Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA AKU DI TAKDIRKAN TERLUKA DAN KECEWA?
Sudah seminggu berlalu sejak Mateo terakhir kali menginjakkan kaki di rumah. Awalnya, Livia tidak tahu ke mana perginya pria itu. Tak ada kabar, tak ada pesan, hanya keheningan yang menghantui rumah sebesar istana itu. Tapi tidak seperti biasanya, keheningan kali ini membawa ketenangan.
"Tuan muda sedang perjalanan bisnis ke Eropa, mungkin beberapa minggu baru pulang," ujar Nano suatu sore sambil menyiram bunga di taman belakang. Suaranya lirih, seolah tahu kalimat itu akan membawa sedikit cahaya dalam hidup Livia yang kelam.
Dan benar saja mendengar itu, Livia tersenyum pelan. Sebuah senyum yang sangat jarang muncul sejak ia menjadi istri dari CEO muda bernama Mateo Velasco. Bagi orang lain, berita bahwa suaminya tak pulang seminggu mungkin berarti kekhawatiran atau kerinduan. Tapi bagi Livia, itu artinya kebebasan. Setidaknya sementara.
Selama tujuh hari tanpa kehadiran Mateo, rumah itu terasa lebih hangat. Ia bisa tidur tanpa takut disiram air di pagi hari, bisa makan tanpa harus mengendap-endap memastikan rasanya sempurna, dan bisa berbicara dengan Nano tanpa rasa terintimidasi.
Livia bahkan mulai menyibukkan dirinya dengan hal-hal kecil yang membuatnya lupa sejenak pada luka seperti membaca buku-buku tua di perpustakaan keluarga Velasco, atau sekadar merawat tanaman hias yang layu di balkon belakang.
"Ini hari ke delapan," gumamnya sambil menyiram bunga lavender, "Tolong jangan pulang dulu, Mateo…"
Namun di balik harapan kecil itu, ia tahu. Neraka yang bernama Mateo Velasco pasti akan kembali. Dan ia hanya punya waktu sedikit lagi sebelum semuanya gelap seperti semula.
Malam telah larut. Angin berembus pelan, membawa aroma rerumputan dan tanah yang mulai lembap. Di bawah pohon rindang yang berdiri kokoh di tepi lapangan golf, Livia duduk diam, memeluk kedua lututnya sambil menatap langit malam yang bertabur bintang. Cahaya bulan menyinari wajahnya yang lesu, menyembunyikan jejak air mata yang sudah sejak tadi mengalir tanpa suara.
“Hidupku... kenapa selalu seperti ini, Tuhan?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh angin sekalipun.
Sejak kecil, hidup Livia memang tidak pernah mudah. Ia dibesarkan oleh Ratna, mantan asisten rumah tangga di kediaman orang tuanya sendiri. Bukan ibu kandung, tapi satu-satunya sosok yang benar-benar menganggapnya sebagai manusia. Orang tua kandungnya? Mereka menelantarkannya tanpa ragu, seolah Livia hanyalah aib yang tak pantas diakui.
“Apa aku memang ditakdirkan hanya untuk terluka dan kecewa?” suaranya gemetar, seiring dengan bibirnya yang bergetar karena menahan sedih.
Ia tidak pernah meminta hidup seperti ini. Tidak pernah berharap dilahirkan dari kesalahan. Dan kini, bahkan ketika usianya dewasa dan seharusnya menemukan kebahagiaan ia malah terjebak dalam pernikahan yang dingin, penuh luka, tanpa cinta. Mateo bukan pasangan, tapi penjara dalam bentuk manusia.
“Aku hanya disuruh mengantar dokumen…” ia menunduk, suaranya patah, “dan sekarang aku di sini. Terikat seumur hidup pada pria yang membenciku.”
Livia masih belum mengerti siapa yang menjebaknya malam itu. Tapi satu hal yang ia tahu pasti hidupnya tak lagi sama sejak terbangun di samping Mateo Velasco.
Langit masih bergelimang bintang ketika suara deru mesin mobil terdengar mendekat, memecah keheningan malam yang menyelimuti kediaman keluarga Velasco. Livia buru-buru menghapus air matanya, menoleh ke arah pintu gerbang yang mulai terbuka perlahan.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah utama. Dari dalamnya keluar sosok yang sangat dikenalnya Mateo Velasco. Pria itu baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya, dan ekspresi di wajahnya menunjukkan kelelahan… bercampur amarah.
Livia ingin beranjak pergi, masuk ke kamarnya sebelum pria itu melihatnya. Tapi sudah terlambat.
“Kau pikir sedang piknik duduk-duduk malam begini?” suara dingin itu menghantam telinganya.
Mateo berjalan menghampirinya dengan langkah cepat dan tatapan tajam menusuk. Ia kini berdiri di hadapan Livia, menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan jijik.
“Apa ini cara barumu mengundang simpati? Duduk seperti pengemis di halaman rumahku?”
Livia menggigit bibirnya, menahan gemetar di kakinya. “Saya… hanya butuh udara segar.”
Mateo tertawa sinis, “Udara segar? Kalau ingin menghirup udara bebas, seharusnya kau tidak menjebakku hingga harus menikahimu.”
“Saya tidak—”
“Diam!” bentak Mateo. “Simpan ceritamu untuk orang lain. Kau sudah cukup membuatku muak. Sekarang masuk. Dan jangan biarkan aku melihatmu berkeliaran seperti ini lagi. Ingat, rumah ini bukan milikmu. Kau hanya tamu… yang tak diinginkan.”
Livia menunduk dalam-dalam. Ia berdiri dan melangkah perlahan masuk ke dalam rumah, sambil menahan air mata yang kembali menggenang. Punggungnya gemetar. Sementara di belakangnya, Mateo hanya berdiri, menatap punggung wanita yang menjadi ‘istri’-nya dengan dingin yang menusuk.
Bagi Livia, malam itu kembali menjadi bukti bahwa di tempat ini, ia bukanlah istri… hanya tahanan dari pernikahan yang dipaksakan.
Keesokan paginya, sinar matahari hangat menyinari halaman belakang rumah keluarga Velasco. Livia tampak sibuk menyiram tanaman di sisi taman, mencoba mengalihkan pikirannya dari malam yang menyakitkan sebelumnya.
Tiba-tiba, langkah kaki pelan mendekatinya. Nano, salah satu penjaga rumah itu, muncul dari arah garasi sambil membawa botol air mineral.
“Livia,” ucapnya pelan. “Maafkan aku... aku keliru memberimu informasi soal kepulangan Tuan Mateo semalam.”
Livia menoleh dan tersenyum lembut, meski wajahnya terlihat lelah. “Eh, tidak apa-apa, Nano. Kau tidak perlu minta maaf,” ucapnya dengan suara rendah, mencoba bersikap tenang.
Nano menghela napas panjang. Pandangannya jatuh pada memar samar di sisi lengan Livia. Gadis itu memang kuat, tapi penderitaannya jelas terlihat. Hatinya terasa miris.
Namun kebersamaan singkat itu terputus oleh suara sinis yang tiba-tiba menyela.
“Wow... dua orang miskin sedang berdiskusi. Apa kalian sedang merencanakan kudeta?” suara Mateo terdengar dari arah samping rumah.
Keduanya menoleh. Mateo berdiri di sana dengan tangan di saku, senyumnya mengejek.
Nano langsung tertunduk, mundur setengah langkah.
“Nano,” ucap Mateo tajam. “Aku membayar untuk tenagamu, bukan waktumu mengobrol. Kembali ke posmu sebelum aku berpikir kau tidak layak berada di sini.”
Tanpa membantah, Nano segera berbalik dan berjalan cepat menjauh, meski sempat menoleh sekilas ke arah Livia dengan raut khawatir.
Setelah kepergian Nano, Mateo melangkah mendekat. Dengan gerakan cepat dan tanpa aba-aba, pria itu menoyor kepala Livia cukup keras hingga tubuh gadis itu sedikit tersentak mundur.
“Kau tahu kesalahanmu apa, bodoh?” suaranya tajam dan rendah, seperti ancaman.
Livia diam, menunduk. Tapi tak lama kemudian dagunya dicengkeram paksa oleh tangan Mateo, memaksanya menatap wajah sang suami.
“Kau terlalu dekat dengan pekerjaku. Jangan kira aku tidak tahu... mungkin kau sudah membocorkan semua kebusukanku pada mereka?”
Tatapan Livia berubah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ada api kemarahan di matanya. Ia menahan sakit di rahangnya, lalu menjawab, suaranya pelan namun tegas, “Saya tidak pernah mengucapkan satu kata pun tentang Anda, Tuan. Tapi Anda sendiri yang memperlihatkan siapa Anda sebenarnya...”
Mata Mateo menajam. Hening sejenak. Atmosfer di antara mereka berubah menjadi lebih pekat, lebih menegangkan. Namun sebelum ia sempat melakukan apapun lagi, Mateo justru mendengus sinis dan melangkah pergi.
“Terlalu banyak bicara. Jangan berharap ada belas kasihan setelah ini.”
Dan Livia pun kembali berdiri sendiri di taman itu, menatap tanaman yang tadi sempat ia siram, kini perlahan mengering seperti hatinya.
Mateo melangkah cepat menuju ruang kerjanya di lantai dua. Kemeja putih yang dikenakannya masih rapi meski hari sudah siang. Baru saja ia tiba di depan pintu, Dani sekretaris pribadinya menghampirinya dengan ekspresi serius.
“Pak, klien dari Milan menghubungi via email. Mereka minta konfirmasi perihal dokumen kerja sama minggu depan,” ucap Dani.
Mateo mengangguk singkat. “Kirim balasan, katakan aku akan pelajari lebih dulu. Jangan buat mereka menunggu terlalu lama.”
“Baik, Pak.” Dani lalu pergi meninggalkan Mateo yang segera masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu.
Bagi Mateo, rumah bukan tempat untuk bersantai. Bagi CEO muda itu, waktu adalah mata uang paling mahal yang tak boleh terbuang percuma. Bahkan satu hari tanpa kerja berarti kemunduran bagi ambisinya.
Sementara itu, di lantai bawah, Livia tengah berada di dapur besar rumah keluarga Velasco. Ia membantu chef utama menyiapkan menu makan siang untuk Mateo. Tangannya sibuk memotong sayuran, dan ia berusaha menampilkan wajah tenang meski dalam hatinya selalu dipenuhi ketakutan karena satu kesalahan kecil bisa membuat hidupnya kembali jadi neraka.
Di tengah kesibukan itu, sosok Nano muncul. Ia berpura-pura memeriksa sesuatu di rak bumbu dapur, lalu berjalan mendekati Livia perlahan. Ketika memastikan tak ada yang memperhatikan, ia berbisik cepat.
“Livia… seseorang datang padaku tadi pagi. Dia menitipkan ini,” ucap Nano, menyelipkan selembar amplop kecil ke saku celemek Livia. “Dia bilang… ini dari ibumu.”
Livia membelalakkan mata. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia belum sempat membuka mulut ketika Nano segera menjauh, takut jika Mateo melihat interaksi mereka.
Livia berdiri terpaku sesaat. Tangannya yang memegang pisau pun gemetar. Ia tidak tahu siapa yang mengantar surat itu, atau bagaimana bisa sampai ke Nano… tetapi hanya satu orang yang disebut "ibu" dalam hidupnya.
Ratna.
Dengan hati berdebar, Livia kembali memotong bahan masakan, tapi pikirannya kini sepenuhnya tertuju pada isi amplop yang tersembunyi di saku celemeknya. Surat itu bisa jadi satu-satunya pelipur laranya... atau mungkin awal dari masalah yang lebih besar.
Begitu tugasnya di dapur selesai, Livia langsung naik ke kamarnya dengan langkah cepat dan hati yang berdebar. Ia menggenggam erat celemeknya, tempat di mana surat itu tersembunyi selama berjam-jam. Begitu pintu kamar tertutup rapat, ia menguncinya, lalu dengan tangan gemetar ia mengeluarkan amplop kecil itu.
Ia duduk di tepi ranjang dan membuka amplop itu perlahan. Lembar demi lembar tulisan tangan ibu Ratna terbaca olehnya tulisan yang sudah mulai bergetar, seperti tenaga sang ibu yang mulai menghilang.
"Livia, Maaf ibu tidak bisa menemuimu langsung. Tubuh ibu sudah tidak sekuat dulu lagi. Belakangan ini ibu sering sesak dan dokter bilang ada masalah di paru-paru. Ibu butuh perawatan, tapi kita tahu kita tidak punya uang. Ibu tidak ingin membebanimu… tapi ibu tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Maafkan ibu, Nak. Ibu hanya ingin kau tahu… ibu sangat mencintaimu."
Livia menutup mulutnya, menahan tangis yang akhirnya pecah tak tertahan. Air matanya jatuh membasahi kertas lusuh itu.
"Aku harus apa, Tuhan… aku tidak punya uang… aku bahkan tak bisa menyelamatkan satu-satunya orang yang mencintaiku dengan tulus…"
Ia meremas surat itu di dadanya, menggigit bibirnya kuat-kuat agar tak terisak terlalu keras.
"Haruskah aku memohon pada Mateo…? Tidak, dia pasti hanya akan tertawa… atau lebih buruk, menjadikan ini alasan baru untuk menyakitiku."
Livia bangkit dan berjalan ke jendela, menatap langit sore yang mulai memerah.
Di rumah semewah ini, dengan suami seorang CEO muda terkaya di negeri ini… ia merasa paling miskin dan tak berdaya.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/