Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 02
Ada lowongan!
Langkah Singgih setengah berlari menghampiri kertas pengumuman yang tertempel pada dinding kaca sebuah kedai kopi. Bibir mengembangnya langsung melengkung turun saat membaca batas usia maksimal yang tak lagi bersahabat dengannya.
Dengan gontai, Singgih menyusuri pelataran ruko-ruko di pinggir jalan. Berharap ada lowongan jatuh tepat dalam genggaman tangannya.
Bunyi klakson―dari mobil berhenti di pinggir jalan, sontak mengagetkan Singgih.
Seorang laki-laki yang lebih muda dari Singgih―menjulurkan kepala dari jendela mobil sembari memamerkan senyum.
“Singgiiih!” seru Reas.
“Cepat naik!” perintah seorang pria berwajah sangar dari balik kemudi setir. “Kita ada angkut barang ke Mijen.”
“Aku sudah dipecat...”
“Siapa yang pecat?” hardik Fadil.
“Jam tangannya hilang gara-gara aku.”
“Jam tangannya sudah ketemu,” sahut Reas.
“Lagian kamu kerjanya sama aku,” tandas Fadil. “Yang berhak mecat kamu itu aku. Bukannya Si Nyinyir.”
“Si Nyinyir tetap saja bininya Bang Fadil.” Reas mengingatkan.
Fadil mendengkus, lalu memanggil Singgih. “Buruan naik!”
Lengkungan bibir Singgih kembali mengembang. Pekerjaannya kembali dalam genggaman tangan. Sedetik kemudian ia sudah melompat naik ke bak mobil di belakang.
Mobil melaju entah membawanya ke mana.
Dari kesemua pekerjaan yang pernah dijalaninya selama dua tahun ini, ia paling suka bekerja dengan Bang Fadil. Menurutnya, hanya pria itulah yang paling mengerti tentang keadaannya. Ia merasa diterima; dibutuhkan dan dihargai layaknya manusia.
Singgih melompat turun setibanya mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah cukup mewah bercat merah bata. Singgih dan Reas mengikuti Fadil memasuki rumah, yang sepertinya Fadil sudah mengenal baik dengan si pemilik rumah.
Mulailah mereka mengangkuti barang, semisal: koper berukuran besar, dua lemari plastik berukuran sedang, meja belajar, dan terakhir nakas kecil. Singgih dan Reas mengikat barang-barang itu dengan tali.
Tampak seorang laki-laki terus mengamati Singgih melalui balik gorden kamar. Karena dirundung penasaran, laki-laki itu mengeluari rumah serta-merta menghampiri Singgih.
“Singgih―kan?” tanya laki-laki itu memastikan di antara ragu.
Singgih berhenti sejenak, lalu kembali mengikat. Reas masih menarik tali, tapi matanya melirik bergantian ke Singgih dan laki-laki itu.
“Kamu, Singgih―SMA Pelita Abadi, kan?”
Gerakan tangan Singgih kembali terhenti, sejenak, lalu kembali mengencangkan tali.
“Kapan... keluar dari penjara?”
“Belum lama.”
Reas yang berada di sana memaksa telinganya untuk ikut mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Rolan pasti senang banget ngelihatmu udah bebas.”
Genggaman tali di tangan Singgih mengerat. Nama yang sama sekali tak ingin diingat, tapi hari ini temannya ini―bahkan ia tak tahu siapa namanya―memaksa ingatannya untuk kembali mengingat nama itu.
“Sekarang dia sukses banget.”
Singgih menegakkan posis menatap temannya ini. “Sukses?” tanyanya tak mengerti.
“Kamu belum pernah ketemu Rolan?”
Untuk apa Singgih bertemu dengan orang itu―jika hidup mengenaskannya sekarang karena ulah orang itu.
“Tadi malam Rolan baru aja muncul di teve. Sebagai pengusaha muda yang sukses.”
“Dia mewarisi bisnis ayahnya?”
Temannya ini tertawa geli. “Rolan punya perusahaan sendiri. Namanya, Landsoft. Tahu nggak?” ejeknya kemudian.
Singgih mengabaikan. “Noe?” ia bertanya yang lain.
“Noela?” temannya ini bertanya sekadar memastikan.
Singgih mengangguk.
“Nggak pernah ketemu lagi setelah lulus. Waktu reunian aja dia nggak datang.”
“Ajeng?”
Wajah temannya ini berubah panik. “Ke―kenapa nanyain Ajeng?”
“Pernah ketemu Ajeng?” mata tajam Singgih tanpa sengaja membuat takut temannya ini.
“Ng―nggak pernah. Kabarnya... Ajeng pindah ke Jerman.”
Kepalan tangan Singgih mengerat di tali.
*
Barang-barang sudah tiba di tempat tujuan, Mijen―sebuah kecamatan di kota Semarang.
Pemilik rumah menyuguhkan es sirup yang sangat pas untuk melepas dahaga―walau udara di daerah sini sejuk, tapi karena mereka mengangkuti barang-barang―yang membuat mereka berkeringat.
Reas menjejeri duduk di sebelah Singgih. Segelas es sirup langsung tandas dan di tangannya sudah gelas kedua.
“Kenapa kamu mau temanan sama aku?”
“Pertanyaan macam apa itu?” ringis Reas. “Kita ini orang-orang yang terbuang. Kalau bukan Bang Fadil yang memungut kita, mungkin saat ini kita udah jadi gelandangan di jalan. Masa laluku memang sampah, tapi sekarang aku nggak mau jadi sampah masyarakat. Kalau bisa kuperbaiki masa laluku, sudah kuperbaiki dari dulu.”
Singgih sangat paham dengan ucapan Reas. “Menurutmu... keadilan itu ada?”
“Saat ini penjara udah penuh dengan penjahat. Artinya keadilan memang ada.”
“Kalau keadilan memang ada,” Singgih menjeda kecewa, “harusnya aku mendapatkan keadilan. Bukannya berakhir mengenaskan seperti ini.”
“Terus maumu apa?”
“Seperti yang kamu bilang. Kalau bisa memperbaiki masa lalu, maka akan kuperbaiki. Aku juga berhak hidup tenang dan mendapatkan pekerjaan. Bukan terpuruk seperti ini. Dihina. Diejek. Direndahkan. Aku juga manusia. Ada saat di mana aku juga merasakan sakit... saat mendengar mereka mencemooh statusku. Siapa yang mau hidup seperti ini? Siapa yang mau memilih jalan seperti ini? Aku rasa nggak ada yang mau.”
“Inilah nasib kita.”
“Nasib kita bisa berubah.”
“Aku juga mau mengubah nasibku.” Tanpa sadar Reas meninggikan suaranya. “Menurutmu aku nggak ada usaha untuk maju?”
Dada Reas mulai menyesak.
“Aku juga nggak mau nyuri... Tapi keadaan yang mendesakku. Uangku nggak cukup buat biaya pengobatan ibu. Dan, aku terpaksa mengambil sedikit duit di kasir.” Reas membuka kenangan buruknya. “Duit segitu nggak ada artinya buat bosku yang pelit itu. Tahu apa yang dibilang si bos botak gendut pelit itu?” Impitan sesak di dadanya berubah penuh amarah. “Dia bilang orang miskin nggak boleh sakit. Nyusahin. Kutempeleng sekalian wajahnya. Dan, aku mendapatkan dua tuntutan sekaligus. Pencurian dan pemukulan.”
Singgih terdiam. Yang dilakukan oleh Reas memang beralasan, meskipun itu salah. Tetapi tetap hukumlah yang berbicara.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨