, sedangkan dia tidak melakukan kewajiban sebagai istri apalagi sedang hamil, ketaatan pd suami yg baik. sudah jadi istri lho. tolonglah ada unsur edukasi buat istri, agar tdk ada yg meniru sesuatu yg buruk. saya sbg istri malu
Lee_Ya: terimakasih kak buat komentarnya, stay tune terus ya buat tau cerita selanjutnya....lope sekebon 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!