Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Tiga jam perjalanan terasa melelahkan namun penuh harap.
Saat bis akhirnya berhenti di perempatan Armada Magelang, suasana kota kecil itu langsung menyambut mereka dengan semilir angin yang membawa aroma tanah basah dan pohon-pohon tua yang rindang.
Sri membuka mata perlahan saat Grilyanto menggoyang lembut lengannya.
“Sri, kita sudah sampai. Ayo turun,” bisik Grilyanto pelan.
Sri mengangguk, mengusap wajahnya yang masih sedikit mengantuk, lalu turun perlahan dari bus bersama suaminya.
Mereka berdiri sejenak di tepi jalan, memandang sekitar yang begitu berbeda dari hiruk-pikuk Surabaya.
Suasana Magelang lebih tenang, jalanannya tak terlalu ramai, dan bangunan-bangunan tua seakan menyimpan cerita panjang yang telah terlewatkan zaman.
Setelah memastikan koper mereka lengkap, Grilyanto mengajak Sri menaiki angkot jurusan Tidar, yang akan membawa mereka lebih dekat ke rumah ibunya.
Di dalam angkot yang bergoyang perlahan, Sri menatap keluar jendela. Hatinya campur aduk senang, gugup, sekaligus cemas.
Ini adalah kali keduanya Sri kembali ke Magelang, kota tempat suaminya dilahirkan.
Namun kali ini berbeda. Mereka datang bukan sebagai sepasang kekasih yang ingin memperkenalkan diri, melainkan sebagai suami-istri yang resmi menikah.
Sri tahu, ibu Grilyanto sempat menolak hubungan mereka.
Ia sadar bahwa statusnya sebagai janda dengan satu anak menjadi alasan utama keraguan itu.
Namun, Sri menaruh harap. Harap bahwa cinta mereka, kesederhanaan mereka, dan ketulusan hati akan perlahan-lahan membuka pintu restu yang dulu tertutup rapat.
Di sampingnya, Grilyanto duduk tenang, menggenggam erat tangannya.
“Aku tahu kamu kuat, Sri,” kata Grilyanto lirih. “Apapun yang akan terjadi nanti, kita hadapi bersama ya.”
Sri menoleh, dan tersenyum. “Iya, Mas. Aku siap.”
Langit Magelang mendung tipis, seolah tahu bahwa dua hati sedang berusaha memantapkan langkah mereka menuju rumah yang dulu belum sepenuhnya menerima.
Tapi dengan hati penuh cinta, Grilyanto dan Sri, yang kini telah sah sebagai suami-istri, memberanikan diri untuk pulang membawa harapan, keberanian, dan segenggam keyakinan bahwa keluarga adalah tempat cinta selalu bisa tumbuh, jika terus dirawat dan diperjuangkan.
Sesampainya di rumah, langit Magelang mulai meredup, menandakan sore yang pelan-pelan menjelma malam.
Grilyanto turun lebih dulu dari angkot, lalu meraih tangan Sri dengan lembut.
Di hadapan mereka berdiri rumah tua bercat putih yang dindingnya sedikit mengelupas, namun masih tampak kokoh.
Aroma dapur kampung yang khas menyeruak dari celah-celah jendela.
Suasana yang tak pernah berubah, meski waktu terus berjalan.
Begitu langkah mereka memasuki halaman, suara decit pintu terdengar dari dalam rumah.
“Gril?” suara itu lirih, namun penuh harap.
Ibu Grilyanto muncul di ambang pintu, mengenakan kebaya lusuh warna coklat muda.
Kerutan di wajahnya dalam, namun matanya masih menyimpan sorot cinta yang hangat.
Di belakangnya, berdiri ketujuh saudara Grilyanto yang telah lebih dulu tahu tentang kedatangan adik lelaki mereka hari itu.
“Ibu…” ucap Grilyanto pelan, lalu segera menghampiri dan memeluk sang ibu. Tubuh tuanya kecil, namun terasa hangat dan penuh kekuatan.
Sri berdiri sejenak, membungkukkan badan penuh hormat.
“Ibu, saya Sri…”
Ibu memandang Sri tanpa kata. Wajahnya datar, sulit ditebak perasaannya.
Namun ia melirik Grilyanto yang masih memegang tangan istrinya erat-erat.
Ketujuh saudara Grilyanto saling pandang. Mereka tahu cerita ini belum sepenuhnya selesai.
Tapi mereka pun tahu bahwa anak bungsu dalam keluarga ini sedang mempertaruhkan cintanya.
“Masuklah… hari sudah sore,” ucap ibu akhirnya.
Itu bukan sambutan yang hangat, tapi cukup bagi mereka berdua untuk melangkah.
Sri mengikuti Grilyanto masuk ke dalam rumah, duduk bersila di ruang tamu yang lantainya dingin. Ibu menatap mereka, dan walaupun masih menyimpan keraguan, ia tahu — anaknya kini telah pulang membawa pilihan hidupnya.
Dan itu, pelan-pelan, mulai mengubah segalanya.
Malam turun pelan di rumah tua itu. Angin Magelang berhembus lembut dari sela-sela jendela, membawa aroma tanah basah dan ranting kering.
Di ruang makan sederhana, keluarga besar Grilyanto duduk melingkar di atas tikar pandan, mengelilingi hidangan malam yang telah disiapkan.
Namun tidak ada suara. Yang terdengar hanya bunyi sendok menyentuh piring, helaan napas pelan, dan denting gelas yang tak disengaja bersentuhan.
Sri duduk di sisi kiri Grilyanto. Tatapannya tertunduk, menyentuh nasi di piringnya namun belum mengangkat sendok.
Ketujuh saudara Grilyanto, duduk berjejer seperti barisan waktu, memperhatikan mereka berdua dengan campuran rasa ingin tahu dan kehati-hatian.
Sementara ibu, duduk paling ujung, diam, hanya sesekali menatap ke arah Grilyanto dan Sri.
Usai makan, Grilyanto menggeser duduknya pelan, menatap ibunya.
Ia merogoh saku tasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun. Ia berdiri, berjalan mendekat, lalu menyodorkannya pada sang ibu.
“Ibu,” ucapnya pelan. Suaranya serak. “Ini… ada sedikit oleh-oleh dari Surabaya.”
Ibunya menatap kotak itu. Ragu. Perlahan, tangannya meraihnya.
Kotak itu ringan. Saat dibuka, kilauan logam kuning keemasan muncul di bawah cahaya lampu minyak. Sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk hati.
“Sri yang membelinya, Bu…” lanjut Grilyanto dengan suara lembut.
“Dia ingin ibu tahu, bahwa dia mencintai saya, dan ingin ibu juga merasakan bahagianya.”
Sri menunduk lebih dalam. Tangannya menggenggam ujung selendang di pangkuan.
Ibu Grilyanto tidak langsung menjawab. Ia menatap kalung itu lama, lalu memandang Sri.
“Kenapa kamu membelinya untuk saya?” tanyanya pelan, suaranya mengandung ujian.
Sri mendongak perlahan. Tatapannya tidak menantang, tetapi jujur.
“Karena saya ingin menjadi bagian dari keluarga ini, Bu. Bukan untuk menggantikan siapa pun… hanya ingin diterima sebagai menantu, dan anak.”
Hening. Sunyi menggantung di udara seperti kabut tipis. Lalu ibu mengangguk sekali — perlahan, tapi penuh makna. Tak ada senyum, tak ada pelukan. Tapi untuk malam itu, itu sudah lebih dari cukup.
Grilyanto menggenggam tangan Sri di bawah meja. Hangat. Ia tahu, malam itu adalah awal dari terbukanya pintu hati yang lama tertutup.
Dan di tengah makan malam yang awalnya sepi, satu kalung kecil mengubah segalanya.
Setelah makan malam usai, tikar digulung, piring-piring dibilas oleh adik-adik perempuan Grilyanto, dan udara malam Magelang semakin sejuk menembus dinding rumah kayu.
Lampu gantung tua berayun perlahan, memantulkan bayangan lembut di dinding ruang keluarga.
Grilyanto dan Sri duduk berdampingan di beranda, memandangi halaman yang remang, di mana pohon mangga tua berdiri seperti penjaga sunyi.
Grilyanto menghela napas panjang. Di sebelahnya, Sri bersandar pelan, berusaha menangkap rasa dari malam yang baru saja mereka lewati. Ini malam yang berat — bukan karena pertengkaran atau kemarahan, tetapi karena mereka harus melewati hening yang panjang dan tajam, semacam ujian batin yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mencoba menyatu dalam keluarga baru.
“Aku tidak menyangka Ibu akan menyimpan kalung itu,” kata Sri pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam semilir angin.
Grilyanto menoleh, menatap istrinya yang wajahnya tampak tenang namun lelah.
Ia tahu, Sri telah menyiapkan hatinya dengan sangat kuat, bahkan sejak perjalanan tadi siang.
“Ibu orang yang keras,” jawab Grilyanto, “tapi beliau menyayangi anak-anaknya dengan cara yang berbeda.”
Sri mengangguk pelan. Di kejauhan, suara serangga malam mulai bernyanyi. Rumah sudah tenang.
Anak-anak dari keluarga Grilyanto sudah masuk kamar, dan sang ibu juga telah kembali ke kamarnya. Namun bagi mereka berdua, malam ini belum berakhir.
“Mas,” Sri akhirnya berbicara lagi.
“Aku ingin kita tinggal di sini sebentar. Bukan lama… hanya beberapa hari. Aku ingin belajar mengenal keluargamu. Bukan sebagai tamu, tapi sebagai istri yang diterima.”
Grilyanto terdiam, matanya menerawang ke langit. Bintang-bintang berserakan di atas mereka, seperti serpih harapan kecil yang menggantung di semesta. Ia meremas lembut tangan Sri.
“Kalau kamu sanggup, aku akan lebih kuat,” ucap Grilyanto.
“Dan aku percaya, pelan-pelan semuanya akan lunak. Bahkan hati yang paling keras pun bisa mencair dengan ketulusan.”
Sri tersenyum. “Aku percaya, mas.”
Dari jendela kamarnya, Ibu Grilyanto berdiri mengintip.
Ia melihat anak lelakinya yang sudah menjadi suami, duduk tenang bersama menantunya yang sederhana.
Ia mendengar kata-kata mereka tidak jelas, tetapi cukup untuk membuat hatinya yang selama ini dilapisi keraguan mulai retak.
Malam itu, di bawah bintang-bintang Magelang, bukan hanya hubungan yang diuji tapi cinta yang diuji untuk tumbuh lebih dalam, lebih kuat, dan lebih mengakar.
Dan meskipun tidak ada pelukan atau kata sayang dari ibu, diamnya malam adalah restu pertama yang belum terucap tapi terasa.