NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4

“Kecelakaan??? Kok bisa? Kapan dan dimana, pak?” seru Sangkara terkejut mendengar penjelasan dari kepala desa terkait dengan keluarganya. Desanya bukanlah desa besar, dan untuk kecelakaan di desanya sangatlah jarang terjadi. Walaupun ada itu hanya tersenggol motor atau kecelakaan tunggal karena tidak hapal jalanan desa yang berlobang.

Kepala desa terdiam sejenak. Dia yang sudah menyiapkan semua jawaban untuk segela pertanyaan yang akan mungkin di ajukan oleh Sangkara, mendadak menjadi blank. Karena tatapan tajam yang di layangkan oleh Sangkara.

“Di-di…”

“Dimana, pak?”

Pak kades tampak melirik dua sahabat Sangkara yang sejak tadi hanya memperhatikan serta menunggu jawaban dari kepala Desa. Namun, setelah tahu kepala desa melirik kearah mereka. Secara serentak mereka memalingkan wajah kearah lain. Berpura-pura tidak melihat pak kades.

“Di jalan raya dekat terminal, Kara,” jawab pak kades setelah menarik napas panjang.

“Di jalan raya, pak? Dekat terminal?” ulang Sangkara terus menatap mata pak kades dengan lekat.

“I-iya. Orangtua dan adek kamu terlalu senang mendengar ada yang kembali dari Jepang. Mereka mengira kamu juga ikut pulang. Dan saat nyebrang, mereka tidak hati-hati. Jadinya langsung ditabrak oleh truck pengangkut sayur.”

Sangkara tampak menganggukkan kepalanya, namun matanya tetap menatap lekat mata pak kades. Dia merasa apa yang dikatakan pak kades bukanlah kejadian yang sebenarnya. Ada sesuatu yang di tutupi oleh pak kades. Tetapi Sangkara tidak tahu apa itu.

“Dik, Rif, apa yang di katakan pak kades benar ya? Orangtua dan adek aku kecelakaan?” tanya Sangkara menoleh kearah dua sahabatnya.

Dika dan Arif saling tatap. Wajah mereka tampak ragu dan gelisah. Akan tetapi, setelah mendapatkan pelototan dari pak kades, keduanya langsung mengangguk kuat dan yakin.

“Be-benar, Kara. Orangtua kamu kecelakaan,” sahut Dika. ‘Eh, kejadian itu termasuk kecelakaan juga gak ya? kecelakaan bukan hanya di sebabkan oleh kendaraan bermotor kan?’ batin Dika bertanya sendiri.

“Oh, begitu…” lirih Sangkara. Wajah pemuda itu tampak sangat sedih dan terpukul menerima kenyataan jika orangtua dan adeknya sudah tiada. Dia menyampingkan semua kejanggalan dan keanehan yang dia rasa.

“Ka-kalau boleh tahu dimana makam keluarga aku?” tanya Sangkara.

“Di pemakaman desa, Kara. Kalau kamu mau ke sana, minta Dika dan arif temani kamu. Maaf, bapak tidak bisa ikut. Bapak harus menghadir acara di kelurahan,” jawab  pak kades. Lalu dia berpamitan, dan berjalan cepat meninggalkan perkarangan rumah Sangkara. Punggungnya terasa dingin, dia yakin saat ini Sangkara masih menatap tajam kearahnya.

Dika dan Arif mendekati serta menepuk pundak Sangkara, “ayoo! Kita temani kamu ke makam keluarga kamu!”

Dengan diantar dua sahabatnya Sangkara menuju pemakaman umum yang ada di desanya. Selama perjalanan menuju sana, dia merasa banyak mata yang menatapnya dengan berbagai macam tatapan. Ada tatapan iba, tatapan kasihan, tatapan kagum dan sebagainya. Namun semuanya dia acuhkan. Dia hanya ingin melihat dan mengujungi makam keluarganya saja.

“Ini makan keluarga kamu, Kara!” ujar Arif berhenti di depan tiga makam yang berdampingan.

Di batu nisan ketiga makam tersebut tertulis nama emak, abah dan adeknya. Lengkap dengan tanggal lahirnya serta tanggal meninggalnya juga.

Sangkara menarik napas, dan berjongkok di ketiga makam tersebut. Dia mengadahkan tangan, berdoa untuk ketiga orang yang dia sayangi tapi sudah mendahuluinya dalam menghadap Tuhan. Cukup lama Kara berdoa, hingga rintik hujan menghentikkan doanya.

“Kara…”

“Aku gak apa-apa kok! Aku hanya terkejut mengetahui keluarga aku telah tiada. Ternyata sudah lima tahun mereka pergi, tapi aku tidak tahu apa-apa!” ujar Sangkara. Dia sama sekali tidak menangis atau mengeluarkan air mata. Namun, dari sorot matanya jelas terlihat jika dirinya merasakan kesedihan, kehilangan, penyesalan, kecewa, semuanya menjadi satu. Dadanya pun terasa sesak, ingin meluapkan sesuatu tapi tidak bisa.

“Menangislah, Kara. Jika itu bisa buat kamu lega.”

Kara tersenyum tipis, sangat tipis. Kepalanya menggeleng, “ayo, kita pulang!” ajaknya kepada dua sahabatnya.

Sangkara berjalan terlebih dahulu. Jalannya sama seperti tadi, tegap dan gagah. Sama sekali tidak memperlihatkan kesedihan seperti orang pada umumnya. Arif dan Dika saling tatap melihat perubahan sahabatnya itu. Jika Sangkara yang dulu, mereka yakin Sangkara akan menangis atau mungkin  saja akan mengamuk. Tetapi, sepertinya waktu mengubah Sangkara, sahabat mereka itu.

‘Tidak, aku tidak akan menangis. Daddy bilang, menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Dari pada waktu aku habis untuk menangis atau bersedih, lebih baik aku gunakan mencari tahu apa sebenarnya terjadi pada keluarga aku. Apa yang di katakan oleh pak kades, sama sekali tidak bisa di percaya. Matanya tampak ragu, gelisah khas orang yang tengah berbohong.’

“Kar… Kara…! Hei, Sangkara!” seru Dika sambil menepuk pundak Sangkara.

“Eh, iya! Ada apa, Dik?”

“Kamu melamun? Dari tadi aku dan Arif panggilin kamu, tapi tidak di jawab.”

“Maaf, aku kayaknya kecapekan! Aku pulang dulu ya?”

Langkah Sangkara di tahan oleh Dika, “ikut ke rumah aku. Kamu istirahat dan makan dulu di rumah aku, baru balik ke rumah kamu.”

“Gak usah, Dik! Aku…”

“Ikut aja, nanti kita bantuin bersihin rumah kamu!” potong Arif. Dia membisikan sesuatu di telinga Sangkara, yang membuat Sangkara menganggukkan kepalanya dan mengikuti langkah kedua sahabatnya.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

“Kara, kita tahu kamu pasti merasakan kehilangan keluargamu. Tapi, kami minta jangan larut. Kamu bisa melanjutkan apa yang menjadi impian kamu dulu! Sama kayak aku dan Dika,” ujar Arif ketika mereka sudah selesai makan dan sekarang tengah duduk di balai bambu. “Kami berdua sudah punya usaha. Aku punya usaha kelontong, dan Dika udah buka bengkel. Tinggal kamu aja yang belum, Kara. Apa rencana kamu ke depannya? Apakah kamu akan tetap milih kuliah atau buka usaha kayak kami?”

Sangkara menghela napas panjang, “rencana aku, hanya ngin mencari orang yang sudah bunuh keluarga aku!”

“Hah??? Apa??? Maksud kamu apa, Kara?”

Bibir Sangkara membentuk senyuman tipis, “untuk apa aku kuliah? Untuk apa aku buka usaha? Jika tidak ada keluarga aku yang mendukung dan menikmati hasilnya?”

“Rif, Dik! Jika kalian jadi aku, apa yang akan kalian perbuat? Apakah kalian akan tetap buka usaha atau kuliah, sedangkan penyebab kematian keluarga kalian masih abu-abu? Aku bukan orang bodoh, yang serta merta percaya dengan apa yang dikatakan oleh kepala desa. Bukannya kalian juga tadi sempat di ancam oleh dia?”

Deg… Dika dan Arif langsung terdiam.

“Ki-kita…”

“Aku tidak minta kalian buka suara atau minta bantuan kalian! Aku Cuma minta jangan hentikan dan ganggu aku, jika nanti kebenarannya sudah terungkap! Aku permisi!”

“Kara! Sangkara!!!” teriak Arif dan Dika memanggil Sangkara  yang sudah berjalan jauh.

“Bagaimana, Dik? Kalau Sangkara tahu penyebab keluarganya meninggal gimana? Dia pasti nyalahkan kita dan semua warga!”

Dia menggelengkan kepalanya, “selagi kita berdua dan semua warga tutup mulut, Sangkara tidak akan tahu apa-apa, Rif! Lagian juga dia tidak bisa cari tahu kejadian yang sudah terjadi 5 tahun lalu. Mau tanya mana? Polisi saja gak tahu kasus ini kan?”

“Iya juga sih! Mudah-mudahan Kara gak tahu yang sebenarnya. Aaaah, entahlah, aku bingung!”

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Sementara itu, di dalam perjalanan pulang menuju rumah. Sangkara tampak berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Dia bicara dengan bahasa asing yang sama sekali tidak di mengerti oleh warga desa.

“Gracis. Espero con ilusion su llegada!”

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!