"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Suami Dosenku
"Aku kira kamu masih sibuk kerja."
Bu Magda tampak bahagia menerima buket bunga dari Mark. Ia tidak menyangka lelaki itu mau datang padahal awalnya menolak dengan alasan sibuk.
"Kebetulan ada waktu. Maaf tidak bisa selalu menemuimu," kata Mark.
Senyum masih menghiasi wajah Bu Magda. "Biar aku kenalkan pada mahasiswaku. Mereka baru saja mendapatkan juara," katanya.
Bu magda menggandeng lengan Mark, membawa lelaki itu mendekat ke arah anak didiknya. "Mereka semua mahasiswaku. Ada Derryl, Fiko, Inne, Pitaloka, dan ... Jessy yang jadi ketua tim."
Mark menyalami satu per satu dari mereka. Tiba giliran menyalami Jessy, ia sengaja menggenggam tangannya lebih lama. Jessy tampak tak nyaman dan mencoba menghindari tatapan dengan dirinya.
"Selamat untuk kalian. Kalau aku tahu, pasti akan aku bawakan hadiah untuk kalian juga," kata Mark.
"Hadiahnya boleh menyusul, Pak!" celetuk Derryl.
"Iya, Pak, dititipkan saja kepada Ibu Magda. Kami akan sangat senang dengan hadiahnya," sahut Pitaloka.
"Hahaha ... Baiklah, nanti akan aku kirimkan hadiahnya ke kampus."
Semua menunjukkan ekspresi senang terkecuali Jessy. Ia sangat ingin lari dari realita bahwa keluarga yang sedang dikhianatinya adalah keluarga Bu Magda dan Justin.
"Em, maaf, Bu. Saya mau pulang duluan karena ada urusan," pamit Jessy.
"Oh, kamu sudah mau pulang? Tapi ada seseorang yang mau bertemu dengan kita. Sepertinya dia tertarik dengan idemu itu," kata Bu Magda.
"Itu ... Ibu saja yang mengurus. Juga teman-teman. Soalnya urusan saya juga penting," kilah Jessy.
"Yah, Jess ... Nggak asik kalau kamu nggak ada," keluh Inne.
"Maaf, ya ...," ucap Jessy sungkan.
"Ya sudah, Jessy. Hati-hati di jalan," kata Bu Magda.
"Iya, Bu. Permisi."
Jessy buru-buru pergi dari sana. Ia berjalan keluar area hotel menuju halte untuk menunggu bus yang lewat.
Ia menghela napas panjang. Pikirannya kembali kacau memikirkan akan pulang kemana setelah ini. Jessy sudah lama meninggalkan kos-kosannya dan tinggal bersama Mark.
Rasanya ia menangis setiap kali mengingat momen ia begitu menikmati tidur dengan lelaki lain yang ternyata ayah dari pacarnya sendiri.
"Kamu benar-benar sangat rendah, Jessy!" gumamnya sembari memukuli kepalanya sendiri.
Tin tin!
Sebuah mobil berhenti di depan Jessy. Ketika kacanya diturunkan, tampak Mark yang berada xi belakang kemudi.
"Jessy, masuk!" perintahnya.
"Terima kasih, Pak. Saya baik bis saja," tolak Jessy.
"Masuk atau aku yang keluar?" ancam Mark.
Jessy melihat ke sekeliling. Ada cukup banyak orang di sekitar sana. Terpaksa ia mengikuti kemauan Mark agar kebersamaan mereka tidak dicurigai orang.
Sepanjang perjalanan Jessy hanya bisa diam. Ia bahkan tak berani untuk menoleh ke arah Mark. Sampai akhirnya mereka kembali ke apartemen, Jessy masih diam.
"Aku tidak tahu kalau kamu juga ada di sana, Baby. Maafkan aku." Mark mencoba merayu Jessy agar tidak marah.
Jessy menepis tangan Mark. Ia merasakan antara kesal dan sedih mengetahui kebenarannya. "Bapak sudah tahu kan kalau saya salah satu mahasiswa Ibu Magda? Kenapa Bapak tidak pernah bilang kalau Bapak suami Ibu Magda? Kenapa?"
Jessy berbicara dengan penuh emosi. Matanya berkaca-kaca menghadapi tekanan batin yang sangat luar biasa dalam dirinya.
"Bapak mau membuat saya terlihat bodoh! Tanpa saya tahu setiap malam saya tidur dengan suami dari dosen saya sendiri. Oh, Ya Tuhan ...." Jessy terduduk di sofa. Air matanya mulai menetes di pipinya. Jessy menangis menyesali perbuatannya.
"Kamu pasti sudah lama kabur kalau aku beritahukan sejak awal," kata Mark.
"Pak!" bentak Jessy kecewa. Ia memang tidak akan mau berhubungan dengan Mark jika tahu lelaki itu merupakan suami dari Ibu Magda.
"Aku tidak suka dengan panggilanmu padaku, Jessy. Bisakah kamu menganggap tidak tahu apapun? Aku mau kamu tetap menjadi Jessy yang sama seperti sebelumnya."
Mark berusaha menyentuh Jessy, namun lagi-lagi wanita itu menepisnya.
"Saya tidak mau melanjutkan hubungan ini."
Jessy bangkit dari duduknya hendak pergi dari apartemen Mark. Namun, Mark menahan tangannya.
"Pak, tolong lepaskan saya," pinta Jessy.
"Aku tidak bisa." Mark menolak.
"Pak, Anda tidak boleh seperti ini." Jessy berusaha keras melepaskan cekalan tangan Mark.
"Kamu sendiri yang menyerahkan diri padaku, Jessy. Aku tidak akan melepaskanmu."
Mark membopong tubuh Jessy dan membawanya ke dalam kamar. Secara kasar, ia jatuhkan tubuh Jessy di atas ranjang.
Mendengar kemauan Jessy yang ingin pergi darinya semakin membuat sifat posesifnya muncul. Mark telah menganggap Jessy sebagai miliknya dan tidak bisa dimiliki oleh orang lain.
"Pak, saya mohon jangan lakukan ini lagi. Ini semua tidak benar!"
Jessy sedikit takut. Tatapan mata Mark begitu tajam seperti orang yang tengah marah. Lelaki itu membuka pakaiannya sendiri dan berusaha mendekati Jessy.
Jessy beringsut mundur mencoba menghindari Mark. Lelaki itu menarik kakinya, tak membiarkan celah sedikitpun untuk kabur.
"Pak, jangan ...." Jessy masih berusaha memohon.
Mark menyunggingkan senyuman seringainya. "Apa? Jangan? Kamu menolak kita berhubungan seperti biasa?" ia seakan menertawakan penolakan Jessy kali ini.
"Ibu Magda dosen saya. Saya sangat menghormatinya."
"Memangnya kenapa? Kamu hanya perlu pura-pura tidak tahu dan nikmati setiap momen percintaan kita. Seperti yang selama ini kamu rasakan, bukankah aktivitas kita selalu memuaskan?" kata Mark.
Air mata Jessy semakin meleleh. Ia menyesali apa yang selama ini dirasakannya. Ia memang terlena dengan kehangatan yang Mark berikan padanya setiap malam. Kehangatan yang seharusnya menjadi milik keluarga orang lain, namun ia sendiri turut menikmatinya.
Mark menghapus air mata yang mengalir di pipi Jessy. Tangisan wanita itu sama sekali tak membuatnya tergerak untuk mengalah. Ia tetap ingin memiliki Jessy di sampingnya.
realistis dunk