Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Suasana ndalem pesantren siang itu sunyi senyap, hanya suara angin lembut yang menyelinap dari celah-celah jendela kayu, mengaduk haru di ruangan sederhana tempat ijab kabul akan dilangsungkan.
Karpet hijau tua terbentang rapi, dan para saksi telah duduk dengan kepala tertunduk, wajah-wajah mereka khidmat, seolah tahu bahwa pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan penebusan, pengorbanan, dan penguatan takdir.
Kiai Hasan duduk di tengah, wajahnya menegang namun tegar. Sementara penghulu, tampak menggenggam kitab nikah dan beberapa lembar dokumen yang harus diselesaikan. Bayu duduk di hadapannya dengan wajah serius, mengenakan baju koko putih dan sarung songket warna cokelat.
Dan Aila duduk di sebelah kanan Umi Fatimah. Aila tampak cantik, dalam balutan gamis putih bersih dan kerudung lembut gading. Tangannya gemetar, namun matanya menatap mantap ke depan tirai arah Bayu, mata yang sempat ragu, kini pasrah dan siap menjalani takdir.
Azela duduk di sebelah kiri Umi Fatimah. Perutnya yang mulai membesar sesekali membuatnya menarik napas dalam, tapi air matanya sudah mengalir sejak awal prosesi dimulai. Tangannya terus menggenggam tasbih kecil, mengucap doa dalam hati untuk suaminya, untuk Aila, dan untuk anak yang sedang ia kandung.
Kiai Hasan membuka acara dengan suara yang sedikit serak, memimpin doa pembuka. Lalu, tibalah pada momen ijab kabul. Suasana menegang. Semua mata tertuju pada Bayu.
Dengan suara tenang namun mantap, penghulu berkata,
"Saudara Gus Bayu Langit bin Hasan, saya nikahkan engkau dengan Aila Rusli binti Rusli, dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram tunai."
Bayu menarik napas dalam. Suaranya bergetar tapi penuh keyakinan.
"Saya terima nikah dan kawinya Aila Rusli binti Rusli dengan maskawin tersebut tunai."
Hening.
Seketika suara para saksi bersahutan, mengucap,
“Sah. Sah.”
Dan saat itu pula, Azela menunduk dalam, menyeka air mata yang membasahi pipi. Umi Fatimah menggenggam tangannya erat, merasakan kekuatan luar biasa yang mengalir dari menantunya itu.
Bayu menunduk, memejamkan mata. Dalam hatinya, ia berjanji pada Allah untuk menjaga kedua wanita yang kini menjadi amanah hidupnya.
Sementara Aila, masih menahan tangis. Hatinya kecewa karena yang mengikrarkan ijab kabul bukan Abian, pria yang Aila inginkan. Melainkan Bayu pria yang selalu membuat Aila berdebat. Ia tahu ini bukan awal yang ideal.
Setelah suasana haru akad nikah mereda, dan para tamu keluarga mulai sibuk bercengkerama, Azela yang sejak tadi diam di sudut ruangan dengan senyum tenang, perlahan bangkit dari duduknya. Tangannya mengelus perut yang mulai besar. Ia menghampiri Bayu yang tengah berbicara dengan Kiai Hasan.
“Mas...”
Bayu menoleh. Menahan campur aduk perasaan yang belum selesai.
“Aku pamit dulu. Badanku rasanya capek sekali... aku mau istirahat di rumah,” ucap Azela lirih tapi tetap ramah.
Bayu segera menghampiri istrinya, “Tak usah buru-buru pulang sendiri. Biar Mas antar nanti.”
Namun Azela menggeleng pelan. Matanya menatap dalam ke arah suaminya.
“Ndak usah Mas, ini malam pernikahanmu.Tetaplah di sini temani Aila."
Pinta Azela.
Bayu tertegun.
"Tapi...kamu sedang hamil, mas antar kamu pulang..." ujar Bayu tegas.
"Ndak Mas...aku ndak mau ganggu, waktumu.
Aku tahu kamu mencintai Aila. Dan Aku sudah lama tahu itu. Dari cara Mas bicara, cara Mas menatapnya diam-diam. Tapi aku juga tahu, Aila belum mencintaimu. Jadi gunakan malam ini untuk Mas Bayu bicara dari hati ke hati. Jangan pikirkan aku Mas, kamu sudah cukup baik padaku, bahkan kamu masih peduli denganku hingga saat ini...”
Bayu terdiam. Ingin menampik, tapi lidahnya kelu. Karena Azela tidak sedang menyudutkan. Ia sedang membuka jalan.
“Kamu butuh waktu, Mas... untuk mendapatkan hatinya. Jangan buru-buru. Jangan paksa Aila mencintaimu sekarang. Tapi bimbing dia, tuntun dia... dan jadilah seperti yang selama ini Mas Bayu tunjukkan padaku,laki-laki soleh dan penuh kasih.”
Ucap Azela pelan.
Bayu mengangguk. Lalu membuka suaranya.
"Jika begitu, pulanglah dengan sopir pondok, Mas Minta, Adiba untuk antar kamu ditemani santri wati lainnya."
Azela tak menolak, agar suaminya Bayu tak merasa hawatir.
Azela tersenyum kecil, meski air matanya nyaris tumpah. Ia menggenggam erat tangannya sendiri. Kemudian melangkah meninggalkan ndalem, diiringi pandang mata Bayu yang tak bisa menyembunyikan haru dan rasa bersalah sekaligus.
Kepergian Azela hari itu bukan sekadar karena lelah jasmani. Tapi juga karena hatinya memilih untuk memberi ruang, ruang bagi suaminya, dan juga bagi Aila, yang kini resmi menjadi madu dan bagian dari hidup mereka.
Suasana pondok mulai sunyi. Tamu-tamu telah pulang, beberapa santri merapikan bekas hidangan hajatan dengan senyum lelah. Sementara di ndalem, malam itu menyisakan keheningan yang tak biasa.
Bayu berdiri di depan pintu kamar pengantin, menatap gagang pintu dengan ragu. Di dalam sana, Aila telah lebih dulu masuk, duduk memunggungi arah pintu. Gaun putih sederhana yang dikenakannya masih utuh, rambutnya disanggul anggun tertutup kerudung, namun tubuhnya terlihat tegang.
Bayu menarik napas panjang, mengetuk pelan dua kali, lalu membuka pintu dengan hati-hati.
“Assalamu’alaikum...” ucapnya lirih.
Aila menoleh cepat. Matanya sedikit membesar melihat sosok Bayu yang berdiri canggung di ambang pintu. Wajah pria itu tampak tak kalah gugup.
“Wa’alaikumsalam...” sahut Aila, nyaris tak terdengar.
Bayu masuk, menutup pintu dengan pelan, lalu berdiri sejenak di dekat meja kecil. Hening beberapa detik. Suara jangkrik di luar jendela lebih ramai dari suara mereka.
“Aila...” panggil Bayu akhirnya. Ia melangkah pelan ke arah adik angkatnya, yang kini sah menjadi istrinya.
Aila menunduk. Tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuannya.
“Mas...gimana Mbak Zela? Udah tidur?” tanyanya cepat, mencoba menghindar dari situasi yang membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Bayu mengangguk kecil. “Mbakmu, barusan juga pamit...dianter Adiba”
Lagi-lagi hening.
Bayu menggeser duduk ke sisi ranjang, tapi masih menjaga jarak. Ia menatap ke depan, tidak langsung menatap Aila.
“Dek, boleh mas nanya sesuatu?” ucapnya pelan.
Aila hanya menoleh sejenak, kemudian kembali menunduk.
“Mas boleh tidur di kamar ini malam ini?” tanyanya, hati-hati.
Tubuh Aila menegang seketika. Ia menggigit bibir bawahnya.
“Mas... tapi Aila... Aila belum siap untuk... ya... untuk jadi istri, maksudnya... yang sepenuhnya...” ucapnya gugup, terbata-bata.
Bayu langsung menoleh. Ia tersenyum samar, lalu mengangguk.
“Mas ngerti. Mas nggak akan minta itu malam ini. Mas cuma... pengen tidur di kamar yang sama. Bukan karena apa-apa. Tapi supaya orang-orang tahu kita nggak sedang saling menjauh.”
Aila masih diam, tapi rona wajahnya mulai melunak.
“Mas nggak akan sentuh Aila, kalau memang belum siap. Mas cuma mau nemenin, itu aja,” lanjut Bayu.
Aila menarik napas panjang. Ia menoleh perlahan, dan kali ini menatap wajah suaminya dengan lebih tenang.
“Tapi... mbak Zela... Mas... bukankah mas harusnya menemani beliau? Aila ndak mau mas cuma... kasihan sama Aila,” ucapnya dengan suara rendah.
Bayu tersenyum tipis. Ia menunduk sejenak, lalu menjawab tenang.
“Mas nggak kasihan. Mas cuma ingin menjalankan amanah. Nama baik Abah.. dan kamu juga. Dan malam ini, mas cuma ingin memastikan kamu tahu... kamu nggak sendiri.”
Aila menunduk. Bibirnya bergetar. Ia mengangguk pelan, lalu mengusap ujung matanya yang mulai basah.
Bayu menghela napas perlahan.
“Aila...” lirihnya sambil duduk di sisi ranjang, menjaga jarak agar tidak membuat istrinya semakin canggung. “Mas tahu, ini semua berat. Bahkan mungkin terasa sangat memaksa untukmu.”
Aila hanya diam. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan perasaan yang tak bisa ia uraikan. Matanya menatap nanar ke arah jendela kamar yang masih setengah terbuka, menampilkan langit malam pondok yang sunyi dan pekat.
“Kalau mas boleh jujur,” lanjut Bayu, suaranya rendah, “mas juga tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini. Tapi kadang... hidup bukan soal apa yang kita rencanakan, tapi bagaimana kita bertanggung jawab atas takdir yang datang tiba-tiba.”
Aila mulai berkaca-kaca.
“Mas... bukan orang yang sempurna. Tapi mas akan berusaha, untuk tidak menyakitimu. Tidak akan menyentuhmu tanpa ridhomu. Tak akan memaksa jika hatimu belum ingin membuka pintu,” suara Bayu mulai bergetar. “Dan tentang Azela... Mas sudah berpamitan dengannya, dengan hatinya. Karena yang sekarang jadi istri mas... kamu.”
Aila menoleh perlahan. “Tapi aku bukan siapa-siapa buat mas, mas hanya menikahi aku karena keadaan...”
“Dan justru karena keadaan itulah, mas ingin menjaga namamu. Nama abah. Dan menjaga kamu,” ujar Bayu mantap.
Hening sejenak. Suara jangkrik dan desir angin malam di balik jendela menjadi latar yang sunyi.
Aila akhirnya berkata, lirih namun tulus, “Kalau begitu... tidurlah di sini, mas. Tapi di sofa saja ya...” bibirnya menyunggingkan sedikit senyum, kikuk dan canggung.
Bayu terkekeh pelan, lalu mengelus kepala Aila. “Mas ndak keberatan, mas malah lega kamu ndak usir mas dari kamar ini.”
Aila tersenyum tipis, untuk pertama kalinya malam itu, meski masih samar dan lelah.
“Terima kasih, Mas Bayu...”
Bayu pun berdiri sejenak, mengambil bantal tambahan dari atas ranjang, lalu merebahkan diri perlahan di sofa yang Aila maksudkan.
Malam itu, tak ada pelukan, tak ada sentuhan. Hanya dua hati yang sedang belajar menerima.