NovelToon NovelToon
REVENGE

REVENGE

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Jmn

Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bangkit

"El... ingat, jangan percaya pada siapa pun."

"Ayah... ayah... ayah!"

"Hah... hah..."

Elina terbangun dengan napas memburu. Tubuhnya basah oleh keringat, bulir-bulir dingin menetes dari pelipis. Dadanya naik turun tak beraturan, sementara suara tangisnya masih terpantul samar di dalam benaknya.

Krek... Pintu kamar terbuka. Evan muncul dengan wajah panik, langkahnya cepat menghampiri ranjang.

"El... Kamu nggak apa-apa? Kamu mimpi buruk?" tanyanya lembut. Suaranya bergetar, jelas sekali ia ikut cemas. Dari ruang kerjanya, Evan mendengar teriakan Elina hingga langsung berlari ke kamarnya tanpa pikir panjang.

"I-iya, Om..." jawab Elina pelan, suaranya masih bergetar.

Tanpa menunggu, Evan meraih bahunya dan memeluknya erat. "Tenang ya, itu cuma bunga tidur. Semua udah berakhir. Kamu aman sekarang."

Elina diam, hanya mengangguk lemah. Matanya melirik ke arah jam dinding. Jarum panjang sudah jauh melewati angka tiga. "Astaga... ini sudah sore. Maaf, Om... El ketiduran."

Evan melepaskan pelukannya perlahan, menatap wajah pucat Elina. "Nggak apa-apa. Tidur kamu tadi nyenyak sekali, Om nggak tega bangunin. Tapi sekarang kamu harus, makan ya. Kamu udah melewatkan makan siang, dan Om nggak terima penolakan."

Nada suaranya lembut tapi tegas, seolah tak memberi ruang untuk alasan.

Mau tak mau Elina mengangguk. Hatinya hangat, meski hati berat. Baginya, Evan memang bukan ayah kandung—bahkan tak punya hubungan darah—tapi ia sudah menganggapnya keluarga.

•●•

Di meja makan, suasana terasa hening. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring, mengisi ruang kosong di antara mereka. Evan sesekali melirik Elina, memastikan gadis itu makan meski lahapnya tak seberapa.

“Besok kamu mulai latihan,” ucap Evan tiba-tiba, kali ini tanpa menoleh.

Elina mengangkat wajahnya sebentar, lalu menunduk lagi. “Iya, Om,” jawabnya singkat.

Evan meletakkan sendoknya, menatap Elina lebih serius. “El, boleh nggak... jangan panggil saya ‘Om’? Kita beda umur cuma tujuh tahun.” Ucapannya disertai senyum tipis, nada seperti setengah memohon.

Elina spontan terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Aku sudah nyaman panggil Om. Rasanya aneh kalau ganti.”

Evan hanya menghela napas, namun senyumnya tetap ada. “Dasar keras kepala.”

•●•

Setelah meninggalkan kediaman Evan, Elina tak langsung pulang. Langkah kakinya justru membawanya ke arah sebuah bukit kecil yang tak jauh dari rumah itu. Senja mulai turun, langit berwarna jingga keemasan, burung-burung kembali ke sarang. Bukit itu masih sama seperti dulu—sepi, hanya angin yang berdesir, membawa aroma tanah dan rumput basah.

Elina berdiri di puncak, memandang ke arah horizon. Ingatannya langsung menyeretnya pada masa kecil. Di sinilah ayahnya sering mengajaknya bermain, kadang hanya duduk sambil memandangi kota dari kejauhan. Suara tawa ayahnya, genggaman hangat tangannya, semua kembali terasa jelas seolah baru kemarin.

“Ayah…” bisiknya lirih, matanya berkaca-kaca. Ia meraih dada kirinya, menahan sesak yang terus menghantam. “Maafkan El… kalau saja El nggak maksa Ayah pulang waktu itu, mungkin Ayah masih ada di sini.”

Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Angin sore menyapu pipinya, seakan ikut mengusap kesedihan yang tak pernah selesai. Elina berlutut di tanah, meremas rumput hijau di bawah tangannya.

“Tapi El janji, ayah… El nggak akan diam saja.” Suaranya semakin tegas, meski bergetar. “Orang yang udah ngambil Ayah dari El… orang itu akan bayar. Dengan tangan El sendiri.”

Ia mengusap air matanya kasar. “Om Evan nggak boleh tahu. Siapa pun nggak boleh tahu. El sendiri yang bakal cari tahu siapa yang tega bunuh Ayah. El sendiri yang bakal tuntut balasannya.”

Tatapannya mengeras, penuh tekad. Bukit yang tadinya terasa sunyi kini menjadi saksi sumpah seorang anak. Elina bangkit berdiri, menatap lurus ke langit yang mulai gelap.

“Mulai hari ini… El nggak akan jadi anak yang lemah lagi.”

Angin berhembus kencang, seolah menyambut tekad barunya. Di balik kesedihan yang dalam, lahir api balas dendam yang tak bisa padam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!