Di dunia kultivasi, Lin Chen, seorang pemuda dari Desa Hutan Bambu yang dianggap cacat karena tidak memiliki Dantian, menemukan sebuah kristal misterius di danau dekat rumahnya. Kristal itu menyatu dengan mata kanannya, memberinya kekuatan Mata Dewa—artefak ciptaan Sang Maha Pencipta yang mampu mengendalikan sembilan hukum di alam semesta.
Dengan kekuatan barunya, Lin Chen perlahan bangkit dari posisi terendah menuju puncak kekuasaan, menjadi sosok yang berpengaruh besar dalam menjaga keseimbangan alam semesta.
Namun, warisan ini membawa tanggung jawab besar, menempatkannya di tengah takdir yang akan mengubah dunia, juga dirinya, selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jin kazama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Menjalankan Misi Kedua.
Bab 31. Menjalankan Misi Kedua.
Setelah menstabilkan kultivasinya, Lin Chen membuka matanya. Ia merasa sangat senang merasakan kekuatan baru yang meledak-ledak dalam tubuhnya.
Setelah menembus ranah Pembangunan Fondasi, semuanya terasa benar-benar berbeda. Hubungannya dengan elemen alam semesta meningkat pesat. Kini, ia dapat mengendalikan lima elemen dengan sangat sempurna.
Rencananya, besok pagi-pagi sekali, ia akan segera berangkat untuk menjalankan misi keduanya, yaitu mengawal konvoi pedagang di sebuah tempat bernama Lembah Awan Berkabut.
Karena di di lembah itulah terdapat sebuah kota kecil bernama Kota Daun Hijau.
Ia memutuskan berangkat pagi karena jarak antara Sekte Pedang Surgawi dan Lembah Awan Berkabut cukup jauh, sekitar 30 km.
Namun, dengan kekuatannya saat ini, itu bukan masalah. Yang menjadi tantangan sebenarnya adalah keberadaan tempat lain yang sangat berbahaya selain wilayah Bandit Tengkorak Hitam, yaitu Hutan Seribu Mimpi.
Hutan Seribu Mimpi dipenuhi kabut merah muda yang sangat pekat. Dikatakan bahwa kabut ini sangat berbahaya karena setiap orang yang melewatinya akan terjebak dalam ilusi mematikan yang dapat membuat mereka kehilangan kesadaran.
Entah bagaimana, saat seseorang kehilangan kesadaran, mereka akan terseret semakin dalam. Setelah itu, mereka akan terjebak dan tidak pernah kembali lagi.
Lin Chen memperhatikan peta rute perjalanannya ke Lembah Awan Berkabut. Semakin lama ia mengamati, semakin dalam pula keningnya berkerut. Jika dibandingkan dengan lokasi Sekte Pedang Surgawi, Hutan Seribu Mimpi, Lembah Awan Berkabut, dan wilayah Bandit Tengkorak Hitam, semuanya ternyata saling terhubung.
Ia mulai berpikir dan membandingkan jarak yang tertera di peta, mencari rute tercepat menuju Lembah Awan Berkabut. Namun, setelah mengamatinya lebih lanjut, ia menyadari bahwa setelah menempuh sekitar 10 km, ia akan dihadapkan pada jalan bercabang.
Cabang ke kanan mengarah ke Hutan Seribu Mimpi, sementara cabang ke kiri menuju wilayah Bandit Tengkorak Hitam. Kedua rute ini akan membawanya ke tujuan yang sama, tetapi dengan jarak yang berbeda. Salah satu jalur lebih panjang, sementara yang lain lebih pendek.
Secara teori, seseorang bisa memilih jalur mana pun karena pada akhirnya mereka akan tiba di Lembah Awan Berkabut. Namun, permasalahannya adalah kedua jalur ini sama-sama berbahaya.
Jika diperhatikan lebih teliti, jalur kanan yang melewati Hutan Seribu Mimpi memang lebih singkat, tetapi penuh risiko. Hutan itu terkenal dengan banyaknya monster serta medan yang rusak dan sulit dilalui.
Sementara itu, jalur kiri memiliki jalanan yang lebih halus dan rata serta jumlah monster yang lebih sedikit. Namun, ancaman di jalur ini lebih jelas, yaitu para Bandit Tengkorak Hitam.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Lin Chen membulatkan tekadnya.
"Baiklah, kalau begitu, aku akan memilih jalur kanan, yang artinya aku akan melewati Hutan Seribu Mimpi. Selain jaraknya lebih singkat, aku juga penasaran, sebenarnya rahasia apa yang tersembunyi di dalamnya. Baru setelah itu, saat mengantar konvoi dagang nanti, aku akan melewati jalur kiri, tempat Markas Bandit Tengkorak Hitam berada," ucapnya.
Terlepas dari semua itu, Hutan Seribu Mimpi benar-benar menggelitik minatnya. Dia berpikir, apa sebenarnya yang terjadi di dalam sana? Mengapa setiap orang yang melewati hutan itu selalu terjebak dalam ilusi dan pada akhirnya lenyap, seolah-olah ditelan oleh hutan itu sendiri?
Lin Chen semakin penasaran. Rasa ingin tahunya justru membuatnya semakin tertantang. Jika ia memilih jalur yang lebih aman, apa artinya? Dia adalah seorang Kultivator. Seorang kultivator harus berani mengambil risiko.
Mereka yang takut mengambil risiko tidak akan pernah maju dalam hidupnya. Sering kali, keberuntungan hanya berpihak pada mereka yang berani bertaruh nyawa, yang tak gentar menghadapi situasi hidup dan mati.
Mendobrak batas diri. Melampaui kemampuan yang ada. Itulah arti sebenarnya dari seorang kultivator sejati.
Di dalam kristal ilahi, Lin Xiao Xiao tersenyum puas mendengar pikiran tuannya. Dia membatin,
"Ya, memang seperti itulah. Seorang kultivator, jika ingin bangkit, harus berani dan tidak boleh takut pada risiko. Mereka yang takut hanya akan mati di usia dini."
Selain itu, perkembangan mereka juga akan terhambat, dan mereka tidak akan pernah ke mana-mana. Seperti katak yang bersembunyi di dalam tempurung, mereka tidak akan pernah tahu luasnya dunia. Hanya menjadi raja kecil di kawasannya sendiri, tanpa ada perubahan yang berarti.
Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya Lin Chen kembali memejamkan matanya dan mulai berkultivasi lagi. Kultivasi bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga menjernihkan pikiran dan memperkuat jiwa. Semakin lama berkultivasi, semakin dalam pemahamannya, di saat yang sama semakin besar pula manfaat yang bisa ia rasakan.
Saat ini, malam telah larut, dan Lin Chen semakin tenggelam dalam kultivasinya.
Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa, pagi pun mulai menjelang
Tak lama kemudian, Lin Chen membuka matanya. Saat kesadarannya menyebar ke sekeliling, dia segera menyadari bahwa pagi telah tiba. Menyadari hal itu, dia tersenyum tipis, lalu bangkit dari duduknya, sekaligus mengakhiri kultivasinya.
Setelah mencuci muka agar terasa lebih segar, dia melangkah keluar dari kediamannya, menutup pintu dengan rapat. Tanpa membuang waktu, dia benar-benar meninggalkan sekte.
Hari ini, dia berangkat untuk menjalankan misinya, yaitu mengawal konvoi pedagang. Mengikuti arah peta, tujuannya terletak di barat. Tanpa ragu, dia segera melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busur. Dalam sekejap, bayangannya menghilang, seolah dirinya tak pernah berada di sana sebelumnya.
Dalam sekejap, Lin Chen telah menempuh jarak dua kilometer. Saat ini, di depannya terbentang sebuah pasar tradisional yang ramai, tempat di mana orang biasa dan para kultivator bercampur dalam transaksi jual-beli berbagai macam barang.
Suasananya begitu hidup. Hiruk-pikuk suara para pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka memenuhi udara. Ada yang menjajakan pakaian dari sutra, sementara yang lain menawarkan daging panggang yang baru saja matang, menguarkan aroma harum yang menggugah selera. Di sudut lain, beberapa orang sibuk menjual roti kukus yang masih mengepul, sementara lainnya menawarkan senjata, pil, dan bahan-bahan herbal langka yang sangat dibutuhkan para kultivator.
Lin Chen berjalan santai, menikmati pemandangan di sekelilingnya. Harus diakui, keramaian seperti ini adalah sesuatu yang baru baginya. Selama ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu di desa kecil tempat tinggalnya bersama ibu dan adiknya. Rutinitasnya hanya berkisar pada latihan tanpa henti, sementara ibunya pergi ke hutan untuk mengumpulkan herbal.
Mengingat keluarganya, Lin Chen tiba-tiba merasakan kerinduan yang mendalam. Dia masih ingat pesan ibunya sebelum dia berangkat ke kota, sebuah surat yang berisi janji bahwa dia boleh kembali hanya jika telah mencapai ranah Jiwa Berbunga. Dengan begitu, dia tidak akan dipandang sebelah mata atau diremehkan.
Mengulang kembali pesan itu dalam pikirannya, Lin Chen menarik napas dalam-dalam. Tangannya terkepal erat, dan sebuah janji terpatri dalam hatinya. Dia tidak hanya akan mencapai ranah Jiwa Berbunga, tetapi juga melampaui batas itu. Dia ingin menjadi kuat, membuat ibunya bangga, dan membuktikan kepada seluruh klan di pihak ibunya bahwa mereka telah salah menilainya.
Bagi Lin Chen, keluarga adalah segalanya. Siapa pun yang berani mengusik keluarganya berarti telah menyentuh sisi terbaliknya yang tidak akan mengenal ampun.
Namun, yang membuat hatinya terasa hangat adalah kenyataan bahwa ibunya telah menyiapkan cincin ruang yang berisi banyak pil serta koin emas untuk membantunya dalam kultivasi. Hal ini benar-benar menyentuh perasaannya. Demi mempersiapkan semua itu, ibunya rela hidup sederhana, bertahan hanya dengan sisa uang yang diberikan ayahnya, tanpa sekalipun menyentuh isi cincin ruang tersebut. Semua itu dipersiapkan khusus untuknya.
Saat Lin Chen berjalan santai sambil memperhatikan suasana sekitar, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Dasar bajingan kecil! Pergi kau! Dasar pengemis kotor, jangan berdiri di sini! Kehadiranmu bisa merusak nafsu makan para pelanggan di rumah makanku. Enyahlah dari sini!"
Lin Chen menyipitkan mata dan menoleh ke arah sumber suara. Di sana, dia melihat dua anak kecil yang sepertinya kakak beradik, anak laki-laki dan perempuan tersungkur di tanah jalan dengan tubuh gemetar ketakutan. Jika dilihat dari usianya, mereka mungkin berusia sekitar 8 dan 10 tahun.