(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
...Keesokan paginya, Viola berangkat kerja seperti biasa hingga sore menjelang. Ia pulang berjalan kaki seorang diri, menyusuri ramainya jalanan menuju mansion tempat tinggalnya. Namun, dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja Viola melewati taman yang kemarin. Langkahnya terhenti, dan ia memilih untuk mampir sejenak, mencari ketenangan di salah satu bangkunya....
...Di taman yang mulai remang, Viola meraih ponselnya. Jari-jarinya lincah menyentuh ikon kamera video. Layar menyala, dan di hadapannya, ia mulai mencurahkan segala gundah yang memenuhi benaknya. Ini adalah kebiasaannya, sebuah ritual pribadinya setiap kali badai emosi menerjang dan ia merindukan bahu tempat bersandar. Namun, sunyi adalah satu-satunya teman sejatinya. Maka, rekaman video inilah yang menjadi pendengar setianya....
...Usai menumpahkan segala beban di hatinya ke dalam rekaman, Viola mengakhiri video itu dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas....
"Hah..." Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Ia menangkupkan kedua tangannya pada wajah, dan seketika air mata mengalir deras, tak terbendung. "Mama... Viola rindu..." bisiknya pilu.
"Permisi, Nak," sebuah suara lembut menyapa. Seorang wanita tua berdiri di samping bangku Viola, menatapnya dengan raut bingung.
Terkejut, Viola buru-buru menyeka air matanya dengan kasar. Ia menoleh ke arah suara itu, menyahut pelan dengan mata yang masih sembab, "Iya...?"
"Apa... apa kamu cucuku?" tanya wanita itu, kerut di dahinya semakin dalam saat meneliti wajah Viola.
"Nenek, mari duduk di sini." Viola segera berdiri dan dengan sigap membantu wanita tua itu berjalan perlahan menuju bangku taman.
Setelah sang nenek duduk dengan nyaman, Viola bertanya dengan nada lembut, "Nenek sedang apa di sini? Apa ada yang menemani?" Viola mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman.
"Entahlah, Nak," jawab sang nenek lirih, menundukkan kepalanya dengan wajah sendu. "Tadi, aku berjalan-jalan dengan suamiku... tapi tiba-tiba saja dia menghilang, meninggalkanku sendirian di sini..."
...Viola menatap nenek itu dengan sorot mata penuh perhatian. Dalam benaknya, ia langsung menduga bahwa sang nenek kemungkinan besar mengalami sundowning, kondisi yang sering terjadi pada sore hari dan memengaruhi penderita demensia atau Alzheimer....
Viola tersenyum tulus, lalu kembali duduk di sisi wanita tua itu. "Apa Nenek ingat nama belakang suami Nenek?" tanyanya hati-hati.
"Nama belakangnya... kurang ingat, Nak," jawab sang nenek dengan tatapan menerawang. Namun, senyum lembut menghiasi wajahnya saat melanjutkan, "Tapi dia pria yang sangat baik, penuh cinta... Dulu, sepulang kerja, dia sering mengajakku bermain di taman ini." Matanya berbinar saat memandang ke hamparan taman yang luas.
"Wah... pasti Nenek sangat bahagia bersamanya," ujar Viola dengan nada penuh empati, berusaha memahami kondisi yang sedang dialami sang nenek.
"Tentu saja, Nak. Aku sangat bahagia. Sebagai gantinya, aku melahirkan beberapa anak untuknya, dan akhirnya..." Ucapan sang nenek tiba-tiba terhenti, tatapannya kosong, dan air mata mulai mengalir di pipinya. Viola yang bingung, segera menoleh ke arah wanita tua itu.
"Nek! Kenapa menangis? Sudah, jangan sedih. Semua itu sudah takdir. Suami Nenek pasti bahagia di surga memiliki istri yang begitu mencintainya," Viola membujuk dengan lembut sambil mengeluarkan tisu dari dalam tasnya dan mengusap air mata yang membasahi pipi sang nenek dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih, Nak," ucap sang nenek dengan senyum cerah yang kembali merekah di wajahnya, menatap wajah cantik Viola dengan rasa terima kasih yang mendalam.
"Nak," panggil sang nenek dengan suara lirih penuh harap.
"Iya, Nek?" jawab Viola lembut, menanti kelanjutan ucapan wanita di sampingnya.
"Aku punya seorang cucu laki-laki. Dia sangat tampan," kata sang nenek dengan mata berbinar. "Dia belum menikah karena sibuk bertugas. Maukah kamu menikah dengannya?"
...Permintaan tiba-tiba itu bagai petir di siang bolong bagi Viola. Ia terkejut, membeku di tempatnya dengan mata membulat....
"A... anu, Nek, sebenarnya aku—"
"Nenek!" Sebuah seruan berat dan tegas memotong ucapan Viola. Suara bariton itu terdengar mendekat dari arah belakang mereka.
...Spontan, Viola dan sang nenek menoleh ke arah sumber suara. Seketika, kedua mata Viola membulat sempurna, tak percaya dengan pemandangan di hadapannya....
"Bobby?" bisik Viola, nyaris tak bersuara.
Sang nenek yang melihat reaksi Viola, tersenyum lebar dengan penuh arti. "Nah, Nak. Ini dia cucuku yang nenek ceritakan. Tampan kan?" ujarnya bangga.
"I-iya, Nek," jawab Viola dengan nada gugup dan kebingungan.
...Bobby kini berdiri tegak di hadapan mereka, berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Bagaimana tidak panik? Baru saja tiba di rumah, ibunya langsung memberitakan bahwa sang nenek menghilang lagi. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari mencari ke seluruh penjuru, dan ternyata... neneknya sedang duduk santai bersama... istri atasannya....
"Terima kasih banyak, Nyonya," ucap Bobby akhirnya, setelah berhasil menenangkan kepanikannya meskipun napasnya masih belum sepenuhnya teratur.
"Sama-sama, Bobby," sahut Viola dengan senyum yang terasa sedikit kaku.
"Jadi, Nak, kamu mau kan menikah dengan cucuku?" tanya sang nenek lagi, tanpa menyadari ketegangan yang tercipta.
Duar!
...Bobby tersentak kaget. Ia segera menghampiri sang nenek dan dengan sigap membantunya berdiri....
"Maafkan perkataan nenek saya, Nyonya," ujar Bobby dengan nada menyesal. "Beliau sudah tua dan terkadang tidak menyadari apa yang diucapkannya."
"Tidak apa-apa, Bobby. Saya mengerti," jawab Viola dengan senyum maklum.
"Kalau begitu, biar saya antar Nenek pulang sekalian, Nyonya," tawar Bobby dengan sopan.
"Tidak, terima kasih. Saya sedang ingin menikmati jalan santai," tolak Viola halus sambil bangkit dari bangkunya. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Sampai jumpa," ucapnya seraya melangkah pergi meninggalkan Bobby dan neneknya di taman.
(Bersambung)