aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Aku melangkah pelan kembali ke ruang perawatan, menatap wajah Ramli yang masih pucat dan terbaring lemah di ranjang. Ponsel masih kugenggam erat di tangan, dan aku bisa melihat matanya menatapku penuh tanya.
Begitu aku menyerahkan ponsel itu, Ramli langsung bertanya dengan suara serak,
"Kalian ngomongin apa aja?"
Aku menarik napas panjang, lalu duduk di kursi di samping ranjangnya. "Dia cuma nanya keadaan kamu. Terus nyuruh aku jagain kamu karena dia sibuk," ucapku datar, menahan emosi.
Ramli memicingkan mata. "Sibuk? Sibuk ke mana sih dia sampai nggak bisa datang?"
Aku menyilangkan tangan. "Tanya aja sendiri nanti. Tapi dari obrolan kami tadi, jelas kelihatan dia lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kamu."
Ramli terdiam sejenak. "Kamu ngomong apa ke dia?"
Aku menatap matanya langsung, tajam. "Aku bilang sekarang giliran dia yang rawat kamu. Aku udah cukup sabar. Dulu kamu khianati aku demi dia, sekarang aku nggak akan jadi penolong kalian. Apalagi dia—istri muda yang bahkan nggak ada waktu saat kamu terbaring begini."
Ramli terlihat gelisah, mencoba duduk tegak. "Kamu nggak kasar kan ngomongnya?"
Aku tertawa pendek. "Kasar? Aku masih baik. Kalau aku buka semua yang aku tahu, baru deh kamu bisa bilang itu kasar."
Ramli menatapku bingung. "Maksud kamu apa?"
Aku berdiri pelan, menatap wajahnya yang kini tampak penasaran sekaligus cemas. "Tanya aja nanti sama istri mudamu… apakah benar dia hanya sibuk, atau malah sedang asik bersama orang dari masa lalunya."
Ramli terperanjat. "Kamu serius? Kamu tahu sesuatu?"
Aku hanya tersenyum sinis. "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Tapi bukan tugasku buat ngasih tahu semua. Biar kamu cari sendiri jawabannya. Supaya kamu sadar… siapa yang benar-benar ada buat kamu, dan siapa yang cuma numpang hidup."
Aku pun melangkah keluar ruangan, membiarkan suamiku sendirian di sini. Terdengar suara suamiku memanggil dengan nada lirih namun mendesak.
"Rukayah… tunggu dulu, jangan pergi dulu… temani aku sebentar, sampai Wulan datang…"
Langkahku sempat terhenti di ambang pintu. Tapi aku tidak menoleh. Aku hanya berdiri sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan tegas, tanpa keraguan sedikit pun.
"Bukan tugasku lagi untuk duduk di sampingmu dan merawatmu. Kamu sudah memilih Wulan sebagai istrimu, jadi sudah seharusnya dia yang menemanimu. Jangan panggil-panggil aku seolah aku masih punya kewajiban atas dirimu."
"Tapi… aku cuma butuh kamu di sini sebentar aja," suara Ramli terdengar hampir seperti bisikan, penuh harap.
Aku berbalik sejenak, menatapnya dingin.
"Kamu cuma butuh aku saat kamu terbaring lemah dan tak punya siapa-siapa. Tapi waktu kamu punya segalanya, kamu buang aku kayak sampah. Sekarang jangan berharap aku jadi pelayanmu lagi, Ramli."
Aku melangkah lagi, kali ini lebih cepat. Tapi suara Ramli terus menyusul dari belakang.
"Rukayah… aku minta maaf… aku salah…"
Aku berhenti sebentar, tapi tak menoleh. Dengan suara yang datar namun penuh luka, aku berkata,
"Maaf saja nggak cukup untuk menyembuhkan semua luka yang kamu buat. Rawat dirimu sendiri. Atau minta saja keluargamu yang dulu pernah ikut menikmati hartamu untuk merawatmu. Aku sudah selesai."
Tanpa menunggu jawaban, aku pun pergi meninggalkan ruangan itu—meninggalkan dia dengan penyesalan dan kesendirian yang dulu pernah dia hadiahkan kepadaku.
Baru saja kakiku melangkah beberapa meter dari ruang perawatan, tiba-tiba seorang perawat memanggilku.
"Bu, mohon maaf… ini ada administrasi yang harus segera dibereskan. Biaya perawatan Pak Ramli perlu dibayar sekarang," ucapnya sopan tapi tegas, sambil menyerahkan map berisi rincian tagihan.
Aku menatap map itu dengan ekspresi datar, lalu menoleh kepada perawat tersebut.
"Maaf, Bu. Saya bukan istrinya yang bertanggung jawab untuk urusan ini. Sebentar lagi istri mudanya akan datang ke sini. Silakan tagih semuanya ke dia."
Perawat itu tampak bingung. "Tapi… Bapak tadi menyebut Ibu yang mengantarnya. Kami pikir Ibu keluarganya…"
Aku menyilangkan tangan di dada, senyum sinis muncul di wajahku.
"Saya cuma istri tuanya, Bu. Dan sekarang, saya bukan siapa-siapa. Dia sudah punya istri baru, jadi jangan salah alamat. Yang punya tanggung jawab sekarang ya istri mudanya. Saya ke sini pun cuma karena kasihan. Tapi kalau harus keluar uang? Maaf, tidak."
Perawat itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada ragu.
"Kalau begitu, kami tunggu istrinya datang, ya Bu…"
Aku mengangguk pelan. "Silakan. Tapi jangan kaget kalau yang datang nanti malah makin bikin pusing."
Lalu aku melangkah pergi dengan tenang. Di dalam hati, aku hanya bisa tersenyum getir. Kini saatnya Ramli menghadapi sendiri semua akibat dari pilihannya.
...****************...
Sesampainya di rumah, aku baru saja meletakkan tas ketika ponselku berdering. Di layar tertera nomor tak dikenal, tapi aku tahu betul—itu nomor milik Wulan. Jantungku tidak berdebar, tidak gugup, hanya ada rasa muak yang pelan-pelan naik ke ubun-ubun. Aku tahu pasti alasan dia menelpon. Bukan karena peduli pada suaminya, tapi karena biaya rumah sakit yang belum dibayar.
Aku angkat telepon itu dengan nada malas.
"Halo?" ucapku datar.
"Mbak? Ini aku, Wulan. Aku baru dikabari sama pihak klinik kalau Mas Ramli dirawat dan belum bayar administrasi. Kenapa kamu nggak bayarin dulu sih? Kan kamu yang anter dia!"
Aku tertawa kecil, dingin. "Oh jadi kamu baru tahu, ya? Bagus. Biar kamu ngerasain juga gimana repotnya ngurus suami yang sakit."
"Tapi kan mbak lebih tua! Masa nggak kasihan sama Mas Ramli?"
"Lucu kamu, Wulan. Waktu kamu rebut suami orang, kamu pikirin perasaan aku? Kamu pikirin nasibku yang dikhiananti setelah puluhan tahun aku dampingi dia dari nol? Sekarang giliran kamu yang tanggung jawab. Jangan cuma enaknya aja kamu nikmati."
"Tapi aku nggak ada uang! Mas Ramli juga nggak kasih apa-apa ke aku belakangan ini!"
"Ya bukan urusan aku. Kalau kamu bisa nikah sama dia karena tergiur harta, seharusnya kamu juga siap hadapi kenyataan kalau hartanya sekarang nggak bisa kamu sentuh. Kalau kamu butuh uang, tanya sama mantan suamimu itu. Bukankah katanya kalian sering jalan bareng akhir-akhir ini?"
Terdengar suara Wulan tercekat di ujung telepon.
"Aku... aku nggak maksud..."
"Udahlah, simpan dramamu. Mulai sekarang, urusan Mas Ramli bukan tugasku lagi. Jadi tolong, jangan ganggu aku dengan masalah yang harusnya kamu tanggung. Aku bukan pembantumu."
Tanpa menunggu jawabannya, aku tekan tombol merah.
Telepon terputus. Dan aku, untuk pertama kalinya sejak lama… merasa lega.
Dalam hati, aku hanya bisa menggeleng pelan. Masih tak habis pikir, kenapa Mas Ramli bisa jatuh ke pelukan perempuan seperti Wulan. Wanita yang hanya mau menikmati enaknya saja. Yang hanya bisa menuntut, merengek, dan menggoda dengan wajah manisnya demi harta, tapi buta terhadap perjuangan.