Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pisau di Tangan yang Salah
Matahari perlahan merosot di ufuk barat, meninggalkan jejak semburat oranye yang membara di langit yang mulai kehilangan cahayanya. Jalanan tampak sepi, hanya beberapa orang berlalu-lalang. Bayangan panjang dari pepohonan dan gedung tua di sekitar restoran merayap ke tanah, menciptakan nuansa yang semakin gelap dan dingin.
Aurora melangkah keluar dengan santai. Rambut hitam panjangnya yang sedikit bergelombang berayun tertiup angin sore, memantulkan cahaya redup matahari yang tersisa. Dari luar, dia tampak tenang dan anggun. Namun, busana yang ia kenakan—pakaian terbuka dan ketat—menjadi tantangan besar di jalanan yang sunyi seperti ini.
Tak jauh di belakangnya, sekelompok pria mulai berjalan mengikuti. Tatapan mereka liar, langkah kaki mereka sengaja diperlambat, memastikan jarak mereka tetap menguntit. Wajah kotor, pakaian berantakan, dan senyum menyeringai itu cukup untuk memberi sinyal bahaya.
Aurora berhenti sejenak. Sebuah kegelisahan tiba-tiba merayapi dirinya. Ia baru sadar—ia tersesat. Aura, jiwa yang baru saja memasuki tubuh Aurora di hari pertamanya transmigrasi, sama sekali tidak tahu alamat rumah yang harus dituju. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Untung saja, di ponselnya sudah ada titik lokasi rumah yang ditandai di peta daring. Dengan terburu-buru, ia menekan ikon itu, mencari rekomendasi kendaraan untuk pulang.
Namun, fokusnya pada layar ponsel membuatnya tidak sadar akan bahaya yang semakin mendekat. Aurora memang seorang introvert yang selalu mencari tempat sepi untuk menenangkan diri. Celakanya, sifat itu kini menjadi kelemahan—celah yang sempurna bagi sekelompok pria bejat untuk bergerak.
Saat Aurora mengangkat pandangan dari layar ponsel, bulu kuduknya meremang. Dunia seakan membeku sesaat. Dari segala arah, beberapa pria sudah berdiri melingkar, menutup jalannya. Mereka tampak seperti kawanan serigala lapar yang baru saja menemukan mangsanya.
"Gadis cantik, kau mau pulang kemana? Mau kakak antar?" ujar salah satu dari mereka, dengan senyum menjijikkan. Tangannya yang kotor dan kasar terulur, mencoba menyentuh dagu Aurora.
Aurora spontan mundur, berusaha menghindar. Namun langkahnya justru membuat tubuhnya bersentuhan dengan pria lain di belakangnya. Lingkaran itu semakin rapat. Ia benar-benar terkepung.
---
'Saya sudah menganalisis gadis itu akan terkena masalah! Analisis saya tidak mungkin salah!' batin Aditya. Dari kejauhan, ia berjongkok di balik tempat sampah besar, matanya tajam mengamati setiap gerakan. Tubuhnya tegang, otaknya bekerja cepat. 'Haruskah saya maju sekarang? Tapi itu akan—'
Sebelum sempat menyelesaikan pikirannya, suara lantang Aurora meledak, memecah udara sore yang semakin pekat.
"Hinokami Kagura!"
Suara teriakan itu diiringi pekik kesakitan dari para pria yang mengepungnya.
Aditya tersentak. Ia langsung mengintip dari balik tempat sampah. Matanya membulat, nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Aurora—yang selama ini ia kira hanya wanita penuh drama—berdiri dengan tatapan membara. Tangannya menggenggam sebuah kayu bekas pembangunan, mengayunkannya dengan kekuatan mengejutkan. Dentuman kayu menghantam tubuh para preman, membuat mereka meringis kesakitan. Satu per satu, mereka tersungkur, terhuyung mundur, berusaha menahan serangan brutal yang datang bertubi-tubi.
Aurora bergerak cepat, penuh determinasi. Setiap ayunan kayunya bukan hanya penuh tenaga, tetapi juga keberanian yang jarang ditemui. Di bawah langit senja yang semakin kelam, bayangan tubuhnya seolah menari—sebuah tarian perlawanan yang tak terduga.
Aditya terdiam sesaat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Aurora yang benar-benar berbeda.
---
Aurora mengacungkan sebatang kayu panjang, seolah benda itu adalah pedang yang siap menebas siapa saja yang berani mendekat. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh peringatan. Nafasnya sedikit terengah, namun tubuhnya tetap tegak berdiri menghadapi kawanan pria itu.
"Menjauh dariku! Atau aku akan memukuli kalian semua lagi hingga patah tulang!"
Suara lantangnya memecah udara senja. Namun bukannya takut, para pria itu justru terbahak-bahak. Suara tawa kasar mereka bergema di gang sempit itu, menambah kesan mengerikan.
Satu per satu mereka mulai mengeluarkan senjata. Pisau panjang berkilat, celurit berkarat, cutter kecil, hingga kunci Inggris besar yang tampak berat di genggaman. Senjata tajam itu berkilau redup diterpa cahaya lampu jalan yang mulai menyala.
"Gadis cantik mau mematahkan tulang kami? Benarkah? Kami takut sekali!" ejek salah satu dari mereka, sebelum akhirnya tawa mereka semakin keras, seolah mengolok-olok keberanian Aurora.
Melihat jarak perbedaan kekuatan yang begitu besar, Aurora akhirnya mengangkat kedua tangannya. Kayu di genggamannya jatuh berdebam ke tanah. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun lebih mirip sebuah topeng yang menutupi pikirannya yang berputar cepat.
"Kakak-kakak, aku hanya bercanda tadi. Tolong jangan membalas perbuatanku, ya! Kita damai, oke?" katanya dengan nada ringan, seolah menyerah begitu saja.
---
Di kejauhan, Aditya menggertakkan gigi. Tangannya terkepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Rahangnya menegang, keringat dingin membasahi pelipisnya.
'Ini sudah sangat keterlaluan! Penggunaan senjata tajam saja sudah ilegal! Ini apa lagi digunakan untuk melawan satu orang wanita muda. Ini pengeroyokan!'
Tubuhnya refleks bangkit, siap untuk terjun ke tengah keributan itu. Namun sesaat kemudian ia kembali berjongkok, menyembunyikan dirinya di balik bayangan gelap. Dadanya berdegup kencang. Ada dorongan kuat untuk melindungi, tapi rasa ingin tahu mengalahkan semuanya.
'Apa yang akan dilakukan gadis itu? Bagaimana cara dia keluar dari situasi ini?'
---
"Gadis cantik akhirnya mengerti posisinya juga!" ucap salah satu pria sambil melangkah maju. Tangannya yang kasar langsung mencengkeram dagu Aurora dengan paksa, membuat wajahnya terangkat menatap wajah kotor pria itu. Bau rokok dan alkohol menusuk dari napasnya.
"Baiklah, kakak tidak akan menyakitimu. Asalkan cium kakak di sini!" Pria itu menepuk pipinya sendiri dengan sombong, mengundang sorakan riuh dari kawanannya.
"Ayo cium!"
"Cium!"
"Cium!"
Teriakan mereka bergema, semakin keras, semakin menyesakkan.
Aurora tersenyum tipis, wajahnya dibuat seolah malu-malu. "Ah, baiklah. Aku akan cium," katanya dengan nada lembut, penuh kepura-puraan.
Sorakan meledak. "Wooo!" Semua pria itu bersorak girang, yakin mangsanya sudah jinak.
Aurora perlahan mendekat. Bibirnya yang merah merona semakin dekat dengan pipi pria itu. Ketika jarak tinggal sejengkal—bukan bibir yang bergerak, melainkan tangan dan kakinya yang meledak cepat seperti sambaran petir.
Dengan gerakan sigap, tangan kanannya merebut pisau dari genggaman pria itu, sementara kakinya menghantam telak selangkangan lawannya. Tendangan keras itu tepat mengenai testis, membuat tubuh pria itu melengkung kesakitan.
"Argh!" jeritannya melengking, tubuhnya roboh ke tanah, berguling sambil memegangi selangkangannya.
Kawanannya panik. "Bos, kau baik-baik saja?" Mereka berhamburan ke arahnya.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Aurora. Ia segera melesat, berlari sekencang mungkin melewati gang yang remang. Nafasnya memburu, langkah kakinya menjejak keras di aspal.
"Bos, perintahmu?!"
"Tangkap dia!" teriak pria yang kesakitan, suaranya parau tapi penuh amarah.
Aurora terus berlari, namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Di hadapannya, beberapa mobil patroli polisi melintang, lampu rotator merah-biru berputar, menerangi wajahnya yang pucat dan penuh keringat.
Aurora membeku. Di belakangnya masih ada kawanan preman, sementara di depan, para polisi keluar dengan tatapan curiga. Di tangannya, masih tergenggam pisau yang baru saja ia rebut. Sementara di belakang, seorang pria berguling kesakitan, mengerang dengan wajah memerah.
Dari sudut pandang siapa pun yang baru datang, pemandangan itu sangat jelas. Seorang wanita muda dengan senjata tajam, seorang pria kesakitan memegangi selangkangan, dan segerombolan saksi yang bisa dengan mudah membalikkan fakta.