"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Assalamu’alaikum, Ayah
Hijrah bukan sekadar fenomena berpindah dari suatu tempat ke tempat yang baru, atau mengganti pakaian yang sebelumnya minim menjadi lebih tertutup.
Hijrah adalah proses perubahan dan perjalanan spritual—terkhusus bagi umat Muslim—dalam rangka menggapai ridho Allah dengan meninggalkan segala yang Allah benci dan menuju segala yang Allah cintai. Ini adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan ikhlas sepenuh hati untuk memperbaiki diri, membersihkan jiwa, dan menapaki jalan ketaatan meski penuh rintangan.
Hijrah merupakan perjalanan seumur hidup, bukan hanya perubahan lahiriah yang terjadi dalam waktu singkat. Karena hijrah adalah pembaruan niat secara terus-menerus dan komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih dekat kepada Allah Yang Maha Esa.
Itulah segelintir nasihat yang disampaikan oleh sang pendakwah. Serena mendengarkan dengan penuh khusyuk, setiap bagian penting tak luput dari catatan kecilnya.
Gadis bermata teduh itu tampak begitu larut dalam setiap bait nasehat yang disampaikan, seolah setiap katanya seperti peluru yang menembus tepat ke titik terdalam sanubari.
Selama ini, ia hidup bagaikan terombang-ambing di tengah samudra kekecewaan dan rasa putus asa. Hatinya senantiasa dipenuhi sesak, seolah tenggelam dalam palung nestapa yang tak berujung, dan seperti badai yang tak kunjung reda. Semuanya terasa begitu melelahkan.
Ia tak pernah menyangka. Setelah kegelapan dan prahara menimpa bertubi-tubi, secercah angin segar datang menghampiri. Mempertemukannya dengan orang-orang yang menjadi pilihan Sang Mahakasih. Mereka yang kemudian menjadi jalan baginya untuk sampai di tempat ini. Tempat di mana secercah cahaya mulai tampak, menuntunnya perlahan menuju harapan yang baru.
Serena tersenyum samar. Mengingat bagaimana keadaannya saat ini—yang tengah mencari arah dan berjuang untuk hijrah demi menemukan ketenangan sejati—tema kajian kali ini seolah menjawab setiap kegundahan yang tersimpan dalam hatinya.
"Hijrah, Jalan Menuju Hati yang Tenang."
Setelah menemukan secercah cahaya dalam hijrah, hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan menata hati. Tujuannya, supaya cahaya yang muncul dan berhasil digenggam itu, tidak redup kembali atau melemah intesitasnya.
Menata hati adalah pekerjaan seumur hidup juga. Ia bukan sekadar proses menjauh dari kesalahan dosa atau kesalahan masa lalu, tapi perjalanan kembali pada ketaatan dan keikhlasan. Karena hati, sejatinya, adalah tempat segala rasa bermuara—cinta, takut, marah, harap, kecewa—dan semua itu, bila tak diolah dengan iman, bisa menjelma racun yang perlahan membahayakan, bahkan mematikan jiwa.
Di pekan kedua kajian ini, Serena memetik satu pelajaran yang sangat berharga, bahwa hati yang tak terjaga mudah sekali goyah dan lemah. Dunia dengan segala gemerlapnya bisa kembali membutakan arah. Satu-satunya cara untuk tetap berdiri teguh, adalah dengan senantiasa meminta pertolongan dan bergantung hanya pada Yang Mahakuasa, Allah Azza wa Jallah.
Ia juga belajar bahwa menata hati adalah tentang menjaga niat. Sebab amal tanpa niat yang lurus ibarat kapal tanpa arah. Ia bisa berjalan jauh, tapi tak tentu ke mana tujuannya.
Dan yang tak kalah penting, bahwa hati tak bisa ditata sendiri. Ia butuh cahaya dari Pemiliknya. Maka dalam sujudnya yang masih sedikit, dalam dzikir dan bacaan Qur’an ya yang masih terbata, diharuskan untuk memperbanyak doa—memohon dan meminta kepada-Nya.
"Ya Allah, tuntun aku. Lembutkan hatiku. Jangan biarkan aku jauh dari-Mu."
Setelah mulai belajar menata hati—merapikan luka, meluruskan niat, dan merawat cahaya iman yang mulai menyala—ada satu hal penting yang tak bisa diabaikan, yaitu bertaubat.
Taubat adalah anugerah besar yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang pernah tersesat atau sedang mencari jalan pulang. Ia adalah jalan pulang bagi hati yang lelah dari berbuat dosa dan jiwa yang haus akan ketenangan.
Dalam ajaran Islam, taubat bukanlah sekadar permintaan maaf biasa, melainkan bentuk kepulangan total kepada Allah dengan kesadaran, penyesalan, dan harapan.
Allah berfirman dalam QS. Az-Zumar ayat 53: "Katakanlah (wahai Muhammad), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.'"
Inilah bukti bahwa seluas apa pun dosa, pintu taubat tetap terbuka selama nyawa belum sampai di tenggorokan.
Taubat yang diterima bukan hanya dibangun dari ucapan semata, tetapi dari hati yang menyesal, lisan yang memohon ampun, dan langkah nyata untuk meninggalkan dosa.
Para ulama menyebutkan bahwa syarat taubat ada tiga: menyesali dosa, berhenti dari dosa tersebut, dan bertekad tidak mengulanginya lagi. Jika dosa itu berkaitan dengan sesama manusia, maka ditambah satu syarat lagi—mengembalikan hak dan meminta maaf.
Taubat juga bukan hanya untuk dosa besar, tapi bahkan Rasulullah ﷺ yang maksum, bersih dari dosa, tetap beristighfar lebih dari 70 kali sehari. Ini menunjukkan bahwa taubat adalah kebutuhan, bukan pilihan. Ia adalah bentuk pengakuan seorang hamba bahwa ia lemah tanpa ampunan Tuhannya.
Setelah bertaubat, tugas berikutnya adalah menjaga istiqamah. Godaan syaitan akan semakin kuat, dan hawa nafsu tak mudah dikekang. Maka penting bagi seorang yang telah bertaubat untuk memperkuat imannya dengan memperbanyak amal shalih, menghadiri majelis ilmu, memilih teman yang baik, dan menjauh dari hal-hal yang dulu menjerumuskan ke dalam dosa.
Begitulah isi yang terkandung dalam kajian pada minggu ketiga, yang membahas tentang "Taubat".
Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, sudah genap satu bulan Serena rutin mengikuti kajian bersama Claudia. Perubahan dalam dirinya mulai tampak perlahan dan begitu signifikan. Siapapun yang mengenalnya dahulu pasti akan menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu sekarang.
Cara bicara gadis itu menjadi lebih lembut, sikapnya pun jauh lebih tenang. Ia tak lagi mudah hanyut dalam kesedihan atau bahkan meratapi takdir seperti sebelumnya.
Dari segi penampilan, perubahan pada diri Serena terlihat cukup mencolok. Ia kini lebih sering mengenakan pakaian yang sopan dan longgar, jauh dari gaya berbusana lamanya. Celana yang dulu menjadi andalannya perlahan ia tinggalkan, digantikan dengan rok-rok panjang yang memberikan kesan anggun dan sederhana. Tapi, Serena tidak mempermasalahkannya sama sekali, mengingat cara berpakaiannya selama ini masih bisa dibilang sopan, hanya saja tidak selonggar seperti sekarang.
Serena mungkin belum mengenakan kerudung. Tapi bukan berarti ia tak memikirkan hal itu. Hanya saja, hatinya masih dalam proses—untuk benar-benar yakin pada keputusan yang akan dia buat, dia tidak ingin menyesali apa yang sudah ia pilih nantinya.
Namun, meski belum sepenuhnya menutup aurat, perubahan yang Serena tunjukkan sejauh ini sudah sangat luar biasa. Setiap langkah kecil yang ia ambil adalah bukti nyata dari proses panjang yang ia jalani dengan tulus.
Bagi Serena, yang paling utama bukanlah penampilan luar, tapi bagaimana ia menata ulang hubungannya dengan Sang Pencipta. Ia mulai rajin menunaikan salat lima waktu, memperbaiki bacaan dan gerakan salatnya, serta perlahan mencoba membaca Al-Qur'an, meski masih terbata-bata.
Semua perubahan itu tidak lahir dari paksaan atau desakan siapapun. Ia melakukannya karena dorongan dari dalam hati—keinginan yang murni untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dan lebih dekat dengan Tuhan.
Hari itu, minggu keempat Serena menghadiri kajian rutin. Adapun topik pembahasan yang diangkat cukup menyentuh: tentang orang tua. Tentang bagaimana Islam memuliakan kedudukan mereka, bahkan ketika mereka pernah menyakiti hati anak-anaknya.
Serena duduk diam di samping Claudia, menunduk cukup dalam, sementara jemarinya saling bertaut di atas pangkuan. Nasihat yang disampaikan oleh sang pendakwah hari ini terasa begitu menyentuh—menembus dinding hatinya yang rapuh, yang selama ini dipenuhi luka-luka lama yang belum benar-benar sembuh.
🎙️🎙️🎙️
"Saudara-saudara sekalian yang dirahmati Allah ...."
"Tidak semua orang tua mampu menjalankan peran dan amanah yang diberikan padanya dengan baik."
"Ada kalanya justru orang tua lah yang meninggalkan luka paling dalam bagi anak-anaknya—menyakiti, mengabaikan, bahkan berlaku dzalim."
"Banyak di antara kita, mungkin juga anak-anak kita, yang tumbuh dengan hati yang terluka."
"Luka karena ucapan, perlakuan, atau sikap orang tua yang mungkin tanpa sadar menyakiti."
"Akibatnya, anak-anak ini tumbuh dalam kekecewaan, kebingungan ... bahkan sampai kehilangan arah hidupnya."
"Saya tidak menyangkal, luka yang ditinggalkan oleh orang tua itu memang tidak mudah disembuhkan.
Tapi, kalau luka itu terus kita simpan ...
Yang capek itu siapa?
Kita sendiri."
"Saudara-saudaraku, yang dirahmati oleh Allah ....
Memaafkan bukan berarti kita setuju dengan apa yang mereka lakukan.
Bukan juga berarti kita pura-pura tidak sakit.
Tapi memaafkan adalah ikhtiar—usaha kita ... supaya hati ini menjadi tenang.
Supaya hidup kita bisa terus berjalan tanpa terbebani oleh luka masa lalu yang kalau dibiarkan, bisa berubah menjadi racun dalam jiwa."
"Maka saya katakan ....
Memaafkan orang tua, seburuk apa pun mereka di mata kita, itu bukan untuk mereka.
Tapi untuk kita.
Untuk diri kita sendiri."
"Karena hanya dengan memaafkan, kita bisa benar-benar merdeka dari belenggu luka."
🎙️🎙️🎙️
Beberapa jamaah menunduk, sebagian lainnya menatap kosong—mungkin masing-masing sedang mengingat kisahnya sendiri.
Sementara itu, Serena hanya bisa menelan ludah—pahit, seperti kenyataan yang selama ini harus dia telan sendirian. Matanya mulai memanas, tapi bukan hanya karena ingin menangis, melainkan karena sesak yang menumpuk begitu lama.
Tangis dan air mata yang selama ini tumpah, tak cukup untuk menghapus rasa sakit dan luka di hatinya.
Terlebih setelah ia mengetahui fakta, bahwa orang tuanya menikah bukan karena saling mencintai, tetapi karena kebutuhan dan usia yang menuntut.
Cukup masuk akal, apabila selama 21 tahun pernikahan mereka, hanya diisi dengan saling memaki, membanting pintu, melempar barang hingga hancur berantakan, sampai pergi meninggalkan—tanpa mengatakan apa-apa.
Tak lama setelah kejadian bersejarah itu, ayahnya pun memutuskan untuk menikah lagi. Maka, bertambah lah luka di hati gadis malang itu.
Dari semua kegilaan yang terjadi dalam hidupnya. Satu-satunya cara bagi Serena untuk tetap bertahan hidup, adalah dengan menjauh dari sumber rasa sakit dan penyebab luka itu sendiri.
Satu kata yang selalu ia sematkan dalam hatinya, "dia pergi hanya untuk menjaga kewarasan."
Namun, sekali lagi ... luka itu tak benar-benar hilang. Setiap kali kesedihan datang, ia membuka kembali trauma lama, seolah-olah luka itu turut hadir untuk menyiksanya.
Kembali pada acara kajian yang masih berlangsung. Kini, sesi tanya-jawab telah dibuka oleh moderator. Para jamaah dipersilakan untuk menuliskan pertanyaan mereka di kertas kecil. Setelah itu, panitia akan berkeliling dan mengumpulkan kertas pertanyaan yang telah dilipat menjadi kecil.
Serena pun menulis. Tangan kanannya sedikit gemetar, tapi ia tetap menuliskan kerisauan hatinya di atas kertas itu.
Beberapa menit kemudian, para panitia mulai bergerak untuk mengumpulkan kertas pertanyaan dari para jamaah yang hadir. Setelah semuanya terkumpul, kardus-kardus berisi pertanyaan itu segera diberikan kepada ustadz untuk dibacakan dan diberikan jawaban.
Tak ingin membuang banyak waktu, Ustadz mulai membaca satu per satu kertas yang telah dikumpulkan.
Beberapa pertanyaan membuatnya tersenyum, namun ada beberapa yang membuatnya merenung sejenak sebelum memberikan jawaban singkat.
Lembar demi lembar dibaca, disisihkan, hingga matanya berhenti pada satu kertas yang berbeda.
Kertas itu agak terlipat, tulisannya cukup rapi, tetapi isi di dalamnya begitu berat. Ustadz diam sejenak. Sorot matanya berubah.
Ia membaca isi kertas itu dengan pelan, lalu menatap ke arah jamaah yang menunggu untuk mendengarkan pertanyaan selanjutnya.
📝📝📝
Begini bunyi dari surat tersebut:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadz.
Saya mohon izin untuk bertanya. Bagaimana sebenarnya cara memaafkan orang tua, terutama ketika luka yang ditinggalkan begitu dalam? Dari mana saya harus mulai?
Ibu saya pergi meninggalkan keluarga setelah ketahuan berselingkuh. Kejadian itu benar-benar menghancurkan banyak hal dalam hidup saya. Saya mungkin bisa memaafkan, tetapi bagaimana caranya untuk ikhlas.
Sampai sekarang, luka itu belum juga sembuh. Saya bahkan memutuskan meninggalkan rumah untuk menjaga kewarasan dan menyelamatkan diri saya sendiri. Tapi setiap kali saya mencoba berdamai, amarah dan sedih itu datang lagi.
Apa yang harus saya lakukan, Ustadz? Bagaimana saya bisa mulai memaafkan, ketika hati saya belum siap?
📝📝📝
🎙️🎙️🎙️
Ustadz pun menjawab pertanyaan itu dengan hati-hati:
"Siapapun Ananda yang menulis pertanyaan ini—dan siapa pun yang berada dalam posisi serupa— pertanyaan ini adalah bentuk kejujuran yang sulit untuk diungkapkan. Tidak semua orang mampu menuliskan isi hati seperti ini. Saya doakan, semoga Allah menjaga hatimu, melapangkan dadamu, dan selalu membimbing dalam setiap langkah-langkahmu."
"Ketika orang tua yang kita cintai, justru meninggalkan luka, maka rasa marah, kecewa, dan hancur itu sangat wajar. Islam tidak pernah meminta kita untuk pura-pura tidak sakit. Yang Islam ajarkan adalah, bagaimana kita tidak dikuasai oleh rasa sakit itu selamanya."
"Ananda bertanya: bagaimana cara memaafkan? Bagaimana bisa ikhlas setelah disakiti dengan begitu dalam? Jawabannya mungkin tidak sesingkat yang Ananda harapkan. Karena ikhlas itu bukan hasil instan. Ikhlas adalah perjalanan—panjang, berliku, dan terkadang kita harus mengulanginya berkali-kali."
"Tapi Ananda bisa mulai dengan mengakui pada Allah: 'Ya Rabb, aku belum mampu. Tapi aku ingin bisa memaafkan dan mengikhlaskan. Maka tuntun dan bimbinglah aku.'"
"Untuk menjaga kewarasan dan melindungi dirimu sendiri, Ananda kemudian memilih untuk pergi, menjauh dari keluarga. Itu pasti bukan keputusan yang mudah."
"Saya tidak akan menghakimi keputusan yang Ananda buat, karena saya tidak pernah berada di posisi demikian. Tapi, yang bisa saya sampaikan, cobalah hubungi satu-satunya keluarga atau orang tua Ananda yang masih tersisa itu. Sebelum Ananda terlambat dan menyesalinya."
"Mungkin ayah Ananda juga sedang memikul luka yang sama, bahkan mungkin lebih dalam. Ia mungkin tidak pandai menunjukkan kesedihan, atau terlalu sibuk menahan runtuhnya perasaan agar tetap terlihat kuat di hadapan dunia, terutama di depan Ananda selaku anaknya. Tapi bukan berarti ia tidak merasa hancur. Apalagi, Ananda, putri yang ia sayangi, pergi meninggalkannya."
"Ananda, tidak semua orang mendapatkan orang tua yang ideal. Tapi kamu tetap bisa menjadi anak yang berbakti, dengan caramu sendiri. Salah satunya: menyambung yang masih bisa disambung. Mungkin lewat pesan singkat, doa, atau telepon yang selama ini kamu tahan."
"Dan semoga, lewat langkah-langkah kecil itu, Allah akan bukakan jalan besar menuju ketenangan yang sedang Ananda cari."
"Ketahuilah Ananda, kamu tidak sendiri. Kamu sedang berjuang. Dan insyaAllah, perjuanganmu ini bernilai besar di sisi-Nya."
"Terus minta kekuatan dari Allah. Karena hati yang mau memaafkan, adalah hati yang sangat dekat dengan rahmat-Nya."
"InsyaAllah, ketika waktunya tiba, Allah sendiri yang akan lembutkan hatimu. Dan saat itu terjadi, kamu akan tahu: bahwa kamu telah menang, atas luka yang hampir mengalahkanmu."
"Kamu tidak sendiri, karena Allah selalu bersamamu."
"Wallahu a'lam."
🎙️🎙️🎙️
Nasehat itu berhasil menembus hingga ke relung hati Serena. Ia merasa tertampar, namun di sisi lain juga merasa tercerahkan.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Serena ingin cepat sampai di rumah. Ada satu hal yang ingin segera ia lakukan—menghubungi ayahnya.
Kajian berakhir tak lama sebelum azan Dzuhur berkumandang. Semua orang perlahan bubar setelah menunaikan salat Dzuhur berjamaah.
***
Sepulang dari kajian, Serena tampak menggenggam ponselnya cukup lama.
Ayah.
Nomornya masih tersimpan di daftar kontak. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali mereka berbicara.
Keberanian yang Serena butuhkan sepertinya masih belum terpenuhi. Tapi, di tengah kegamangan itu, ia kemudian teringat pesan yang disampaikan oleh ustadz dalam kajian beberapa saat yang lalu.
"Tapi, yang bisa saya sampaikan, cobalah hubungi satu-satunya keluarga atau orang tua Ananda yang masih tersisa itu. Sebelum Ananda terlambat dan menyesalinya."
Tatapan mata Serena seketika berubah. Tanpa pikir lebih panjang, gadis itu akhirnya menyentuh tombol call.
Nada tunggu berdentang di dalam sana. Sekali, dua kali. Membuat jantungnya berdetak begitu kencang.
"Rere, Anakku."
Suara yang telah lama tak terdengar itu menyambut indra pendengaran Serena.
Serena sontak menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Meski suaranya tercekat, ia memaksakan diri untuk mengucap salam.
"Assalamu'alaikum, Ayah ...."
Bersambung
Senin, 25 Agustus 2025