Dilarang nangis🛠️
Siapa yang tidak hancur saat istri yang baru saja dinikahinya selepas ijab Qobul tiba-tiba meninggal.
Angkasa Sadewa yang belum rela akan kematian Mendiang Sekar akhirnya mengalami depresi yang sangat berat hingga membuatnya hampir gila.
Sampai suatu ketika Ia dan Ayahnya Pak Dewok bertemu gadis bernama Bulan. Wajah nya begitu mirip dengan Almarhum Sekar. Karena sama-sama membutuhkan Bulan dan Pak Dewok melakukan perjanjian.
Bulan harus berpura-pura menjadi Sekar dan timpal jasanya adalah membayar pengobatan adiknya Fatan yang sedang sakit parah.
Puncak masalah bertambah pelik disaat Bulan malah mengalami Amnesia akibat sebuah kecelakaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sobri Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31 Anfal
Semua yang ada diruangan itu terlihat sangat bahagia hingga kedatangan seorang Dokter dan suster membuyarkan segalanya.
"Pagi, Fatan!"
'Pagi, Bu Dokter," jawab mereka bersama-sama.
Dokter tersebut tersenyum dan mulai sibuk merekam detak jantung Fatan lalu memeriksa apakah lambungnya kembung atau tidak.
"Bagaimana keadaan Fatan, apa masih lemas?" tanya Dokter tersebut, lembut.
"Sedikit, Dokter. Hanya saja tubuhku sakit-sakit," jawab Fatan jujur.
"Iya, tidak papa. Kita masukin lagi obatnya ya, mudah-mudahan berhasil seperti yang pertama." Bu Dokter meminta seorang asistennya menyiapkan keperluan yang dibutuhkan.
Angkasa yang jadi ngeri kebayang akan seseorang yang pernah berbaring di rumah sakit dalam keadaan kritis.
Astaga, bayangan apa tadi?
Cepat Angkasa sedikit menggeleng kan kepalanya agar tidak berdenyur sakit.
"Dok, seberapa parah sakit anak ini?" tanya Angkasa. Ia tidak ingin membiarkan Fatan sekarat karena terlambat mendapatkan pertolongan
"Sudah stadium 4, tapi untuk beberapa hari terakhir ini menurun menjadi 3. Mudah-mudahan semua baik-baik saja ya?" Sang Dokter mulai menyuntikan lagi obat kedua kedalam botol infus milik Fatan dengan jenis yang berbeda, lebih keras dari sebelumnya.
"Oke, Fatan yang tenang ya, berbaring saja. Takut tiba-tiba pusing." Bu Dokter menyarankan.
"Kalau begitu kami pergi dulu, Mas, Mbak. Hubungi kami jika menimbulkan gejala pusing, mual dan sebagainya!" pesan sang Dokter sebelum pergi.
"Baik, Bu," jawab Bulan.
Bulan pun berinisiatif menyelimuti tubuh Fatan setelah dibantunya merebah ke ranjang.
"Fatan, cepet sembuh ya, dek!" Bulan mencium kening Fatan cukup lama.
"Kakak...!" Pandangan Fatan seakan mengabur.
"Kenapa, Sayang?"
"Penglihatan Fatan kok buram ya, terus tubuh Fatan dingin." Benar saja, brankar tempatnya tidur bergetar cukup kuat.
Menyaksikan itu BUlan dan Angkasa panik.
"Fatan, kamu baik-baik saja kan?" Bulan hampir menangis.
"Kak, Fatan kedinginan, tolong Kak!" Mata Fatan tampak menjulang keatas dan menambah kekhawatiran Bulan.
"Sweety, Fatan kenapa?" Bulan mencoba menenangkan Fatan namun Bulan terkejut ketika suhu tubuh Fatan yang tersentuh tangannya meninggi.
"Tenang, Sayang! cepat pencet tombol itu!" ujar Angkasa, karena posisi Bulan lebih dekat dari benda yang di maksud. Tombol tersebut berfungsi untuk memberitahukan Dokter jika pasien tengah mengalami sesuatu yang mengkhawatirkan.
Bulan benar-benar takut, tubuh anak laki-laki itu langsung mengejang hebat.
"Fatan, sadar, Dek. Kamu kenapa, Sayang?" Angkasa mencoba menepuk pipinya namun tidak mendapat respon sedang Bulan sudah sesenggukan tak berdaya.
"Fatan, jangan pergi, Dek. Kakak belum siap kehilangan kamu!" Bulan sudah tidak bisa berpikir singkron.
"Tenang, Sayang. Dokter akan menyelamatkan dia!" Angkasa merangkul pundaknya sampai beberapa Dokter masuk dan langsung menyuntikan sesuatu ke tangan Fatan.
"Sebaiknya, dia di bawa keruang ICU untuk mengecek apakan sakitnya tumbuh lagi atau tidak!" ujar kepala Dokter.
"Tapi, Dok. Adik saya baik-baik saja kan?" Bulan sangat kacau.
"Tenang, Mbak. Kami akan berusaha untuk menyelamatkan Fatan," jawab Dokter yang menyuntik Fatan tadi.
"Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Soal biaya saya yang akan menanggung semuanya," pinta Angkasa penuh pengharapan.
Sejenak Bulan menatap wajah Angkasa. Pemuda itu, selalu mampu menarik perhatiannya.
"Iya, Pak. Kami akan bekerja keras. Ayo, bawa brankar nya sekarang!" titah Dokter kepala itu selepas meyakinkan Angkasa dan Bulan pada ke dua orang perawat pria yang baru masuk.
Bulan dan Angkasa mengikuti keruangan dimana Fatan di bawa, disana lah beberapa Dokter bekerja keras memulihkan kondisi Fatan.
"Sweety, apa Fatan akan baik-baik saja?" Bulan tidak bisa menenangkan diri.
Angkasa menatap heran, Ia sangat bingung akan sikap Bulan yang sangat berlebihan padahal Ibunya tadi bilang anak itu ditolong Bulan di jalan.
"Sayang, kenapa kau cemas sekali? Bukankah dia hanya orang lain yang kau tolong?" Angkasa memilih bertanya langsung.
"Apa maksudmu, Angkasa? Dia itu hidupku," jawab Bulan sedikit meninggikan suaranya tanpa sadar, matanya fokus kearah pintu menantikan para Dokter keluar membawa kabar baik.
Meski otaknya penuh keingin tahuan akan perubahan mendadak sikap Bulan yang tiba-tiba kasar, Angkasa berusaha memaklumi. Bisa jadi karena Bulan terlalu panik.
"Iya, Maaf. Aku bukan tidak peduli," celoteh Angkasa kemudian hingga akhirnya Bulan menoleh dan baru mengerti akan tindakannya tadi.
"Maaf, aku tidak sengaja." Bulan mengakui kesalahannya dan kembali terisak-isak. "Sejak pertama kali melihatnya, aku sangat menyayangi Fatan. Oleh sebab itu, aku takut, Sweety."
Angkasa tidak tegaan, Ia segera menyeka air mata yang meleleh dipipi sang Istri. "Tidak papa, aku justru bangga denganmu. Anggap saja kita sedang latihan mengurus anak," ucapnya menggoda. Bulan yang mendengarnya jadi tertawa kecil.
"Kamu bisa saja, emang kamu sudah siap jadi seorang Ayah. Setiap malam akan begadang untuk menemaninya mengobrol?" Bulan balas bercanda.
"Tentu saja, aku tidak akan membiarkan mu kurang tidur untuk itu," jawab Angkasa, tanganya terus mengusap-usap pundak Bulan.
Beberapa saat berlalu, beberapa Dokter mulai keluar satu persatu dan terakhir adalah Dokter yang menangani Fatan.
"Ayo kita kesana!" Angkasa menarik Lengan Bulan menghampiri Dokter untuk menanyai keadaan Fatan.
"Bagaimana kondisi Fatan, Dok?" Bulan tidak bisa menyembunyikan perasaan takutnya.
Dokter perempuan tersebut nampak bersedih, sesekali menghela nafas panjang seakan tidak mampu menyampaikan apa yang ingin Bulan dengar
"Dok...!" Bulan meraih tangan Dokter itu. "Fatan baik-baik saja kan? dia belum meninggalkan, Dok...!"
Air mata Bulan semakin deras meluncur. Ia belum siap mendengar kemungkinan terburuk mengenai kondisi adiknya itu.
Dokter itu menggeleng. "Tidak, dia belum meninggal. Tapi sayang, Fatan koma, Mbak," ungkap Sang Dokter akhirnya. Mau tidak mau, Bulan harus mendengar ini.
Bulan memejamkan matanya, membiarkan bulu-bulu lentik memeras apa yang memaksa untuk terus keluar tanpa memberi jeda sedikit pun.
Angkasa merasakan kesedihan Bulan menarik tubuhnya kedalam pelukan. "Tenanglah, Sayang. Berdoa saja supaya Fatan sadar dan cepat sehat."
"Aku takut, Sweety. Dia terlalu berharga untuk aku." Bulan melepas pelukan Angkasa dan melihat keadaan Fatan melalui kaca yang menjadi minimatur di daun pintu.
"Fatan, cepet bangun, Dek. Kakak takut kehilangan kamu. Dengan tangan ini, Kakak membesarkan mu seperti seorang Ibu," ucap Bulan lirih. Angkasa hanya melihat dari kejauhan dan membiarkan sang istri menyendiri.
(Siapa anak itu? mengapa Sekar begitu khawatir? apakah istriku menyembunyikan sesuatu dariku?)
Angkasa mulai bertanya-tanya. Bila memang tidak ada hubungan dekat, mana mungkin Sekar akan histeris dan sangat takut kehilangan Fatan seperti sekarang ini. Ia akan menyimpan pertanyaan itu dan menunggu Bulan tenang terlebih dahulu.
"Terima kasih, Dok. Saya harap anak itu masih bisa diselamatkan!" kata Angkasa pada Dokter itu.
"Sama-sama, Pak. Sebenarnya kami ada saran untuk pengobatan Fatan, sebaiknya kita rujuk saja dia ke Singa pura. Aku ada rekan ahli pengobatan kanker. Siapa tahu, Fatan akan cocok dengannya."
"Iya, Dok. Saya akan melakukannya jika itu memang di haruskan," jawab Angkasa. Keduanya mengakhiri obrolan mereka, karena Dokter itu juga harus memeriksa pasien lainnya.