Seorang polisi harus menikahi putri dari jendral yang menjadikannya ajudan. Dengan kejadian tak terduga dan tanpa ia ketahui siapa orang yang telah menjebak dirinya.
"Ini semua pasti kerjaan kamu 'kan? Kamu sengaja melakukan hal ini padaku!" Sentak Khanza saat menyadari dirinya telah tidur dengan ajudan yang diberikan oleh Papanya.
"Mbak, saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak ingat apapun," jelas Yusuf, polisi yang ditunjuk sebagai ajudan untuk putri jenderal bintang dua itu.
Jangan ditanya bagaimana takutnya Pria itu saat menyadari, bahwa ia telah menodai anak dari jenderal bintang dua itu.
Siapakah Jendral bintang dua itu? Kalau sudah pernah mampir di karya aku yang berjudul, (Dokter tampan itu ayah anakku) pasti tahu dong😉 Yuk kepoin kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berpisah
Kini mobil yang dikendarai Mas Yusuf sudah memasuki kota Padang. Sebelum sampai rumah, Mas Yusuf berhenti disebuah ATM.
"Sebentar ya, Dek."
Aku hanya mengangguk, Mas Yusuf segera masuk kedalam ATM. Aku hanya menunggu di mobil. Kenapa Mas Yusuf malam seperti ini mengambil uang tunai? Apakah saat jalan-jalan tadi uangnya habis? Padahal aku sudah berulang kali menawarkan agar aku ikut melakukan pembayaran, tetapi Pria itu benar-benar sangat bertanggung jawab. Dia tidak pernah mengharapkan uangku.
Dia lelaki yang sangat bertanggung jawab. Aku bukan ingin sombong, sebenarnya penghasilanku sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhanku sendiri.
Tak berselang lama, Mas Yusuf sudah masuk kembali dan duduk di bangku kemudi. Dia membuka dompet, lalu mengeluarakn uang tunai yang tadi baru dia ambil di ATM.
"Dek, ini nafkah dari saya buat kebutuhan kamu dan juga biaya untuk periksa kandungan. Maaf, mungkin nilainya tidak seberapa, tapi izinkan aku bertanggung jawab seutuhnya atas dirimu dan juga anakku. Aku tahu mungkin penghasilanmu lebih besar dariku. Tapi jangan menolak nafkah dariku."
Aku kembali dibuat tercengang. Aku benar-benar selalu dibuat kagum melihat sikapnya. Bahkan aku tak mampu berkata-kata, seketika mataku berembun.
"Tapi Mas, Mbak Tiara..."
"Kamu jangan memikirkan hal itu. Aku tidak akan pernah berat sebelah. Insyaallah aku sudah mencukupi kebutuhan Tiara dan juga anakku. Tolong gunakan uang ini ya, jangan pandang nilainya, tolong hargai aku yang ingin bertanggung jawab atas dirimu."
Aku hanya mengangguk menerima uang pemberian dari suamiku. "Terimakasih ya, Mas. Aku pasti akan menggunakannya."
Dia hanya mengangguk dan tersenyum lega, tangannya mengusap air mata yang sempat menetes di pipiku. "Jangan sedih ya, maaf sekali lagi Mas tidak bisa menemani kamu saat kedokter nanti, Mas hanya berharap semoga dia baik-baik saja dan sehat selalu." Tangannya berpindah pada perutku. "Nak, maafkan Papa ya, karena Papa tidak bisa menemani Mama saat periksa. Papa selalu mendo'akan semoga kamu dan Mama sehat selalu."
Dia mengecup perutku berulang kali, lalu kembali menjalankan mobilnya, sebelum sampai dirumah, Mas Yusuf kembali menanyakan keinginanku.
"Dek, mau beli sesuatu, nggak?"
"Nggak Mas, aku udah kenyang banget."
"Baiklah, kalau begitu kita pulang sekarang. Dan nanti setelah mengantar kamu, saya juga langsung pulang ya," ujarnya meminta izin.
"Hmm, baiklah."
Walau terasa berat tetapi aku harus sadar bahwa Mas Yusuf bukan milikku seutuhnya. Aku harus berusaha agar tetap ikhlas menerima kenyataan.
Setibanya dirumah, Mas Yusuf mengantarkan aku masuk kedalam, sekalian dia berpamitan pada Papa dan Bunda.
Mas Yusuf masih ngobrol sama Papa dan Bunda. Aku pamit untuk ke kamar, karena aku malu jika cap stempel yang diberikan Mas Yusuf dilihat kedua orangtuaku.
Saat sampai di kamar, aku segera menukar pakaianku yang ada kerahnya. Setelah merasa cukup aman, aku hendak kebawah kembali. Entah kenapa aku merasa sedih untuk melepaskan kepergian Mas Yusuf, aku akan kehilangan sosok yang selalu penuh perhatian itu selama satu bulan.
"Mau kemana Dek?" tanyanya yang sudah berada di ambang pintu.
"Eh, Mas. Belum pulang?"
"Iya ini mau pulang, tapi saya ingin pamit dulu sama kamu dan juga dia." Mas Yusuf segera berjongkok dihadapanku dia mengecup perutku sangat lama. "Papa pamit ya, Nak. Kamu dan Mama baik-baik ya. Papa pasti sangat merindukan kalian berdua." Mas Yusuf kembali berdiri dan membawaku dalam pelukannya. "Mas, pamit ya. Kamu jaga diri baik-baik. Selalu hati-hati. Jika bisa segeralah berhenti bekerja, karena saya sangat takut terjadi sesuatu pada kamu dan anak kita."
Aku hanya bisa mengangguk, suaraku rasanya sangat sulit untuk keluar, tetapi hanya buliran air mata yang terlebih dahulu mengekspresikan bagaimana hatiku sekarang. Aku menguatkan pelukanku, rasanya aku begitu takut kehilangannya. Padahal Mas Yusuf hanya pergi bertugas, tetapi rasanya satu bulan itu cukup lama.
"Mas, kabari aku ya? Beri aku tempat dihatimu walau sedikit agar aku juga ada dipikiranmu. Aku pasti sangat merindukan segala kasih sayang dan perhatianmu."
Aku kembali terisak dan membenamkan wajahku di dada bidangnya. Tangannya mengusap punggungku untuk menenangkan aku. Dadaku terasa sesak, kenapa aku setakut ini saat akan berpisah dengannya.
"Kamu akan selalu ada dalam hati dan pikiranku Dek. Jangan menangis ya. Aku pasti akan mengabarimu. Yasudah, Mas pergi sekarang ya."
Aku hanya mengangguk pasrah. Dia meninggalkan jejak sayang di kening dan di bibirku, sebelum punggung tegap itu menghilang dari pandanganku.
Aku menghapus sisa air mata. Dan aku berjalan menuju balkon teras yang ada dilantai dua. Aku melihat mobil Mas Yusuf keluar, dan hilang dibalik gerbang. Kembali air mataku luruh. Aku benci sekali dengan perasaan cengeng ini.
"Tidak, aku boleh cengeng. Mas Yusuf hanya bertugas. Aku hanya perlu mendo'akan keselamatan dirinya. Anak Mama jangan sedih ya, Papa pergi hanya satu bulan. Okey my baby, kita harus semangat."
Aku mencoba untuk menyemangati diri sendiri, dan membawa bayiku bicara. Aku segera masuk kedalam kamar, kutimpakan tubuhku di bibir ranjang. Perlahan tanganku terulur meraih tas yang ada diatas nakas.
Aku keluarkan kembali uang nafkah yang diberikan oleh Mas Yusuf. Aku menghitung jumlahnya, ternyata senilai enam juta rupiah. Ini adalah nafkah pertama yang aku terima selama hampir satu bulan aku menjadi istrinya. Ku genggam uang itu dan kudekap didada.
Aku begitu bahagia, walau jumlahnya tidak seberapa, tetapi aku sangat bersyukur. Dia adalah lelaki yang sangat penuh tanggung jawab. Aku menyimpan uang itu dengan baik. Sebenarnya aku sayang untuk menggunakan uang itu, tetapi Mas Yusuf telah berpesan, jadi aku harus mengikuti.
Setelah menyimpan uang pemberian dari suamiku, aku kembali turun kebawah untuk bertemu dengan Bunda. Ya, aku ingin cari tahu kemana Mas Yusuf bertugas. Karena tadi berulang kali aku menanyakan tetapi tak mendapatkan jawaban darinya.
Entah kenapa Mas Yusuf tidak ingin memberi tahuku di kota mana dia bertugas, sikap Mas Yusuf masih belum bisa ditebak. Aku berharap Papa bisa memberitahuku. Mustahil rasanya Papa tidak tahu tentang itu.
Perlahan aku menapaki anak tangga untuk turun kebawah. Sayup-sayup aku mendengar suara orang sedang marah. Ternyata Bang Khenzi yang bertelponan. Sepertinya dia sedang ada masalah dengan Kak Rayola.
Aku melihat Abang menuju taman belakang dekat kolam renang. Dan tidak berapa lama Kak Arumi menyusul dengan membawakan secangkir teh. Mungkin itu permintaan Abang.
Ya, Kak Arumi adalah anak Bibi Santi, yaitu Art senior yang ada dirumah ini. Kak Arumi baru satu bulan ini tinggal disini karena dia bekerja sebagai perawat di RS tempat aku praktek.
Bersambung....
Happy reading 🥰