Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Realitas dan Pelukan Posesif
Begitu mereka kembali ke apartemen, Jae meminta waktu sendiri. Ia berdalih tubuhnya masih butuh pemulihan setelah fan meeting yang menguras energi. Leni, meski hatinya tidak sepenuhnya tenang, memilih mempercayainya. Ia menyiapkan teh hangat, memastikan lampu kamar redup, lalu membiarkan Jae menutup pintu.
Namun Jae sama sekali tidak beristirahat.
Begitu ia sendirian, ia membuka laptop, wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard—gerakan yang terlalu terlatih untuk seseorang yang sekadar aktor. Ini adalah kebiasaan lamanya, kebiasaan Echo yang pernah hidup sendirian, tersembunyi, dan waspada pada segala hal.
Ia masuk ke server internal pendaftaran fansign, menelusuri data satu per satu. Nama itu muncul di layar.
Kang Junho.
Hanya nama. Tidak ada foto jelas. Tidak ada alamat. Tidak ada riwayat media sosial. Tidak ada jejak pekerjaan. Tidak ada masa lalu.
Seolah pria itu baru saja muncul di dunia ini—dan hanya untuk satu tujuan.
Jae menyandarkan punggungnya ke kursi, napasnya berat. Sentuhan singkat di bahunya tadi kembali terasa nyata. Energi itu bukan energi manusia. Bukan Echo. Itu terlalu bersih, terlalu utuh, terlalu… berbahaya.
Dia bukan bagian dari dunia ini, pikir Jae. Dia penjaga batas. Atau pembuka jalan.
Dan yang lebih menakutkan: Jae tahu, jika pria itu mau, Leni bisa kembali ke dunianya hanya dengan satu keputusan.
Ketakutan itu merambat cepat, meremas dadanya.
Jae menutup laptop perlahan, lalu berdiri. Ia tidak boleh membiarkan Leni tahu. Tidak sekarang. Tidak pernah, kalau bisa.
Sejak malam itu, sesuatu berubah.
Jae menjadi lebih dekat—terlalu dekat.
Ia menelepon Leni berkali-kali saat Leni bekerja di laboratorium J-Cosmetic. Bukan untuk bertanya soal rapat atau hasil riset, hanya memastikan suara Leni masih terdengar normal, masih hangat.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya suatu sore.
“Baik,” jawab Leni sambil tertawa kecil. “Aku hanya sedang uji stabilitas serum. Kau kenapa menelepon lagi?”
“Aku hanya… ingin mendengarmu,” kata Jae ringan, terlalu ringan. “Suaramu membuatku tenang.”
Malam-malam mereka juga berubah. Jae selalu menarik Leni ke dalam pelukannya, lengannya melingkar kuat, seolah takut jika ia mengendur sedikit saja, Leni akan menghilang. Ia mencium rambut Leni berulang kali, menahan tubuhnya dekat, memancarkan energi perlahan, tanpa henti.
“Tidur yang nyenyak,” bisiknya. “Aku di sini.”
Dan ia benar-benar di sana—terjaga lama setelah Leni tertidur, menatap wajah perempuan yang dicintainya dengan campuran cinta dan ketakutan yang nyaris menyakitkan.
Leni merasakannya.
Awalnya ia menikmati perhatian itu. Setelah semua ketegangan sebelumnya, pelukan Jae terasa seperti pulang.
“Aku senang kau kembali begini,” kata Leni suatu pagi saat Jae memeluknya dari belakang di dapur, dagunya bertumpu di bahunya. “Aku sempat takut kau menjauh lagi.”
Jae mencium lehernya pelan. “Aku tidak ke mana-mana. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”
Jawaban itu seharusnya manis.
Tapi ada sesuatu di nada suara Jae—terlalu serius, terlalu dalam—yang membuat Leni diam sejenak.
Keraguan kecil mulai tumbuh.
Jae selalu jujur. Selalu frontal. Jika ia takut, ia biasanya mengatakannya. Tapi sekarang, ketakutan itu tersembunyi di balik sentuhan lembut, di balik ciuman, di balik perhatian yang berlebihan.
Dan setiap kali Leni mencoba mengungkit kejadian di fan meeting, Jae selalu menghindar.
“Pria di antrean terakhir itu,” kata Leni suatu malam, mencoba terdengar santai. “Dia membuatku tidak nyaman. Kau juga terlihat berbeda saat itu. Siapa dia?”
Untuk sesaat—hanya sepersekian detik—wajah Jae membeku.
Lalu senyum itu kembali, lembut dan menenangkan. “Hanya fan yang terlalu intens. Tidak penting.”
Jae menarik Leni ke dalam pelukan, mencium bibirnya, memutus percakapan sebelum sempat berkembang.
Leni membalas ciuman itu, tapi pikirannya tidak sepenuhnya ikut tenggelam.
Karena untuk pertama kalinya, ia merasa Jae bukan sedang bersembunyi darinya…
Melainkan sedang melindunginya dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dan itu membuat Leni takut.
Bukan karena ia ingin pergi.
Melainkan karena ia merasa—jika suatu hari nanti kebenaran itu muncul, cinta mereka akan diuji oleh pilihan yang tidak bisa dihindari siapa pun.