Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Saya Nggak Akan Cemburu
Syahla masih kepikiran tentang pertemuannya dengan Kak Anne meski kelas pertama sudah berlalu. Ia berulangkali menghela napas berat, yang membuat Kak Rama yang duduk di depannya jadi merasa heran.
"Kamu kenapa Dek Lala?" Tanya Kak Rama sembari mengibaskan tangan di depan wajah Syahla. Seperti biasa, lelaki itu selalu mengikuti Syahla kemana-mana, termasuk ketika Syahla bilang ingin pergi ke perpustakaan untuk mencari buku referensi. Padahal Anggika yang biasanya selalu menempel dengannya tidak mau melakukan itu karena muak melihat banyak buku.
Syahla kembali menghela napas berat. "Kak, saya mau nanya deh,"
"Boleh, nanya apa? Kalau bisa pasti Gua jawab." Kak Rama menutup bukunya dan melihat Syahla dengan seksama.
"Kak Rama tau nggak, siapa yang nyebarin berita kehamilan Kak Anne pertama kali?"
Kak Rama tampak mengernyitkan dahinya sejenak. "Kenapa Lu menanyakan itu?"
"Jadi..." Syahla menggigit bibirnya ragu. "Tadi saya ketemu Kak Anne di rumah sakit,"
"Loh, Lu sakit? Sakit apa sampai harus masuk rumah sakit?"
"Bukan itu yang penting Kak," Syahla menarik napas perlahan. "Masalahnya, Kak Anne marah-marah sama saya. Dia bilang, ini semua gara-gara saya yang menyebarkan rumor tentang dia, padahal saya sama sekali nggak pernah menyebarkan berita apapun loh."
Kak Rama mengepalkan tangannya. "Emang kurang ajar si Anne. Bukannya introspeksi, dia malah nyalahin Lu seenaknya."
"Tapi emang wajar sih kalau Kak Anne bilang begitu. Kejadiannya pas sekali. Setelah saya melabrak dia, tiba-tiba berita itu muncul. Tapi saya benar-benar nggak melakukan itu Kak,"
"Gua percaya kok," Kak Rama menunjukkan senyum terbaiknya. "Gua percaya Lu nggak akan melakukan hal serendah itu."
"Iya," Syahla tersenyum canggung. "Makasih sudah percaya saya."
"Gua akan selalu percaya sama Lu. Meskipun Lu memang salah, Gua akan membela Lu sampai darah penghabisan. Jujur, Gua berharap Lu bisa mengetahui perasaan Gua dengan sejelas-jelasnya,"
Syahla terbelalak kaget. "Kak, saya nggak bisa nerima perasaan Kak Rama. Soalnya saya itu sudah—"
"Ssstttt!" Kak Rama mengangkat telunjuknya di depan bibir sebagai tanda agar Syahla tidak melanjutkan perkataannya. "Gua tau Lu bakal bilang kalau Lu sudah punya pacar. Tapi La, asal Lu tau. Meskipun Lu bilang Lu udah punya pacar kek, punya tunangan kek, sampai punya suami pun, Gua bakalan terus ngejar Lu."
Syahla sama sekali tidak percaya dengan apa yang didengarnya saat ini. "Kak, tapi memang beneran, saya ini sudah punya—"
"Jangan sekarang," Kak Rama tiba-tiba beranjak dari duduknya. "Gua nggak mau mendengar penolakan Lu sekarang. Karena Gua nggak mau cepat menyerah,"
"Tapi—"
"Ah, Gua masih ada kelas. Gua pergi duluan ya. Bye, Dek Lala!"
Syahla hanya bisa mematung di tempatnya melihat kepergian Kak Rama. Ia memijit-mijit kepalanya yang terasa berdenyut.
"Kenapa masalahnya malah semakin banyak sih?"
...----------------...
Syahla melangkah keluar dari area perpustakaan dengan wajah lesu. Saat hendak berbelok ke arah fakultasnya, ia terperanjat karena melihat Ustadz Amar tampak berjalan berlawanan arah. Otomatis, Syahla langsung menyembunyikan diri di balik tembok.
"Kenapa harus sembunyi, sih?" Syahla memukul pelan kepalanya. Ia sendiri tidak sadar kalau sudah melakukan hal itu. Maka, setelah memenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, Syahla bersiap melangkahkan kakinya keluar. Sayangnya, ia harus mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan seorang wanita.
"Pak Amar, tungguin!" Bu Yesi berlari kecil dengan sepatu hak tingginya. Ustadz Amar yang merasa namanya dipanggil menoleh dan terheran-heran melihat kedatangan rekan kerjanya itu.
"Ada apa Bu?" Tanya Ustadz Amar. Sementara yang ditanya hanya tersenyum genit.
"Kita kan satu tujuan, jadi bisa bareng,"
"Loh, memangnya Bu Yesi mau kemana?"
"Mau ke kantin kan?" Tebak Bu Yesi.
"Nggak kok, saya mau ke mushola,"
"Oohhh.. Kalau gitu saya juga Pak,"
"Bu Yesi mau sholat juga?"
"Ya iyalah Pak, memangnya ke mushola mau ngapain? Masa mau karaokean," Bu Yesi menjawab dengan suara imut yang dibuat-buat. "Saya juga mau sholat dzuhur berjamaah,"
Ustadz Amar mengernyitkan dahinya sejenak. "Maaf Bu, tapi sekarang baru pukul sepuluh pagi, belum waktunya sholat dzuhur. Mungkin maksudnya sholat dhuha,"
"Iya Pak, itu maksudnya.." Bu Yesi mengipas-ngipasi wajahnya yang terasa panas karena malu. "Padahal setiap malam saya nggak telat sholat dhuha loh,"
"Oh ya? Tapi, sholat dhuha kan cuma dilakukan saat pagi Bu?"
"Ya, pokoknya itu deh!" Bu Yesi jadi merasa malu sendiri, pada akhirnya berjalan mendahului Ustadz Amar. Saat hendak berbelok arah, dirinya dikejutkan dengan keberadaan Syahla yang masih bersembunyi di balik tembok.
"Aaa! Kamu ngapain disini?"
Syahla hanya bisa menunjukkan deretan giginya yang putih menjawab pertanyaan Bu Yesi. "Eh, saya mau ke kelas Bu,"
"Yaudah sana, ngapain masih disini?"
"Iya Bu, saya permisi dulu ya. Mari Pak," Sapanya pada Ustadz Amar yang kelihatannya sangat shock dengan kemunculannya.
"Ngapain?" Bisik Ustadz Amar saat Syahla melewatinya. Syahla hanya menjawab dengan mengangkat bahu.
...----------------...
"WAHAHAHAHA!" Tawa Syahla menggelegar saat dirinya sudah berdua saja di dalam mobil bersama Ustadz Amar. "Om Suami kok nggak peka banget, sih?"
"Nggak peka kenapa?" Ustadz Amar kembali dibuat bingung. "Kenapa kamu ketawa?"
"Aduh..." Syahla mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air karena terlalu banyak tertawa. "Tadi tuh Bu Yesi pengen deketin Om Suami, tapi Om Suaminya nggak peka. Mana disalahin langsung di depan orangnya lagi, pasti malu banget deh."
"Kenapa harus malu? Kalau nggak tau itu wajar, makanya saya ngasih tau bagaimana benernya. Memangnya saya salah, ya?"
"Nggak, kok, nggak," Syahla mengibaskan tangannya sambil menahan tawa. "Sholat dhuha setiap malam? Hahahaha, ngakak banget!"
"Nggak boleh begitu," nasehat Ustadz Amar. "Nggak baik menertawakan ketidaktahuan seseorang."
"Ya bukan gitu," Syahla mengerucutkan bibir. "Tapi kenapa Bu Yesi harus maksa banget sih deketin Om Suami? Memangnya Om Suami nggak bilang kalau sudah punya istri?"
"Sudah kok," Ustadz Amar memamerkan jari manisnya. "Saya tidak seperti seseorang yang bersikeras menyembunyikan hubungan ini. Saya bahkan sudah menunjukan ini berkali-kali. Jadi, meskipun saya nggak langsung bilang, pasti dia mengerti. Kenapa? Kamu cemburu saya didekati begitu?"
"Idih!" Syahla memutar bola matanya. "Siapa yang marah? Kalaupun Ustadz Amar pergi berdua sama Bu Yesi, saya nggak akan marah kok!"
"Oh ya?" Ustadz Amar menginjak pedal rem karena lampu merah di depan sana sudah menyala. "Kamu yakin?"
"Ya—kin kok," Syahla menelan ludahnya gugup saat Ustadz Amar mendekatkan wajah padanya.
"Kalaupun misalnya saya selingkuh sama wanita lain, kamu nggak keberatan?"
Syahla terdiam sejenak sebelum memelotot galak. "Om Suami mau selingkuh?"
"Mi-sal-nya," koreksi Ustadz Amar. "Kamu serius nggak akan cemburu sama sekali?"
Syahla menganggukkan kepalanya. "Nggak kok, saya nggak akan cemburu."
"Oh,"
Entah kenapa, Syahla merasa raut wajah suaminya terlihat tidak senang. Lelaki itu kemudian menginjak pedal gas dan melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Syahla sampai harus memegang erat sabuk pengamannya.
"Om Suami, jangan ngebut-ngebut dong!"
Ustadz Amar terlihat tidak peduli. Ia malah meliuk-liukkan mobilnya menyalip beberapa kendaraan besar di depan sana. Syahla akhirnya memilih untuk memejamkan mata agar tidak merasa ngeri.
Suaminya kenapa sih?
apalagi suaminya lebih tua