Mikayla, wanita pekerja keras yang telah mengorbankan segalanya demi keluarga, justru terbaring sendiri di rumah sakit karena sakit lambung kronis akibat kelelahan bertahun-tahun. Di saat ia membutuhkan dukungan, keluarganya justru sibuk menghadiri pernikahan Elsa, anak angkat yang mereka adopsi lima tahun lalu. Ironisnya, Elsa menikah dengan Kevin, tunangan Mikayla sendiri.
Saat Elsa datang menjenguk, bukan empati yang ia bawa, melainkan cemooh dan tawa kemenangan. Ia dengan bangga mengklaim semua yang pernah Mikayla miliki—keluarga, cinta, bahkan pengakuan atas prestasi. Sakit hati dan tubuh yang tak lagi kuat membuat Mikayla muntah darah di hadapan Elsa, sementara gadis itu tertawa puas. Tapi akankah ini akhir cerita Mikayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan Di Ruang Tamu
Mikayla menoleh perlahan ke arah Elsa, yang masih berpura-pura menunduk manis di pelukan Mama Vivi.
Tatapan matanya tajam, tak lagi lembut seperti dulu. “Ah… jadi karena sekarang ada dia,” Mikayla mengucap dengan nada pelan namun dingin, “kalian menganggap aku hanya penumpang di rumah ini?”
Papa Julio menyipitkan mata, nadanya naik. “Elsa punya nama, Kayla. Jangan kau sebut dia ‘dia’ seolah dia bukan manusia!”
Mikayla tertawa pendek, getir. “Pa, Ma... dia baru saja datang ke rumah ini, belum genap sejam, dan kalian... untuk pertama kalinya dalam hidupku... membentak aku. Marah padaku. Karena dia.” Mikayla menekankan setiap kata seperti belati yang ditancapkan perlahan.
Wajah Mama Vivi mendadak panik. “Bukan begitu, sayang. Mama hanya...”
“Mama hanya apa?” potong Mikayla, suaranya datar, tapi penuh luka. “Hanya terlalu cepat menggantikan ku?”
“Kamu apa-apaan sih, Kayla?” bentak Papa Julio, emosinya meledak. “Kamu sudah besar, jangan bawa-bawa drama ke rumah ini! Sepertinya kamu kebanyakan nonton drama, jadi Keikut ke kehidupan nyata.”
Mikayla tersenyum sinis, anggun, namun menyakitkan. “Ah ya... aku sudah besar, dan dia masih kecil, begitu?” Ia menunjuk Elsa dengan dagunya. “Padahal umur kami sama-sama dua puluh tahun. Tapi lucunya... dia disebut ‘kecil’, sementara aku dianggap sudah harus mengerti segalanya.”
Papa Julio terdiam. Mama Vivi terlihat tertahan, seperti ingin berkata sesuatu tapi lidahnya kelu.
Saat itu juga, Bi Nini masuk, sedikit terburu-buru.
“Permisi, Nona, Tuan, Nyonya... di luar ada petugas ekspedisi. Mereka bilang ingin menjemput barang.”
Papa Julio dan Mama Vivi saling memandang cepat. Wajah mereka menegang.
“Barang?” tanya Mama Vivi pelan.
Mikayla mengangguk pelan, tanpa menatap mereka. “Bi Nini, tolong arahkan mereka ke kamar saya. Bantu mereka angkut semuanya.”
“Baik, Nona,” ucap Bi Nini sambil sedikit membungkuk, lalu segera pergi.
Mama Vivi melangkah mendekat. Wajahnya cemas. “Kayla… barang apa yang mau kamu kirim? Kamu mau pindah? Kenapa nggak bilang sama Mama?”
Mikayla menatap ibunya dalam diam sejenak. Matanya memerah, tapi air mata tak keluar.
“Kenapa?” suaranya nyaris berbisik, tapi terasa menghantam. “Bukankah kalian sudah punya anak perempuan baru? Yang kalian bela-belain membentak dan memarahi ku saat ini?”
Mama Vivi terdiam. Matanya berkaca-kaca. Ia menoleh ke Julio, berharap sang suami bicara.
Tapi yang Julio lakukan justru menatap Mikayla dengan sorot mata tajam, tak percaya.
“Kayla, kalau bukan karena kamu membantah kami, kami tak akan memarahi mu. Dan kamu… kamu telah membuat mama kamu sedih,” ujar Julio, masih dengan nada tinggi. Wajahnya tegang, namun suara itu mengandung luka dan gengsi.
Di saat yang sama, beberapa petugas ekspedisi mulai menaiki tangga setelah mendapatkan izin dari Bi Nini. Mereka berjalan sopan, dengan langkah hati-hati.
“Permisi, Tuan, Nyonya,” ucap salah satu dari mereka sopan sambil menunduk.
Seketika ruangan menjadi sunyi. Tiga pasang mata, Julio, Vivi, dan Mikayla terpaku. Elsa pun ikut diam.
Tak satu pun dari mereka melanjutkan percakapan. Rasa takut percakapan mereka terdengar oleh orang luar membuat semua akan menjadi buah bibir.
Dan tak lama kemudian, para kurir itu turun kembali, masing-masing membawa kardus besar berisi koleksi tas branded Mikayla. Dipegang dengan sangat hati-hati, seolah mereka sedang membawa artefak museum bernilai miliaran.
Elsa yang sejak tadi duduk manis, tiba-tiba bangkit dan mendekati para petugas itu. Matanya Membelalak, bibirnya ternganga kagum melihat ukiran dan segel eksklusif pada kotak-kotak tersebut. Kekaguman itu bukan karena keindahan... tapi karena nafsu untuk memiliki.
“Aku harus punya tas itu… mereka harus jadi milikku,” batinnya menggeliat penuh hasrat. Ia menoleh pada Mikayla, mencoba bersuara manis dan kepolosan yang dibuat-buat.
“Kak Mikayla… barang itu mau dibawa ke mana? Itu tas, kan? Cantik sekali… aku belum pernah punya tas semewah itu,” katanya dengan nada manis, namun matanya memancarkan rasa lapar.
Papa Julio dan Mama Vivi saling berpandangan. Wajah mereka berubah muram. Mereka kasihan pada Elsa. Anak dari teman baik mereka yang kehilangan orang tua begitu cepat.
Mama Vivi hatinya tersayat melihat betapa antusiasnya Elsa, namun sekaligus sadar betapa menyedihkannya hidup anak itu selama ini.
Kayla…” suara Mama Vivi pelan, “mau dibawa ke mana barang-barangmu?”
Mikayla tak langsung menjawab. Ia menatap Elsa, lalu beralih pada kedua orang tuanya. Bibirnya melengkung, sinis namun dingin.
“Kenapa, Ma? Apa karena Elsa menyukai barangku, Papa dan Mama juga akan menyuruhku memberikannya?” suaranya tenang namun menusuk.
Mama Vivi dan Papa Julio terdiam, wajahnya menegang. Apakah putrinya ini mengerti apa yang mereka pikirkan?
Julio mengangkat dagu. “Memangnya kenapa kalau Papa meminta? Itu juga uang Papa dan Mama, bukan? Lagipula Elsa paling cuma minta satu atau dua tas. Tidak akan membuatmu rugi.”
Mikayla menghela napas, pendek dan dingin.
“Papa…” ia berkata pelan. “Papa tahu tidak, untuk mendapatkan tas itu, aku menabung berbulan-bulan, rela puasa jajan. Bahkan… aku pernah tidak tidur semalaman hanya untuk mengejar slot pre-order tas itu.”
“Pernahkah aku meminta langsung ke Papa atau Mama untuk membelikanku barang-barang itu?”
Julio terdiam. Sebuah pertanyaan sederhana yang tak bisa ia jawab.
Karena memang… Mikayla tidak pernah meminta apa pun. Bahkan tidak pernah merengek seperti Elsa yang baru sehari tinggal di rumah ini.
“Tapi tetap saja, itu uang Papa dan Mama yang kamu beli.” Julio masih bersikukuh.
“Wow…” Mikayla tersenyum miris. “Sekarang Papa dan Mama mulai perhitungan pada anak sendiri? Setelah dua puluh tahun hidup bersama?”
“Bukan begitu, Sayang,” ujar Mama Vivi cepat. “Sudahlah, Pa. Kita belikan saja yang baru untuk Elsa. Jangan sampai Kayla membenci kita hanya karena ini.”
Tapi belum sempat perdebatan berakhir, Elsa berkata dengan nada kecewa, “Tapi… aku suka tas itu. Di mana aku bisa mendapatkannya ya… Mungkin saja ada tas KW nya di aplikasi orange.” gumam nya pelan, tapi masih terdengar oleh Julio.
Julio menatap Elsa. Ada rasa iba dalam dirinya. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu… anak ini hanya menginginkan yang menurut nya sangat sederhana.
“Elsa,” ujarnya, “kau pilih saja barang Mikayla. Tak usah peduli tentang dia. Kalau dia keberatan, Papa yang bayar tas itu.”
Mata Mikayla menyipit. Suara tawanya pelan namun menyakitkan. “Wah, sungguh luar biasa. Calon Papa yang sangat pengertian pada anak barunya. Sayangnya, Pa… Papa nggak bisa ambil tas itu.”
Julio menyipitkan mata. “Kenapa?”
“Karena tas itu… sudah jadi milik Susan.”
Begitu nama itu disebut, raut wajah Julio berubah. Tegang. “Susan?”
Melihat Papa Julio menegang, Mikayla tersenyum disudut bibir nya.
buktikan bahwa kamu bisa bahagia dan menjadi orang besar tanpa harus memakai embel embel nama keluarga tocix itu
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
Mikayla semangat 💪
bakal nyesel nanti keluarganya.