Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.
Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.
Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!
Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Noda Tak Kasat Mata
Pertanyaannya yang terakhir bergema di udara yang basah, lebih dingin dari hujan gerimis yang menusuk kulitku.
"Mengapa jiwamu... berbau seperti ularku?"
Otakku berhenti bekerja. Seluruh rencana, seluruh strategi, seluruh topeng dingin yang telah kubangun dengan susah payah semuanya hancur berkeping-keping di hadapan satu pertanyaan yang mustahil itu.
Dia tahu. Entah bagaimana, monster ini tahu. Dia bisa melihat sesuatu dalam diriku, sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa melihatnya. Sesuatu yang seharusnya tertinggal di masa depan dan terkubur bersama dengan terpenggalnya leherku.
Rasa takut yang murni dan primal, seperti yang kurasakan saat bilah pedangnya turun di kehidupanku yang lalu, kembali mencengkeramku.
"Anda... Anda pasti salah, Yang Mulia!" Satu-satunya jawaban yang bisa keluar dari mulutku hanyalah jawaban gagap.
Aku tidak menunggu jawabannya. Aku berbalik, menarik tangan Lila yang menungguku di depan kereta kuda, aku mengabaikan kebingungannya, dan praktis melarikan diri dari sana. Aku tidak berjalan. Aku lari. Aku lari dari tatapannya yang seolah bisa mengupas jiwaku lapis demi lapis. Aku lari dari pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.
Di dalam kereta, aku bersandar di kursi, tubuhku gemetar hebat. Aku bisa merasakan tatapan cemas Lila padaku serta lirikan kusir yang penasaran, tapi aku tidak bisa menghiburnya maupun memberi pembenaran apalagi penjelasan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mencoba bernapas.
Tarik.
Hembus...
Tarik.
Hembus...
Tidak ada gunanya.
Aku masih bisa merasakan berat jubahnya di bahuku. Aku masih bisa mencium aromanya. Aroma kulit dan logam dingin. Seolah-olah aroma itu telah meresap ke dalam pori-pori kulitku, menodai diriku selamanya.
"Nona, Anda gemetar hebat," bisik Lila. "Pria tadi siapa? Apa yang dia katakan pada Anda?"
"Tidak ada," jawabku cepat, suaraku serak. "Aku hanya kedinginan."
Bohong.
Aku tidak kedinginan. Aku merasa kotor. Sangat kotor.
Seolah dia telah menyentuhku di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun, di bagian terdalam dari diriku, dan meninggalkan jejak ularnya di sana.
Saat kami tiba di kediaman, aku langsung berlari ke kamarku, mengabaikan panggilan Lila. Aku membanting pintu dan menguncinya.
Aku menatap pantulanku di cermin. Wajahku pucat, mataku melebar karena teror. Aku merobek gaunku, kain sutra yang mahal itu terasa seperti kain karung yang gatal dan menjijikkan.
Aku berlari ke baskom porselen dan menyiram wajahku dengan air dingin, menggosok kulitku dengan kasar seolah mencoba menghilangkan noda yang tak kasat mata.
Tapi itu tidak hilang. Perasaan itu, aromanya, kata-katanya, smuanya masih ada, merayap di bawah kulitku.
Putus asa, aku memanggil para pelayan dan memerintahkan mereka menyiapkan air panas untuk mandi. Aku menuangkan setengah botol minyak mandi beraroma mawar ke dalam bak, berharap aroma bunga yang kuat bisa mengusir bau logam yang menghantuiku.
Aku memerintahkan mereka semua keluar, tidak ingin dimandikan. Aku merendam diriku dalam air yang masih panas. Aku menggosok lenganku, bahuku, leherku, sampai kulitku memerah dan perih.
Aku menenggelamkan kepalaku, membiarkan air panas itu membakar kulit kepalaku, seolah mencoba membersihkan pikiranku dari suaranya, dari pertanyaannya, dari segala tentangnya.
Semakin aku mencoba untuk membersihkan diri, semakin aku merasa kotor. Aku sudah menggosok kulitku sampai perih, tetapi aroma itu seolah menempel di jiwaku. Bukan di kulit. Aku berhenti, menyadari bahwa ini bukan pertempuran yang bisa dimenangkan dengan air dan sabun.
Sebuah tanda kepemilikan yang tidak kuingat pernah kuberikan.
Klausul primitif?
Apakah ini salah satu klausul primitif yang pernah kudengar dalam cerita lama? Sebuah sihir kuno yang mengikat jiwa?
Dasar bajingan!
Benar-benar bajingan!
Jadi itu sebabnya dia merasa tidak perlu bersusah payah mengingat nama istri-istrinya?
Aku duduk terdiam di dalam bak mandi yang airnya mulai mendingin. Keputusasaan yang dingin mulai menggantikan rasa panik. Apa yang bisa kulakukan? Bagaimana aku bisa melawan musuh yang bisa melihat rahasia terdalamku, rahasia yang bahkan tidak kuketahui?
Aku kalah.
Sebelum perang yang sesungguhnya dimulai, aku sudah kalah. Dia telah menandai diriku. Aku akan selamanya menjadi rusa yang berbau seperti ular.
Bahkan jika aku menjadi rubah atau singa sekalipun. Bauku akan tetap seperti ular.
Lalu, sesuatu dalam diriku terbalik. Bara api. Api kemarahan.
Ketakutan itu terbakar oleh api kemarahan. Dia pikir dia bisa mengklaimku? Setelah semua yang dilakukannya?
Siapa dia hingga berani mengklaim jiwaku? Siapa dia hingga berani menandai diriku seolah aku adalah salah satu propertinya?
Dia adalah pria yang sama yang membunuhku tanpa belas kasihan. Pria yang sama yang menghancurkan kebahagiaanku. Pria yang sama yang berkonspirasi untuk menghancurkan keluargaku.
Dia pantas mati lebih dari siapapun di dunia ini.
Diam dan kalah?
Tidak.
Tidak akan.
Bara api itu tumbuh menjadi kobaran api yang membakar. Rasa takutku terbakar habis, digantikan oleh amarah yang dingin dan membeku.
Dia pikir dia bisa membuatku merasa takut? Dia pikir dia bisa membuatku merasa kotor dan tak berdaya?
Dia salah.
Akan aku pastikan dia salah!
Dia tidak menandai diriku untuk kehancuran. Dia baru saja memberiku alasan yang paling pribadi untuk menghancurkannya.
Ini bukan lagi tentang menyelamatkan keluargaku. Ini bukan lagi tentang mengubah masa depan. Ini tentang merebut kembali jiwaku. Hidupku. Kebebasanku.
Aku bangkit dari bak mandi dengan tekad baja. Dengan janji pada diri sendiri.
Aku melihat pantulanku di cermin besar yang beruap. Wajahku masih pucat, tapi mataku kini menyala dengan api yang berbeda. Bukan api ketakutan, tapi api kebencian yang murni dan berbahaya.
Dia ingin melihat ular? Akan kutunjukkan padanya seekor ular putih berbisa.
Aku akan menjadi ular putih itu.
Ular putih sempurna yang akan meracuninya sampai mati!
Tok Tok Tok!
Saat itulah terdengar ketukan di pintu. "Nona Elira," panggil suara Lila. "Sebuah undangan resmi dari Istana Kerajaan baru saja tiba."
Aku membungkus diriku dengan jubah mandi dan membuka pintu. "Berikan padaku," ujarku dingin.
Lila menunduk untuk menghormatiku kemudian menyerahkan sebuah amplop tebal berlapis emas dengan segel kerajaan di atasnya.
Undangan untuk Pesta Dansa Musim Panas tahunan. Acara sosial terbesar musim ini. Tempat di mana seluruh bangsawan penting akan berkumpul.
Tempat di mana singa, rubah, dan ular akan berada di dalam satu ruangan yang sama.
Aku memegang undangan itu, buku-buku jariku memutih. Ini bukan lagi undangan ke sebuah pesta. Ini adalah panggilan ke medan perang. 10 Juli, Sempurna.
Pesta Dansa Kerajaan. Panggung yang sempurna, pikirku, sebuah senyum dingin terukir di bibirku untuk pertama kalinya malam itu.
Anda ingin tahu mengapa jiwa saya berbau seperti ular milik Anda, Marquess? Datang dan cari tahu sendiri. Mari kita menari. Mari kita lihat kaki siapa yang diinjak-injak di akhir lagu.