Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Lampu kamar itu redup, nyala lilin menebar kilau hangat yang bertolak belakang dengan tatapan Andrian yang dingin. Di meja kecil, dua gelas kristal menunggu, botol wine masih setengah penuh. Suasana beraroma parfum mahal dan sedikit rasa tegang.
"Tuan Zhou, mari kita makan dan minum, aku telah menunggu kesempatan ini cukup lama," kata wanita itu dengan menuangkan minuman itu gelas kosong.
Lulu tersenyum manis, matanya berkilau penuh harap. Ia mengangkat gelasnya seperti merayakan momen yang telah direncanakan lama — tetapi senyum itu menyimpan maksud. Andrian berdiri kaku sesaat, memerhatikan gerakannya dengan serius, menimbang setiap kata.
"Nona Fu, aku tidak menyangka caramu menyambutku sedikit istimewa," kata Andrian yang duduk di kursi begitu pula dengan wanita itu yang duduk berseberangan.
Andrian duduk dengan tenang, menata posisi jasnya agar tampak rapi. Ia berbicara tanpa melepas pengamatannya, setiap gerak Lulu dinilai oleh matanya yang tak mudah percaya.
"Panggil saja aku Lulu, lebih akrab. Kita sudah saling kenal selama satu tahun. baru kali ini ada kesempatan untuk berduaan denganmu," kata Lulu sambil bersulang.
Lulu mencondongkan tubuhnya sedikit, berusaha menampilkan keakraban yang lebih. Suaranya ringan, namun ada nada yang sengaja dibuat agar Andrian turun dari menara dinginnya. Gelas mereka bersentuhan — bunyi klak yang halus namun bermakna.
"Kebanggaanku karena ada kesempatan minum bersamamu," kata Andrian dejgan senyum.
Beberapa saat kemudian.
Warna di wajah Andrian berubah sedikit, kepalanya menunduk sejenak, napasnya terdengar lebih berat.
Lulu bangkit dari kursi dengan gerak selintas seperti burung yang mendekati mangsanya. Ia melangkah pelan mendekat, tangan menyentuh dada Andrian dengan lembut seperti menyentuh sesuatu yang rapuh, lalu menciumnya di dahi. Sentuhan itu seperti klaim halus—mendekat dan menuntut.
"Andrian, malam ini aku ingin kau bersamaku," ucap Lulu.
Kata-kata itu terucap manis namun tegas. Di suara Lulu ada nada permintaan sekaligus perintah terselubung, seakan malam ini harus menjadi miliknya. Andrian menoleh padanya. Ia menatap wajah cantik wanita itu dan kemudian mengendongnya ke atas kasur.
Dengan gerakan cepat nan dingin, Andrian mengangkat Lulu dan meletakkannya di ranjang. Lulu tertawa kecil, menanggapi kekasaran itu sebagai bagian dari permainan.
"Andrian, ternyata kau adalah pria yang tidak ada kesabaran," ujar Lulu.
"Ada wanita cantik di depan mata, mana mungkin aku ingin melewati kesempatan ini."
Andrian melepaskan dasi dengan gerak terlatih lalu mengikat tangan Lulu pada besi kasur.
"Kau suka main kasar?" tanya Lulu dengan mengoda. Nada Lulu menggoda, seolah menantang. Mata dan tubuhnya mengundang.
"Iya, sepertinya kau menyukainya, kalau begitu aku akan menuruti permainanmu." Andrian berdiri, senyum itu mengambang di bibirnya. Ia melangkah ke arah pintu, gerak tubuhnya penuh keputusan.
"Kau ingin ke mana?" tanya Lulu.
"Ada kejutan untukmu!" jawab Andrian yang membuka pintu tersebut.
Pintu terbuka — namun bukan kejutan romantis yang diharapkan Lulu. Di koridor dipenuhi kilatan kamera. Beberapa reporter sudah menunggu, ponsel mereka siap memotret setiap momen memalukan.
"Silakan masuk! Lakukan saja tugas kalian!" kata Andrian.
Sejumlah reporter memasuki kamar itu dengan langkah yang cepat.
Kane berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tenang, seolah semuanya sudah direncanakan.
Kekacauan pecah, kamera berdesing, suara-suara reporter memenuhi ruangan yang tadi terasa intim.
"Apa yang kalian lakukan, hentikan!" teriak Lulu.
Suara Lulu menggema, namun sulit melawan hiruk-pikuk media yang sudah lepas kendali. Tangisnya makin menjadi, langkahnya tak lagi punya kekuatan.
"Andrian Zhou, aku akan membunuhmu...," teriakan Lulu yang dari dalan kamar itu.
"Tuan, kali ini keluarga Fu pasti tidak akan berani lagi mencari masalah dengan anda," kata Kane yang mengikuti langkah atasannya.
"Demi mengurus wanita sialan ini, aku harus meninggalkan Beijing" jawab Andrian." Antar aku ke rumah sakit!"
"Apakah anda tidak sehat?" tanya Kane.
"Dia mencampur obat perangsang ke parfum, sialan," jawab Andrian yang menarik kancing krahnya.
Beberapa saat kemudian
Kane melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dari kursi belakang, Andrian tampak gelisah. Nafasnya tersengal, matanya memerah, dan tangannya mulai menarik kancing kemejanya satu per satu.
“Tuan, bagaimana kalau kita gunakan cara tercepat untuk menghilangkan efek obat itu?” tanya Kane hati-hati sambil melirik dari kaca spion.
“Apa itu?” suara Andrian terdengar berat.
“Wanita, Tuan. Di Paris banyak gadis muda yang bekerja di klub malam. Mereka masih baru, sebagian bahkan masih delapan belas tahun,” jawab Kane ragu-ragu.
Andrian mendengus dingin. “Kau sudah lama ikut denganku, tapi masih juga tak mengerti sifatku. Sepertinya aku terlalu baik padamu.”
“Tuan, maaf. Aku hanya takut efeknya akan menghancurkan tubuhmu. Sangat berbahaya kalau menahannya dan tidak melampiaskannya,” kata Kane penuh kekhawatiran.
“Bawa aku ke rumah sakit. Jangan banyak bicara,” perintah Andrian dengan nada tajam.
Satu bulan kemudian
Suara cambukan menggema dari ruang bawah tanah. Jeritan memilukan terdengar setiap kali cambuk itu mendarat di kulit Clara. Tubuhnya bergetar menahan sakit, darah mengalir di sepanjang punggungnya.
“Paman... tolong... aku mohon,” suara Clara lirih, penuh isak.
Namun James, pamannya, sama sekali tak menunjukkan belas kasihan. Tatapannya dingin seperti iblis. Di sudut ruangan, dua sepupu Clara, Jordy dan Jordan, berdiri sambil tersenyum puas. Sementara Bibi Shu hanya bisa menahan air mata, menggigit bibir agar tak berteriak.
“Aku mendapat kabar bahwa Andrian akan segera pulang,” kata James datar sambil melempar cambuknya ke lantai. “Kau harus kembali dan menggoda dia. Kalau gagal lagi... kau tahu akibatnya. Racun itu akan membunuhmu perlahan. Aku tidak akan memberimu penawarnya lagi.”
“Paman, selama ini aku sudah berusaha... tapi dia bukan pria yang mudah didekati,” kata Clara dengan suara serak, tubuhnya berlumuran darah, wajahnya pucat dan lemah.
“Sudah sebulan kau dikurung di sini, dan masih saja tidak berubah,” sela Jordy dengan tawa mengejek.
“Kali ini kesempatan terakhir. Jika kau gagal, kau akan mati dengan cara paling menyakitkan,” tambah Jordan dengan senyum dingin.
“Racunnya akan merusak organmu sedikit demi sedikit,” lanjutnya. “Akan menyebar ke seluruh tubuhmu sampai semuanya hancur dalam sebulan. Dokter mana pun tak akan bisa mendeteksinya. Kau akan mati perlahan.”
Clara terisak. “Kita adalah keluarga... mengapa kalian tega melakukan ini padaku?”
Jordan mendekat dan menepuk pipinya pelan. “Suamimu akan pulang minggu depan. Aku sudah dapatkan informasinya. Kalau kau gagal lagi, maka lebih baik kau mati.”
"Bibi Shu, besok pindahkan dia ke kamarnya, pastikan dia obati lukanya dan bersihkan badannya. Agar Andrian tidak jijik melihatnya!" perintah James.
Sesaat kemudian, mereka semua meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Clara yang terkulai di lantai, tubuhnya menggigil dan penuh luka.
“Nona!” seru Bibi Shu dengan tangis tertahan. Ia segera berlari menghampiri, lalu memeluk Clara yang hampir tak sadarkan diri.
“Bibi...” suara Clara lirih, serak dan bergetar. “Lebih baik aku mati saja. Aku tidak mau hidup lagi. Setiap hari aku harus menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Mereka juga memaksaku menelan obat perangsang itu... dan membuat tubuhku terbakar dari dalam. Aku... aku tidak sanggup lagi, Bibi...”
Tangisnya pecah, menggema di ruang dingin bawah tanah itu.
“Kenapa harus aku? Apa salahku... kenapa mereka tega melakukan ini padaku?”
Bibi Shu hanya bisa memeluknya erat, air matanya jatuh satu per satu ke bahu Clara yang penuh luka. Ia ingin menolong, tapi tak berdaya. Dalam hatinya, ia tahu—selama James masih berkuasa, tak ada jalan keluar bagi gadis itu.