Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Aku Akan Selalu Ada Di Samping Kamu
Okay. Mungkin dia di sini emang hanya untuk Bang Rian. Dia pasti sudah tidak punya urusan denganku lagi, hanya AKU yang merasa masih punya urusan yang belum selesai dengannya. Mungkin benar begitu adanya.
Sudahlah. Hentikan, Kay. Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi. Kau hanya buang-buang waktu. Dan, satu lagi, jangan geer!
Okay, heart, okay.
Dan, begitulah. Selama acara, yang aku lakukan adalah mencoba menikmati suasana sambil menghindari Alex sebisa mungkin. Sebisaku mengelak dari Wide yang memaksa kami berpose di depan kamera yang dibidikkan oleh lelaki itu. Selain Mimi, Teletubbies yang lain belum menyadari siapa sebenarnya pria yang dikenalkan Bang Rian sebagai temannya ini. Aku masih tidak siap membahasnya sekarang, apalagi dengan Alex yang berseliweran di sini. Aku sibuk memasang senyum ke sana kemari sementara menahan perih di hati. Alex takkan terjangkau lagi olehku. Dulu saja dia sudah terasa jauh hingga aku tak yakin dapat meraihnya. Dan sekarang, dia bahkan semakin tinggi, semakin jauh meninggalkanku. Tuhan, tolong selamatkan aku.
“Kamu lagi apa sih sebenarnya, Kayra Salim?” Seseorang berbicara di balik punggungku sementara aku menengadah memandang langit. Malam ini sangat cerah, dan kecerahannya memedihkan mata. Aku menyeka air mata yang mengalir karena kecerahan malam. Iya, salahkan saja semuanya pada langit malam ini.
Dengan adanya Ghani yang kini duduk di sampingku, semakin banyak saja air mata yang mendesak hendak ke luar. Sedu semakin menekan dadaku. Tiba-tiba saja aku menangis karena perih di mata sudah tak dapat ditahan lagi. Bahuku berguncang, kepala menyuruk dalam ringkukan tubuhku. Kalau bisa aku ingin menghilang saja sekarang.
Dia masih di sana, tangannya kini merangkul tubuhku, akan tetapi dia hanya diam. Menungguku selesai menumpahkan semua kepadatan perasaan, keputusasaan, kepedihan. Sudah dua hari aku berhasil menghindar dari Alex, akan tetapi semakin hari rasanya semakin menyakitiku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi semua ini.
Sedanku mulai mereda, kuseka luapan air mata yang membanjiri muka. Hidungku sudah pasti sangat merah, mataku bengkak sempurna, sedang hati tak berhenti berdarah. Lengkap sudah. Ghani menepuk punggungku beberapa kali sebelum menarik tangannya. “Kamu udah selesai?” Dia berdeham. Anggukanku menjadi satu-satunya jawaban. Ghani menatapku yang masih menunduk. “Kamu mau kasih tahu aku apa yang bikin kamu nangis kayak gini?”
Yes, cause you’re the one I have now, Ghan. Aku kembali mengangguk pelan.
“Kamu tahu kalau aku akan selalu ada di sini buat dengarin kamu.”
Butuh beberapa menit untukku mempersiapkan diri sebelum akhirnya membuka suara. “Aku gak bisa, Ghan.” Aku berhenti dan menarik napas dalam. “Aku gak bisa menghindari Alex lagi. Hal itu malah bikin aku tambah sakit.”
Ghani menggeser duduknya, kini tubuh itu menghadap ke arahku. “Dan aku benar-benar gak ngerti sama kamu.”
Aku serta-merta menoleh padanya. Bingung. “Why?”
“Seharusnya aku yang nanya itu ke kamu, Kay.”
Aku ikut memutar posisi hingga kami berhadapan. Kebingungan sama-sama menyelimuti wajah. “Kok gitu?”
Embusan napasnya terdengar tak sabar. “kenapa kamu harus ngelakuin itu? Kenapa kamu harus menghindari Alex?”
Oh. Itu. Kukembalikan posisiku seperti semula, kutengadahkan lagi kepalaku ke langit. “Aku harus, Ghan. Dia di sini bukan buat aku, jadi aku harus berhenti berharap. Aku harus membuat diri aku sadar bahwa mungkin saja dia sudah tidak menganggap aku ada.”
“Gimana kamu bisa tahu semua itu, ha?” Ghani mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. “Kadang aku benaran gak paham sama jalan pikirannya perempuan. Ribet banget kalian.” Lalu dia menyandarkan tubuhnya di kursi taman itu.
“Aku tahu, Ghan. Aku ... aku punya firasat kalau apa yag aku rasakan itu adalan sebuah kebenaran.” Tatapanku masih saja terpaku ke atas sana.
“Tapi, itu gak mutlak, Kay. Perasaan kamu belum tentu benar. Kalau kamu mau tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam pikirannya Alex, go and ask him!” Intonasinya terkesan mendesak. Mungkin Ghani sudah mulai gerah menyaksikan lika-liku perasaanku.
“Gimana caeanya? Dia aja gak mau lihat aku.” Aku kini memandang rumput yang ada di bawah kami.
“Kamu yang menghindari dia, Kayra. Bukan sebaliknya.” Ghani memotong kalimatku. “Dan sekarang kamu nyalahin dia buat sesuatu yang enggak dia lakukan. Gimana bisa kamu melakukan itu pada seseorang yang katanya kamu cintai?” Dia kembali menegakkan tubuhnya.
“Karena cuma aku aja yang cinta sama dia, Ghan, dia gak cinta sama aku.” Ghani terdiam. “Karena aku udah melanggar janji aku, menghancurkan apa yang kami punya, dan melukai diri sendiri along the way. Aku gak begitu percaya diri untuk menghadapi dia dan menodongkan pertanyaan apa dia masih cinta sama aku atau enggak. Aku takut, terlalu takut untuk membangun barang secuil harapan di dalam sini." Telunjukku mengarah ke dada. "Mungkin gak bakal ada aku dan dia lagi, selamanya. Selamanya yang udah mulai sejak empat tahun yang lalu.” Aku tersenyum lemah. “Itulah kenapa aku terus-menerus bilang ke diri aku sendiri kalau dia di sini bukan buat aku. Bahwa kami udah gak mungkin bersama lagi. Bahwa semuanya sudah berlalu.”
“Tapi, Kay.” Ghani mengembuskan napas lagi. Setelah itu nadanya melembut, suaranya tak lagi seantusias tadi. “Tetap tidak mengakui perasaan kamu, menghindari dia, gak akan bikin kamu ke mana-mana. Kamu hanya akan berputar di sekitar itu aja, sama kayak yang udah kamu lakukan selama ini.” Dia mengulurkan tangan untuk menjangkau tanganku. “menurut aku, lebih baik kamu menghadapinya head on. Confront sia soal kalian. Kasih tahu dia perasaan kamu sekarang. Dengan begitu semuanya akan menjadi semakin jelas. Kamu juga tahu apakah kamu akan mendapatkan dia kembali atau harus move on.” Ghani meremas genggamannya.
Aku tahu dia benar, aku tahu itu. Namun .... Aku menoleh ke arahnya dengan ragu-ragu. “Tapi, aku takut banget, Ghan. Aku takut banget untuk mengetahui kebenarannya. Aku takut banget hal yag akan terjadi tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan sekarang ini.”
“It's okay, Kay. Aku ada di sini. Aku akan selalu ada di sini, kamu tahu itu. Apa pun yang menjadi akhirnya, aku akan selalu ada di samping kamu. Kamu mau selamanya begini, terperangkap dalam perasaan sendiri, hm?” Aku lantas menggeleng. Selama ini sungguh menyiksa. Menyimpan perasaan ini sendiri dan sekarang pun terlalu takut dan pengecut untuk menghadapinya. “Jadi, gunakan kesempatan ini untuk memperjelas keadaan, ya. Kita gak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi, pilihannya hanya ada dua. Sekarang atau tidak akan pernah lagi. Kamu mau pilih yang mana, Kay? Kamu udah tahu betul apa pilihan aku.”
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️