Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.
Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…
Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?
Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 Perasaan denial
Waktu berlalu begitu cepat, malam semakin larut namun dentuman musik dj masih setia menyelimuti lantai dansa itu. Bukannya berkurang, lantai dansa itu mulai terasa sesak akibat bertambahnya orang-orang yang ikut berdansa, lagu yang diputar semakin terasa menyenangkan, seolah tidak mampu menghentikan kenikmatan ini.
Lucien duduk disofa melingkar, tatapannya tajam masih mengamati Liliana, hanya jika sesuatu terjadi tiba-tiba padanya.
Decihan pelan keluar dari mulutnya, tangannya bergerak masuk kedalam saku dibalik jas hitamnya, mencari nomor seseorang dalam kontak—Grack. Orang yang menjadi pilihannya untuk melakukan panggilan.
"Grack, keataslah." Lucien mengatakan dengan singkat dan datar, kemudian menutup panggilan.
Tidak butuh waktu bermenit-menit untuk Grack tiba dirooftop, berdiri tegap menghadap pria yang sudah menjadi atasannya selama 8 tahun ini. Kebersamaan dengan Lucien yang begitu lama membuat keduanya merasa seperti teman, tidak rasa canggung, ataupun takut dalam diri Grack.
Lucien berdiri, "Perhatikan Liliana, antarkan dia pulang nantinya. Aku mau pulang."
"Sebentar Lux—" ucap Grack, tanpa embel-embel 'pak'. Ia menyerahkan tabletnya, "Aku sudah menemukan satu pelaku yang melakukan pengejaran terhadap nona Liliana, didalam ini sudah aku masukan lokasi orang tersebut yang aku amankan disana."
Lucien menerima tablet tersebut, tatapannya perlahan berubah menjadi lebih tajam dan serius.
"Kemudian ada biodata profilnya juga, serta beberapa hal yang aku rasa janggal," sambung Grack.
Pria yang lebih muda dua tahun dari Grack itu mengangguk paham, ia menepuk bahu Grack, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Grack, "Aku berikan cuti selama seminggu, mulai besok."
Setelah mengatakan hal tersebut, tanpa menunggu jawaban Grack, pria melangkah pergi meninggalkan Grack dengan ekspresi bingung. Kebiasaan Lucien yang secara tiba-tiba memberikan bonus cuti pada sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu, tatkala sedang dalam perasaan yang bahagia atau perasaan yang sangat buruk.
Pastinya pria dengan kulit sawo matang khas pria Indonesia pure itu merasa senang saat mendapat bonus cuti, dimana sesuai namanya bonus yang berarti tidak akan memotong hak cuti.
...~• suddenly become a bride •~...
Dalam perjalanannya menuju lokasi dengan perkiraan berjarak sekitar 70km itu, mobilnya melaju kencang memecah lautan kendaraan yang memenuhi jalan.
Matanya fokus tertuju pada jalanan, tapi tidak dengan pikirannya yang melayang jauh. Mulai menata satu persatu tingkah lakunya dalam seharian ini, ia menggeleng keras.
"Wanna dance?" gumamnya saat ingatan dibalkon kembali menyeruak di bayangannya. Ia memutar bola matanya malas.
Pria itu mengerutkan dahinya, lalu memukul setir mobil dengan pelan, "Tck...Oh! Come on Lux, apa apaan dengan permintaan dansa itu?"
Rasa penyesalannya telah menguasai pikiran itu, ia masih bertanya-tanya bagaimana bisa bersikap tanpa kendali emosional, itu sama sekali bukan jati dirinya. Bayangan saat ia menaruh pandangan pada Liliana tanpa berniat mengalihkan, ia menyesali itu.
"Pasti perempuan itu berpikir aku menyukainya, cih." Lucien bersuara seolah meludah, tanpa mengeluarkan ludah.
Rautnya menjadi datar, tatapannya menajam, ia mulai merasakan emosional yang bergejolak dalam dirinya. Namun, entah bagaimana bisa suara kecupan Liliana mendadak terdengar keras ditelinganya. Spontan menoleh kearah kanan dan kirinya, Lucien hanya sendiri didalam mobil itu.
"Apa? aku? menyukai anak kecil itu?" monolognya secara tiba-tiba, yang langsung dijawab sendiri dengan gelengan kepala, "Tidak mungkin."
Srett...
Saat berada dilampu merah pria itu menghentikan laju mobilnya secara mendadak sehingga mengeluarkan suara decitan rem yang cukup kencang, dirinya tidak menyadari bahwa lampu merah telah menyala, dimana memberikan ruang untuk pejalan kaki menyebrang di zebra cross. Beruntung pria itu tidak menabrak seorang anak kecil yang sedang menyebrang.
Ia mengeluarkan desahan halus, detak jantungnya pun mulai berpacu dengan cepat.
Usai lampu merah itu beralih warna dengan hijau, ia kembali memacu kendaraan besinya dengan kecepatan 80km/jam.
Hingga membutuhkan waktu hampir satu jam untuk Lucien sampai dilokasi yang telah ditentukan oleh Grack dalam tablet. Area tersebut jauh dari pemukiman warga, jalanan yang dilalui Lucien sebelum mencapai tempat ini juga cukup sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil.
Ditengah-tengah lahan yang begitu luas tetapi tandus itu, berdiri sebuah rumah bergaya jaman dulu. Dengan dikelilingi pagar besi tertutup yang mana bagian atas pagar dibuat runcing tajam berhimpitan, sehingga dapat melukai siapapun yang mencoba kabur dari tempat itu.
Lucien memarkirkan mobilnya dihalaman rumah, pencahayaan bagian luar hanya berasal dari lampu minyak tanah, yang diletakkan dibagian pagar secara berkeliling dengan jarak sama setiap lampunya.
Pria itu melangkah masuk kedalam rumah, melewati beberapa pengawal berbadan besar yang ditugaskan menjaga area rumah ini. Saat menginjakkan kaki didalam rumah, lampu berkilau putih memperjelas pandangannya, ia menatap kearah sofa yang tersedia didepan tv.
Bangunan rumah ini jika dilihat tampak sederhana dan mudah dihancurkan, tapi nyatanya dibangun dengan material beton, lalu dilapisi besi baja, baru dilapisi bata merah untuk finishing-nya. Sangat tebal dan sulit ditembus.
Tempat ini sangat terawat, meskipun keberadaan rumah yang sangat jauh dari pemukiman, bahkan hanya dikelilingi lahan tandus tanpa ada warga yang berniat meninggali wilayah ini. Dengan alasan pernah terjadi pembunuhan disalah satu rumah, lantaran takut yang tidak terbendung lagi mereka berbondong-bondong pindah. Beruntungnya menjadi kesempatan Lucien untuk digunakan sebagai tempat candangan jika sesuatu terjadi seperti saat ini.
"Katakan dengan alasan apa kau mengejar istri saya," ucap Lucien membuat seseorang yang terduduk lesehan menghadap tv menyala itu berdiri menatapnya.
"Siapa kau?" Pria itu bukannya menatap gentar kearah Lucien, ia malah berkacak pinggang dengan sorot mata menantang.
Lucien menarik kursi berbahan plastik, kemudian mendudukinya, "Apa pentingnya untuk mu tahu siapa aku?"
Tatapannya menusuk, manik kebiruan itu berkilat tajam seperti pedang yang siap menebas lawan bicaranya, "Katakan saja alasan mu, siapa saja yang bersamamu, lalu aku akan membebaskanmu."
"Lebih baik aku mati daripada mengatakannya,"
Kepalanya mengangguk, disertai tatapan remeh yang dilemparkan pada pria dihadapannya kini, "Jadi kau memilih mati."
Lucien bangun dari duduknya, ia bergerak mendekati pria itu. Sedari tadi kilau perak yang menggantung dileher pria didepannya itu terus menerus menarik perhatian. Ia melihat lebih jelas kalung dengan liontin perak berbentuk 〒.
Tatapannya yang semula tertuju dibagian dada itu perlahan naik, menatap lamat ke wajah yang tampak lebih tua dibanding usia sebenarnya.
Lucien bergerak memutari tubuh pria yang sama besar dengan tubuhnya itu, sampai berhenti di punggung pria tersebut, sesuatu terlihat hanya sebagian di punggung atasnya. Dengan gerakan kilat, ia menarik kaosnya, sehingga memperlihatkan dengan jelas tanda yang sama dengan liontin. Hanya sekilas lantaran pria tersebut langsung berbalik lalu memukul wajah Lucien secara tiba-tiba.
"Aku bahkan tidak menyetuh kulitmu," ucap Lucien disela sela ringisan perih yang terasa menjalar di pipi bagian dalam.
Lucien menegakkan tubuhnya yang sempat terhuyung akibat pukulan keras itu, ia berucap, "Baiklah jika masih tidak ingin mengucapkan apapun."
"Bersyukurlah tangan kotormu itu tidak menghilangkan nyawa orangku, atau aku akan sungguh-sungguh membawamu ke neraka!" serunya.
Lucien memutar tubuhnya, melangkah ke arah pintu, didepan pintu berdiri empat pengawal. "Bawa ke penjara," ucap Lucien sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut.