Tak pernah terbersit di pikiran siapapun, termasuk laki-laki rasional seperti Nagara Kertamaru jika sebuah boneka bisa jadi alasan hatinya terpaut pada seorang gadis manja seperti Senja.
Bahkan hari-hari yang dijalaninya mendadak hambar dan mendung sampai ia menyadari jika cinta memang irasional, terkadang tak masuk akal dan tak butuh penjelasan yang kompleks.
~~~
"Bisa-bisanya lo berdua ada main di belakang tanpa ketauan! Kok bisa?!"
"Gue titip anak di Senja."
"HAH?!!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35# Sesuatu yang tak biasa ditempatnya
Masalah racun...ia jadi ingat dengan menu-menu spek nerakanya untuk Maru belakangan ini, tanpa disadari meracuni Maru sudah ia lakukan sejak kemarin-kemarin, mulai dari cangkang telur, sop ungu...dan yang paling parah adalah pagi ini, bubur ta i. Jika saja mereka tau....oh jangan-jangan. Jangan sampai mereka tau.
"Jadi bekel itu? Emang bener punya Maru?" tanya Mei diangguki Senja.
"Nah itu, gimana ceritanya tuh bisa begitu?"
"Yang tempo hari gue butuh duit, tiba-tiba pas lagi di chat kalian itu, Maru langsung ngisiin rekening gue."
Shaka terlihat langsung memasang tampang takjubnya. Cinta emang se-pengorbanan itu. Definisi cinta bikin bangkrut.
"Serius? Waw..ngga banyak omong langsung aksi...keren, kenapa gue ngga notice Maru sih selama 4 tahun satu prodi." Vio menggeleng lagi benar-benar tak percaya, jika seorang Nagara Kertamaru begitu.
"Jadi becandaan kalian di grup tuh emang bukan becanda ya? Kok gue ngga ngeuh sih? Zal ngga pernah ngomong apapun sama gue." Ucapan Lula masih berebut dengan desi san pedas di lidahnya.
"Lo pernah berpikir ngga sih, Nja...itu tuh cuma akal-akalan Maru doang biar bisa nyatronin lo tiap pagi?" tanya Syua kini sukses membuat alis Senja semakin berkerut mengernyit, "ah, masa sih...kurang kerjaan banget Maru begitu." Wajahnya jelas terlihat tak yakin.
"Sorry Nja, cuma kalo menurut logika gue nih....emang ngga masuk akal aja sih. Maru mau-maunya nuker uang buat----" ringis Vio tak melanjutkan ucapannya, "sorry."
Senja menggeleng tak mengapa, "iya paham gue, Vi."
"Kecuali kalo Maru cuma iseng." Pungkas Senja sudah beberapa kali memungkiri.
"Iseng? Iseng biar apa, hiburannya dia, makan masakan Senja gitu, Nja? Ngga ada kerjaan banget sampe tiap pagi mesti jauh-jauh ke apartemen lo, secara dia itu sibuk banget jadi advokat, tukang nasi uduk, gado-gado deket dari apartemennya. Pesen online juga langsung ke depan pintu." Shaka bergidik dan menggeleng, jelas tidak seperti itu otak lelaki, apalagi jika bukan sedang berjuang. Mana mau repot-repot menderita seperti itu.
"Emangnya satu kotak bekal lo kasih harga berapa Nja?" tanya Mei kini membuat yang lain turut penasaran.
"Sarapan 150 ribu, bekal 200 ribu."
"An jing." Umpat Shaka kini tersedak, "sehari 350?" untung saja baso yang tengah di makannya ia potong-potong terlebih dahulu jadi tak sampai membuatnya tersedak baso sebesar besar kepala bayi itu.
Syua tertawa diantara rasa pedasnya, "mahal banget, isinya apaan? Yang bento ala kadarnya itu?" bunyinya cukup meremehkan, namun Senja memang harus mengakui jika ucapan mereka memang benar. Ia keterlaluan.
"Udah deh Nja, itu fix Maru tuh lagi ke-cintaan sama lo." Jeda Vio yang kini menajamkan tatapannya menyorot pada Senja, "diantara makanan lo pasti ada, ralat...banyak. Yang gagal?" tuduhnya.
Senja benar-benar tertohok dengan tuduhan Vio itu, merasa tersudut. Karena jujur saja, tuduhan itu tepat sasaran, "ya gue ngga bodo-bodo banget kali Vi..." belanya berbohong hanya demi tak terlihat lebih sadis lagi saja terhadap Maru.
Seketika Lula dan Syua tertawa, seolah kebohongan sebesar gajah itu nampak jelas di wajah Senja saat ini.
"Nja, sadar Nja....ini temen-temen gue kurang apa coba? Si Arlan, lo ko kop terus lo tinggalin, lo tau ngga rasanya abis dikasih kesan melayang terus lo-nya malah bilang kalo lo suka Maru, sampe bela-belain dia bahagia kalo liat lo bahagia...arghhh, dah lah..." Shaka menggeleng untuk memberikan jeda bernafas dirinya sendiri yang ikut merasakan sesaknya Arlan.
"Terus ini yang atu, effortnya juga sampe bela-belain mau lo kerjain begitu. Lo bikin seorang Maru yang paling waras jadi yang paling gila diantara kita, tapi lo gantung juga, bingung gue...katanya lo suka, tapi lo tampar?"
"Kaya lagi gantian ngga sih? Sekarang Senja yang justru meraba-raba, terlalu lambat peka sama cinta..." Nalula menyudahi suapannya, dimana hanya tersisa kuah basonya saja sedikit di mangkuknya. Senja menoleh dengan bibir manyun melengkungnya, "ngga gitu, La."
"Tipe cowok beda-beda, Nja. Kalo untuk Arlan...mungkin dia ngungkapinnya to the point. Tapi Maru, lo berharap dia nembak di atas helikopter? Lo mesti peka...tau sinyalnya."
Shaka menggeleng tak setuju dengan Lula, "nih anak sebenernya dah tau, La. Cuma emang nyebelin gitu tuh... Lo ngaku...kalo pas waktu ci pokan itu, Maru hampir nembak lo?" Shaka menodong.
"Engga. Maru ngga bilang apa-apa..." Geleng Senja.
"Gimana ngga bilang, orang mau ngomong langsung lo tampar, lo bilang benci. Lo lagi ngelak Nja, karena lo takut Maru cuma jadiin lo pelarian dan lo ngga bisa nolak. Kalo lo takut sakit hati, lo takut kalo lo ngga bisa gantiin posisi Aleena. Udah ketebak, tuh. Kalo Arlan, ya udah lo pukul mundur dari awal..." Kini Shaka berasumsi sendiri.
"Aleena lagi... yang anak kedokteran itu, kan?" tanya Syua malas mendengar orang ketiga, diangguki Vio.
"Kok lo tau banget sih, Ka?" tanya Syua diangguki Vio, "iya. Mana ngga bilang lagi sama gue..." cebiknya.
"Ya tau lah. Dua orang laki-laki yang so so'an berkorban itu, disidang waktu pesta bujang, sama pas abis ketauan ko kopan sama Alby di nikahan Mei--Jingga."
Senja diam, ia benar-benar tak lagi bernaf suu menghabiskan baso miliknya sore itu dan memilih beranjak ke arah kulkas.
"Ada air dingin kan, Vi?" tanya nya diiyakan Vio, "ada."
Ck...Senja tak bisa untuk tak memikirkan ucapan Shaka dan teman-temannya tadi sore.
Sesekali ia terdiam, menjeda kegiatannya memilah-milah baju kotor yang siap ia masukan ke tas dan minta dicucikan mbak Yanti nanti.
Ia sempat meraih ponsel sekedar bertanya kabar Maru, sebab kejadian tadi pagi itu, jujur saja membuat dirinya merasa bersalah. Apakah Maru baik-baik saja?
**Aluna Senja**
*Ru, besok aku datang pagi ya. Biar siang bisa beres*.
Menunggu balasan Maru yang baru kali ini agak lebih lama dari sebelumnya.
**Nagara Kertamaru**
*Iya. Kartu akses apartemen aku udah kamu pegang. Kamu langsung masuk aja, takutnya aku belum bangun*.
**Aluna Senja**
*Ru, are you oke*?
**Nagara Kertamaru**
*Oke*.
Tak lagi mengemudi dengan stelan yang memeluk tubuh, Senja memilih pakaian casual saja, toh ia akan nginem di apartemen Maru.
Berjalan dengan membawa dompet plus ponsel saja Senja berjalan dari parkiran menuju unit Maru, ini sih cukup lucu saja...asisten rumah tangga datang dengan gaya hedon dan mobilnya.
Ia sempat terdiam mematung menatap pintu unit Maru tepat di depan matanya. Ada perasaan yang berbeda setelah obrolan sore kemarin.
Netra indah itu cukup lama memandang kartu akses.
Lo be go kebangetan sih, Nja. Sampe kartu akses apartemen dikasih gitu terus lo nya ngga bisa ngerasain kalo Maru beneran se-serius itu ngejar balik lo.
Beralih dari sana, Senja kini menatap kembali pintu kayu coklat eboni di depannya, yang guratan seratnya masih berbayang ia lihat di balik cat gelap.
Di dalam sana, adalah lelaki yang mungkin harus ia pandang berbeda sekarang.
Ia angkat kartu dan menempelkannya di sensor handle pintu.
"Ru...udah bangun belum?" serunya masuk, menanggalkan slip on nya di rak. Tumben sekali, karena Senja melihat gorden apartemen yang masih tertutup rapat, karena biasanya Maru akan bangun di awal meski hari weekend.
Ia menaruh sejenak ponsel dan dompet di meja, lalu bergerak membuka gorden unit apartemen Maru.
Hingga kini cahaya mentari menggantikan sinar lampu yang telah ia matikan, menunjukan kondisi unit apartemen yang rapi. Hanya perlu ia sapu dan vacum sedikit saja di beberapa bagian. Tapi ngomong-ngomong dimanakah penghuninya? Padahal di rak sana ia melihat sepasang sepatu yang tersimpan namun tak rapi, kaos kakinya keluar dari lubang sepatu, tanda ia baru saja dilepas seseorang.
"Ru," panggilnya mencari-cari. Senja merambah ke handle pintu kamar, dimana ia percaya Maru disana.
Tak ingin mengganggu, Senja menyadarkan dirinya untuk mengusir rasa penasaran dan memilih langsung mengerjakan tugasnya saja.
Langkah kakinya terayun mencari dimana vacum dan sapu, juga lap dan alat kebersihan lain.
Ada suara daun pintu terbuka ketika Senja mendorong maju dan mundur alat vacum cleaner di atas karpet tebal Maru, namun karena suara bisingnya...Senja tak terlalu menyadari itu.
Hingga suara berat menyapa dirinya, ia baru menoleh, "udah lama?" tanya nya dengan muka bantal dan suntuk melengos ke arah dapur.
"Oh, belum begitu kok. Mau aku bikinin kopi instan ngga?" tanya Senja menawari.
"Nanti aja. Kamu masih sibuk kan?" Jawabnya masuk ke dalam kamar mandi. Namun Senja adalah Senja, wanita yang ngeyelan. Ia meninggalkan sejenak mesin vacum itu bersandar di meja, dan beranjak ke dapur.
Jemari dengan kuku-kuku bunga sakura itu mengedar menunjuk dimana kopi berada.
"Kopi instan di rak ketiga."
"Astagfirullah kaget." Senja menoleh cepat ke arah gawang pintu kamar mandi dengan wajah terkejutnya tak membuat Maru bereaksi apapun selain dari mengusap wajah basahnya dengan handuk kecil.
Namun ada yang nampak janggal, wajahnya itu pucat.
"Oh, oke." Angguknya.
"Udah masak nasi belum?"
"Belum." Maru melengos ke depan.
Sekembalinya Senja, ia sudah mendapati Maru dengan laptop di meja sambil tangannya bergulir menscroll laman.
"Ya elah ini weekend pak. Masih aja ngerjain kerjaan..." secangkir kopi instan ia taruh di samping laptop dan masih mengepulkan asap. Tapi tunggu...bukan laptop yang menjadi titik fokus Senja, namun sebuah benda kecil yang menempel di punggung tangan Maru, seperti plester yang setaunya biasa dipakai untuk menutupi luka bekas suntikan.
Seketika ia merasakan rasa bersalah itu datang kembali, meski belum tau jika benda itu apa, untuk apa, kenapa, sejak kapan bisa disana, dan apa penyebabnya.
"Mumpung nyantai." Jawabnya, "thanks, Nja."
"Kalo cape, kamu ngga usah masak. Pesen aja." Senja kali ini mengangguk setuju, ia juga masih ragu setelah kejadian kemarin.
"Oke. Aku masak nasi aja." Senja kembali ke dapur bersama dengan perasaan yang mengganjal dan bergemuruh, seolah jantungnya di taruh di tengah-tengah badai yang dahsyat.
"Ru, ini aku beres-beres batasannya mana aja?" tanya Senja setengah berteriak dari dapur.
"Terserah kamu aja." Jawab Maru, "termasuk kamar?"
"Hm. Boleh..."
"Biasanya?"
"Biasanya masuk kamar buat pel sama ambil baju kotor."
"Oke deh, aku pel sama ambilin baju kotor ya..."
"Ya." Jawab Maru singkat seolah tak ingin diganggu ketika sedang membaca kasus begini. Maka Senja tak lagi mengusiknya dan lebih memilih fokus pada tugasnya.
.
.
.
Sehat selalu teh Sin, lancar rejeki dan urusannya, mksh masih mau menyempatkan diri untuk menghibur kami yg selalu kekurangan 🙏🙏
demi cinta.....poor Maru....😍😍😍😍