Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Sesampainya di rumah, Yudha membawa Puri ke dalam, memastikan ia merasa nyaman setelah seharian yang penuh dengan perasaan dan kejadian yang tak terduga.
Yudha tahu bahwa meskipun Puri terlihat lebih baik, hatinya masih terluka dan ada banyak perasaan yang belum bisa ia ungkapkan.
"Pur, istirahatlah. Kamu perlu tidur, ya? Sepertinya kamu sudah cukup lelah hari ini," kata Yudha dengan suara lembut, memandangi Puri dengan penuh perhatian.
Puri mengangguk pelan, matanya sedikit terpejam karena kelelahan.
"Iya, Mas," jawabnya tanpa sadar, suaranya pelan namun penuh makna.
Yudha terdiam sejenak mendengar Puri memanggilnya dengan sebutan "Mas".
Perasaan hangat menyelimutinya. Ia tahu bahwa sebutan itu mungkin terasa aneh bagi Puri, karena perasaan mereka masih kompleks, namun ia merasa sedikit lega, seperti ada sebuah tanda bahwa Puri mulai menerima keberadaannya dalam hidupnya.
"Mas?" tanya Yudha, menatap Puri dengan lembut, seakan meminta konfirmasi.
Matanya mencari pemahaman di balik kata-kata yang keluar dari bibir Puri.
Puri menatapnya dan tersenyum tipis, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya.
"Iya Mas." " jawab Puri dengan suara pelan, berusaha memberi pengertian.
Yudha tersenyum kecil, merasa hatinya sedikit lebih ringan.
"Terima kasih, Pur. Aku tahu ini semua bukan hal yang mudah bagimu. Tapi, aku akan sabar. Kita akan jalani semuanya bersama."
Puri hanya mengangguk, menundukkan kepala sejenak sebelum kembali menatap Yudha dengan tatapan penuh harapan.
"Aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Mas. Tapi aku ingin mencoba, setidaknya mencoba untuk berjalan bersama kamu."
Yudha mengangguk dengan penuh pengertian. Ia tahu bahwa jalan menuju penyembuhan bagi Puri akan panjang dan penuh tantangan.
Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu ada di sana untuk Puri memberi ruang, dukungan, dan cinta yang diperlukan, tanpa terburu-buru.
"Yang penting, kamu nggak sendirian. Aku ada di sini. Untuk sekarang, istirahat dulu, ya? Kita bisa mulai lagi besok," kata Yudha, membelai lembut rambut Puri.
Puri mengangguk sekali lagi, lalu berjalan ke kamar mereka.
Meskipun hatinya masih penuh dengan luka dan kebingungan, untuk pertama kalinya, ada sedikit rasa tenang di dalam dirinya.
Ia mungkin tidak tahu ke mana jalan ini akan membawa mereka, tetapi dengan Yudha di sisinya, setidaknya ia merasa sedikit lebih kuat.
Malam itu, mereka tidur dalam keheningan yang damai.
Puri tahu bahwa meskipun semuanya terasa begitu rumit, ia telah membuat langkah kecil menuju pemulihan.
Dan meskipun perasaan cintanya masih tergantung pada masa lalu, ia mulai belajar untuk menerima dan memberi ruang bagi masa depan yang baru.
Jam menunjukkan pukul dua pagi ketika Puri terbangun dari tidurnya yang gelisah.
Tubuhnya terbangun dengan keringat dingin, dan dalam kondisi setengah sadar, ia mengigau memanggil nama Karan dengan suara yang penuh keputusasaan.
"Karan... Karan...," ucapnya dengan terbata-bata, matanya terbuka setengah, tetapi seakan tidak bisa melihat dunia di sekelilingnya.
Tiba-tiba, Puri berteriak dengan keras, seakan mengalami mimpi buruk yang mencekam.
Suara teriakannya memecah keheningan malam dan langsung membuat Yudha terbangun, terkejut dengan reaksi Puri yang tampaknya sedang terperangkap dalam mimpinya.
Yudha cepat-cepat duduk dan segera mengguncang tubuh Puri dengan lembut.
"Pur... Pur, bangun sayang, ini cuma mimpi," kata Yudha dengan suara lembut namun penuh kekhawatiran.
Puri terengah-engah, air mata mengalir deras di pipinya. Ketika ia sadar akan keadaan sekitarnya, ia langsung memeluk tubuh Yudha dengan erat, seakan mencari pelukan yang bisa memberi rasa aman.
Tangannya menggenggam tubuh Yudha, seolah takut semuanya akan hilang lagi.
"Mas... aku... aku takut," Puri menangis sesenggukan, suara terisaknya terdengar pecah.
"Aku... aku nggak tahu kenapa, tapi aku nggak bisa berhenti memikirkan Karan."
Yudha, yang terkejut namun tetap sabar, membalas pelukan Puri dengan lembut.
Ia membiarkan Puri menangis dalam pelukannya, memberi ruang bagi perasaan yang belum sepenuhnya bisa ia pahami.
"Pur, aku di sini, aku akan selalu ada buat kamu," katanya dengan penuh perhatian, sambil mengusap punggung Puri dengan lembut.
"Kamu nggak perlu takut, sayang. Aku akan menemanimu, dan kita akan jalanin ini bersama."
Puri terus menangis, air matanya seolah melepaskan semua beban yang selama ini ia pendam.
"Kenapa Mas Karan pergi begitu saja?"
Yudha menghela napas pelan, mencoba meredakan kecemasan di hatinya. Meskipun ia tahu bahwa Puri masih terluka, ia tetap berusaha memberi kenyamanan.
"Pur, Karan mungkin sudah memilih jalannya sendiri, dan kita nggak bisa mengubah itu. Tapi kamu tidak sendiri. Aku ada di sini untuk kamu. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu berharga, dan aku mencintaimu."
Puri terisak dalam pelukan Yudha, merasa sedikit lebih tenang meskipun perasaan berat masih mengikat hatinya.
Ia tahu bahwa meskipun hatinya penuh dengan kenangan dan perasaan yang tak terungkapkan, Yudha adalah orang yang siap mendampinginya.
Dalam sepi dan kesedihan itu, ada cinta yang tulus yang siap untuk merawatnya.
Beberapa saat kemudian, Puri menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.
"Maafkan aku, Mas... aku nggak bisa mengontrol semuanya."
Yudha menyentuh wajah Puri dengan lembut, menghapus air mata di pipinya.
"Pur, nggak ada yang perlu kamu maafkan. Ini semua proses, dan kita akan melalui semuanya bersama-sama. Kamu nggak perlu menanggungnya sendirian."
Puri mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih penuh kebingungan. Tetapi untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa ada seseorang yang benar-benar ada di sisinya, siap menemani dalam setiap langkah kecil pemulihan ini.
Dalam pelukan Yudha yang penuh kasih, Puri perlahan mulai tertidur kembali, meski ada banyak perasaan yang masih mengganggunya.
Namun, ia merasa sedikit lebih tenang, tahu bahwa ia tidak lagi sendiri dalam menjalani perjalanan yang sulit ini.
Di tempat lain, Karan baru saja pulang setelah malam yang panjang, mulutnya penuh dengan bau alkohol yang menusuk.
Kakinya terasa berat, dan tubuhnya limbung saat ia memasuki rumah dengan langkah yang sempoyongan.
Setiap langkahnya terasa seperti beban, namun pikirannya tetap dipenuhi dengan kekacauan.
Di sisi lain, Amora, yang baru saja terjaga, terlihat cemas melihat kondisi suaminya.
Karan sudah beberapa kali datang dalam keadaan seperti ini terlalu banyak minum, dan selalu datang dengan wajah yang tampaknya penuh dengan penyesalan atau kebingungan.
Ia segera bangkit dari tempat tidur, bergegas menuju Karan yang hampir jatuh, dan dengan cepat memapah tubuh Karan untuk membantu menahannya.
"Karan, kamu kenapa? Kenapa pulang dengan keadaan seperti ini?" tanya Amora dengan suara lembut, meskipun di balik kata-katanya ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.
Karan menatap Amora dengan pandangan kosong, matanya samar-samar fokus pada wajah istrinya, tetapi pikirannya jelas tidak berada di sana.
"Puri... Puri... aku... aku nggak bisa berhenti memikirkan Puri," gumam Karan dengan suara serak dan terengah-engah, seakan kehilangan kendali atas kata-katanya.
"Kenapa aku harus meninggalkannya? Aku... aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan."
Amora terkejut mendengar nama Puri disebut. Ini bukan pertama kalinya Karan menyebutkan nama Puri dalam keadaan seperti ini, dan meskipun ia sudah berusaha memahami keadaan Karan, hatinya tetap merasa terluka.
Ia berusaha menahan emosi dan tetap menjaga ketenangannya, meski hatinya meronta.
"Karan, kamu sudah menikah dengan aku," kata Amora, suaranya lebih tegas namun penuh pengertian.
"Kamu harus berhenti memikirkan Puri. Kita sudah memilih jalan kita berdua. Aku di sini, Karan, dan aku ingin kamu tetap di sini bersamaku."
Karan menatap Amora, tampaknya masih tidak bisa menerima kenyataan yang ada.
Tangannya terulur, mencoba menggenggam tangan Amora, namun gerakannya kacau, dan ia hampir terjatuh.
"Aku nggak tahu kenapa aku merasa begini... aku harusnya bahagia dengan kamu, Amora, tapi kenapa aku merasa kosong?"
Amora, meskipun hatinya terluka, berusaha untuk tetap tenang.
"Karan, kamu harus sadar. Apa yang terjadi dengan Puri sudah terjadi. Kamu nggak bisa mengubah masa lalu. Kita harus fokus pada masa depan kita. Aku ingin kita menjalani hidup bersama. Aku ingin kamu di sini, sekarang."
Karan terdiam, bibirnya gemetar, dan matanya tampak penuh kebingungan.
Ia berusaha meresapi kata-kata Amora, tetapi perasaan bersalah dan penyesalan yang membebaninya tidak mudah hilang.
"Aku... aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Amora. Puri... dia... dia hamil, dan aku meninggalkannya begitu saja. Aku nggak bisa lupakan dia."
Amora menggenggam tangan Karan dengan kuat, mencoba mengalihkan pikirannya.
"Karan, aku tahu kamu masih terluka, tapi kita harus berjalan maju. Jangan terus memikirkan masa lalu. Kita punya masa depan yang harus kita jalani bersama."
Namun, dalam hati Amora, ada rasa takut yang semakin besar.
Ia tahu bahwa Karan masih terjebak dengan masa lalunya, dan itu menghalangi mereka untuk benar-benar membangun kehidupan bersama.
Setiap kali nama Puri disebut, ia merasa terpinggirkan, merasa seperti hanya menjadi pengganti sementara, bukan pilihan utama bagi Karan.
Malam itu, Karan terlelap dalam keadaan kacau. Meskipun fisiknya berada di rumah bersama Amora, pikirannya masih terjebak dalam kenangan tentang Puri, wanita yang telah begitu banyak mengisi hidupnya, meskipun kini ia telah memilih jalan yang berbeda.
Amora, di sisi lain, merasa semakin terperosok dalam ketidakpastian, berusaha tetap mendampingi suaminya, meskipun hatinya terus dipenuhi keraguan.