Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa - 04
Pagi itu berselimut langit cerah, dengan matahari yang mulai menghangatkan bangunan-bangunan tinggi dan jalanan sibuk. Namun, di kompleks perumahan elit ini, suasana terasa lebih tenang. Gerbang tinggi berwarna putih berdiri megah,
Pagi ini Zira sudah berdiri di depan gerbang rumah Farah.Hari ini ia dan Farah berencana untuk mengurus dokumen S2 mereka di kampus lamanya. Baru saja jarinya ingin menyentuh bel seketika pagar besi perlahan bergeser, diikuti kemunculan seorang pria berseragam hitam.
Pak Moh — security yang bekerja dirumah Farah.
Pria paruh baya yang sudah bertahun-tahun mengabdi di rumah ini, menatap Zira dengan senyum familier.
"Mbak Zira..." sapanya dengan nada akrab.
Zira mengangguk kecil, membalas senyuman pria paruh baya itu. "Assalamualaikum, Pak."
"Waalaikumsalam Mbak Zira," jawab Pak Moh. “Sudah dari tadi Mbak?” tanyanya kembali.
Zira mengeleng dan berucap.“Baru kok pak.”
Pak Moh tertawa kecil “Ya sudah, masuk aja Mbak, Non Farah ada di dalam."
Zira mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk. Tapi belum sempat benar-benar masuk ke halaman, suara klakson mobil menggema, membuat Zira menghentikan langkahnya.
Dari garasi keluar BMW putih. Kaca mobil perlahan turun, memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan rambut sebahu berwarna blonde. Kacamata hitam bertengger di hidungnya, bibirnya yang dipulas lipstik merah terkatup rapat.
Zira menunduk sedikit, menghormati wanita itu. "Assalamualaikum, Tante."
Tatapan Rina tajam, menelisik Zira dengan dingin. Raut wajahnya mengeras, seolah kedatangan Zira adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.
Alih-alih menjawab salam Zira, Rina bertanya.
"Ngapain kamu di sini?" tanpa basa-basi, nada suaranya mempertegas ketidaksukaan.
Zira menelan Salivanya, lalu tersenyum meski sedikit kaku. "Ada janji sama Farah, Tante."
Rina menyipitkan mata, memperhatikan Zira dari ujung kepala hingga kaki, lalu berkata dingin, "Ingat, jangan ngajakin Farah yang aneh-aneh."
Zira tersenyum samar. "Iya, Tante. Saya mengerti.”
Zira mundur selangkah memberi jalan BMW putih yang tumpangi Rina melaju keluar dari pelataran rumah. Setelah Rina berlalu, Zira menarik napas panjang, berusaha menenangkan dadanya. Sikap Rina kepadanya memang selalu seperti ini. Dan ia tahu alasannya.
Dulu, Zira lah yang menyeret Farah masuk ke dunia malam, berpesta, alkohol bahkan menjauh dari Tuhan. Tetapi kini, Zira sudah berubah, Ia meninggalkan dunia kelam itu sejak menikah dengan Rayyan.Sayangnya, Farah sahabatnya masih disana.
Hal itulah yang membuat rasa bersalahnya kian menumpuk. Sudah berbagai cara ia lakukan untuk membawah sahabatnya kembali tapi tetap saja nihil.Satu-satunya cara ia membersamai Gadis itu agar tidak semakin jauh terjerumus kemaksiatan.
__
Setelah mendapat izin dari Mbok Ina—ART dirumah Farah, Zira menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar Farah berada. Tangannya mengetuk pintu kamar beberapa kali, memberi salam tapi tidak ada jawaban lalu dengan pelan ia mendorong pintu yang ternyata tak dikunci.
Begitu masuk, pemandangan yang ia lihat membuatnya beristighfar. Ruangan itu kacau.
Pakaian berserakan di lantai, botol-botol kosong tergeletak di meja, bau parfum bercampur alkohol masih samar di udara. Tirai jendela tertutup rapat, membuat kamar itu terasa lebih suram dari seharusnya.
Zira berjalan mendekati Farah, tangannya menutup hidung dan mulut karena bau alkohol yang begitu menyengat. “Astagfirullah, Farah,” ucap Zira
Di atas ranjang, Farah tertidur pulas, tubuhnya terbungkus selimut, wajahnya setengah tenggelam di bantal.
Zira duduk di pinggir tempat tidur, lalu menepuk pelan pipi Sahabatnya. "Fa... bangun."
Tidak ada reaksi dari Farah. Hanya terdengar dengkuran halus.
Zira mengernyit, lalu menepuknya lagi, kali ini lebih keras. "Fa... Faa, bangun. ASTAGIRULLAH!”
Farah menggeliat pelan, lalu merengut. "Hm... apa sih,” keluhnya dengan suara serak.
Zira mendecak. "Bangun! Kamu lupa kita harus urus dokumen S2 hari ini?"
Farah menggeram kecil, menarik selimutnya lebih erat. "Baru juga jam berapa, Ra..."
Zira menyentil pelan jidat Zira. “Buka mata.Lihat jam, udah mau jam sepuluh, Fa!"
Farah mengintip ke arah jam dinding, lalu mendengus malas. "Baru juga jam segitu..." Ia membalikkan badan, kembali memejamkan mata.
Zira membelalak. "Hah?! Terserah kamu deh. Aku berangkat sendiri aja."
Mendengar itu, Farah langsung membuka matanya lebar-lebar. "Iya, iya!"
Zira tersenyum tipis, merasa menang.
Dengan malas, Farah akhirnya bangkit dari tempat tidur, menyeret langkah menuju wardrobe.
***
Ruang administrasi kampus terasa penuh sesak. Mahasiswa berlalu lalang dengan map-map tebal, suara printer berdengung tanpa henti, dan pendingin ruangan tidak cukup kuat untuk mengusir gerah. Farah berdiri di dekat meja resepsionis, menggenggam erat map biru di tangannya. Map itu berisi semua dokumen penting yang ia butuhkan untuk mengurus pendaftaran S2 di Università IUAV di Venezia, Italia.
"Selamat siang, Mbak," sapanya Farah.
"Saya ingin mengurus legalisasi dokumen untuk keperluan studi lanjut di luar negeri."
Petugas resepsionis memandangnya sambil tersenyum. "Baik, dokumen apa saja yang perlu dilegalisasi?"
Farah membuka map birunya, menyerahkan dokumen-dokumen satu per satu. "Ini ijazah S1 saya, transkrip nilai yang sudah diterjemahkan, surat rekomendasi dari dosen, dan sertifikat IELTS. Semuanya akan saya gunakan untuk mendaftar program Magister Arsitektur di Venezia."
Petugas mulai memeriksa dokumen-dokumen itu sambil mencatat sesuatu di komputer. "Kalau boleh tahu, kenapa memilih IUAV Venezia?"
Farah tersenyum kecil. "Kampus itu salah satu kampus impian saya Mbak. Saya yakin mahasiswa arsitektur seperti saya pasti memimpikan studi di sana."
Petugas mengangguk dan tersenyum. "Semoga di Lancarkan ya. Kalau untuk dokumennya tampaknya sudah lengkap. Tinggal proses legalisasi saja."
"Baik Mbak, terima kasih,” jawab Farah
Petugas menyerahkan tanda terima sambil tersenyum ramah. "Prosesnya mungkin akan memakan waktu beberapa hari. Kami akan menghubungi kalau sudah selesai."
Farah mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ia melangkah keluar dari ruang administrasi dengan perasaan lega, meski tahu perjuangannya masih panjang. Baginya, Venezia bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga simbol dari mimpi dan . harapannya untuk masa depan di bidang arsitektur
Farah mengedarkan pandangan mencari sosok Zira ternyata gadis itu sudah lebih dulu selesai.
Farah akhirnya menghampiri Zira yang kini sudah duduk di kursi ruang tunggu.
"Gimana? Udah selesai?" tanya Zira, memastikan.
Farah mengangguk kecil, "Aman. Tinggal nunggu info selanjutnya dari petugasnya aja."
"Alhamdulillah," ujar Zira, tersenyum tipis.
Tanpa banyak bicara, mereka berdua berjalan keluar dari gedung administrasi. Udara siang ini cukup menyengat. Keduanya bergegas menuju parkiran, Farah membuka pintu mobil dan segera menyalakan AC begitu duduk di balik kemudi.
Keduanya menghela napas bersamaan saat hawa sejuk menerpa wajah mereka.
Saat mobil mulai keluar dari area kampus, Zira melirik Farah sekilas sebelum membuka suara.
"Gimana soal perjodohan kamu sama Bang Azzam?" tanyanya.
Farah mendengus kecil, matanya tetap fokus pada jalan di depan. "Nggak gimana-gimana. Tentu batal dong.”
Zira menaikkan sebelah alisnya, menatap Farah dengan sorot skeptis. "Kamu yakin?"
"Hm." Farah mengangguk, ekspresinya menyakinkan.
Zira menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada. "Aku sih nggak yakin, ya…"gumamnya dengan nada menggoda.
Farah menoleh sekilas, alisnya berkerut. "Gimana-gimana Ra?"
Zira hanya menggeleng pelan, tetap mempertahankan ekspresi misteriusnya. "Nggak pa-pa. Nggak usah kamu pikirin."
Farah mendengus, tapi tak bertanya lebih jauh. Ia kembali fokus pada jalan di depannya.
***
Di dalam sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut keramaian, aroma kopi baru diseduh bercampur dengan wangi kentang goreng yang menguar lembut. Suara saxophone yang mengalun di pengeras suara menyelimuti ruangan dengan ketenangan yang kontras dengan riuhnya kehidupan di luar. Kafe itu tak terlalu penuh, namun cukup ramai untuk menyembunyikan percakapan pelan dua perempuan di sudut yang paling sunyi.
Farah duduk dengan kepala bersandar pada meja kayu yang dingin, matanya terpejam, tubuhnya tampak kelelahan, seolah kehabisan tenaga untuk sekadar bergerak. Di seberangnya, Zira menatap sahabatnya, menyeruput jus jeruk sambil mengamati dengan tatapan penuh selidik. Di meja mereka, sepiring kentang goreng yang sudah dingin tergeletak tak tersentuh.
"Kenapa, lesuh amat Neng?" Tanya Zira.
"Nggak pa-pa,” jawab Farah pelan tanpa membuka mata. "Ngantuk aja. Kepala aku berat banget."
Zira mengerutkan alisnya, memiringkan kepala sedikit. "Ngantuk? Kamu mabuk lagikan semalam?".
Farah membuka matanya perlahan, menatap Zira dengan senyum tipis. "Nggaklah, kamu mikirnya negatif terus Ra."
"Karena itu fakta," balas Zira dengan cepat, nada bicara kali ini lebih serius. "Kapan mau berhenti mabuk-mabukan, Fa? Itu nggak cuma ngerusak tubuhmu, tapi juga hidup kamu. Kamu sendiri tahu kan? Asam lambung kamu juga sering kambuh."
Farah memutar gelas jus jeruknya perlahan. "Kamu tahu sendiri, Ra. Cuma itu yang bisa bikin aku lebih tenang dan lupain semuanya, ya … meskipun cuma sebentar," jawabnya
Zira menarik napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak melontarkan kata-kata yang bisa memperburuk keadaan. "Fa... masih banyak cara lain. Kamu bisa coba cara yang nggak merusak diri kamu sendiri. Kamu bisa sho___
"Ra…" Potong Farah. Matanya menatap Zira tajam. "Jangan pernah paksa aku buat yakini apa yang kamu percaya."
"Fa, kamu tahu aku ngomong kayak gini karena aku peduli. Aku pernah ada di posisi kamu. Aku tahu rasanya kecewa sama dunia, sama manusia." Zira mencoba lagi, suaranya kali ini lebih lembut .
Farah mendengus,lalu tertawa. "Kamu nggak ngerti, Ra. Kamu cuma kehilangan kedua orang tua. Itu sedih, wajar. Aku? Aku harus ngeliat Papa dihancurin sama Mamaku, Ra. Dia selingkuh, bawa laki-lakinya ke rumah. Depan mata Papa. Dan dampak dari itu abang gue meninggal."
Suasana di meja mereka berubah begitu berat. Zira bisa merasakan sakit yang begitu dalam pada setiap kata yang keluar dari mulut Farah. Dan meskipun ia tahu Farah sedang berusaha menahan diri, Zira tahu bahwa luka itu tidak akan pernah sembuh jika Farah terus melawan.
"Fa, kamu kecewa sama manusia. Kenapa harus lampiasin ke Allah?" Zira mencoba meredam kebencian itu.
Farah mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca. "Udah, ah. Bosan Aku denger ceramah kamu,Itu-itu aja.”
Zira menggeleng pelan, bibirnya tertutup rapat, seakan menahan kata-kata yang ingin ia ucapkan. Ia tahu Farah keras kepala, dan lebih dari itu, ia tahu sahabatnya itu takut menghadapi kenyataan yang ada di depan mata.
"Zira..." Suara bariton tiba-tiba mengalihkan atensi mereka.
Farah dan Zira menoleh bersamaan. Di sana, berdiri Rayyan —- suami Zira, dengan Azzam disampingnya.
Zira langsung berdiri, menyambut Rayyan dengan senyum hangat, “Mas, kok disini?" Meraih tangan suaminya mencium pungung tangannya.
Rayyan mengulas senyum, lalu berkata, "Nih, bapak Ceo minta di temenin.” Rayyan melirik Farah serta mengangguk. “Kok nggak kabari kalau mau kesini, bisa barengan tadi.”
"Nggak direncanain, Mas." Jawab Zira,
Rayyan menoleh ke pria di sampingnya. "Mas, kesana dulu ya. Pak ceo sudah tidak sabar, mau ketemu pujaan hati."
Farah menatap Azzam. Azzam menatapnya kembali, tatapan mereka saling bertaut untuk beberapa detik.Hingga Azzam mengalihkan pandangan pada wanita mudah berjilbab maron yang menunggunya di sudut kiri cafe tersebut.
Farah mengikuti arah pandang Azzam, lalu berucap pelan. “Cih. Dasar buaya kutub.”
Sontak ucapan Farah mengalihkan atensi ketiganya. Rayyan terkekeh geli sementara Zira menegang tatkala Azzam maju selangkah mendekati Farah.
Dengan wajah datarnya Azzam berucap. “ Sepertinya kamu memang sangat mengingikan menjadi istri saya.”
Mata Farah membulat sempurna. “Najis. Amit-amit.”
Azzam menyunggingkan bibirnya. “Saya pastikan kamu, Faradanila Al Jannah akan menjadi istri saya,” ucap Azzam dan berlalu meninggalkan mereka bertiga.
“Haii, manusia kutub. Dengar ya … aku nggak mau jadi istri kamu … woii…” teriak Farah, mampu mengalihkan atensi seisi cafe.
***
Maafkan typo bertebaran. Jangan lupa ,like komen dan subcribe.
serta follow juga Authornya.
Kamshammida .