Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Musibah datang
Hari berlalu tanpa sedikit pun Nayna menyapa Aksara yang mencuri pandang ke arahnya. Dia tak menggubris ketika Tania terus menggodanya.
"Nay, udah, gas aja. Aksara itu terkenal jadi kulkas sejak pertama kali masuk sini. Banyak cewek yang ngaku-ngaku jadi pacarnya, termasuk si Melda itu. Tapi nggak ada satu pun yang berhasil bikin dia takluk, yang ada mereka justru kena mental sendiri karena dicuekin terus. Dan sekarang, kamu sampai dilirik bahkan dipandang dia lho, Nay. Ini suatu peningkatan. Mungkinkah si gunung es itu akan mencair karena seorang murid baru? Yang jelas, Melda bakal semakin bikin perhitungan sama kamu, Nay. Dia terkenal tukang bully sejak SMP. Dulu kita bareng satu sekolah dan aku mantan korbannya," tutur Tania panjang lebar. Sementara suasana kantin mulai ramai dengan berbagai obrolan dari para pengunjung.
Benar saja, di sisi lain, Melda cs tengah mengawasi gerak-gerik Nayna dan Tania. Tatapan benci tergambar jelas di wajah ber-make up dengan rambut panjang tergerai.
"Lo nggak bakal aman di sini, dasar kampungan!"
Melda mengepalkan tangan, napasnya memburu, hidungnya juga kembang kempis menahan gejolak emosi yang bergelut dalam hati.
Nayna dan Tania beranjak pergi, keduanya berjalan melewati koridor di mana Melda cs bersembunyi. Dengan satu gerakan kaki, Melda sukses membuat Nayna jatuh tersungkur, sedangkan Tania sudah dicekal oleh 'anak buah' Melda yang siaga di dekatnya.
"Heh lo anak baru, nggak usah belagu ya. Lo pikir, lo paling cantik di sini? Keganjenan, lo kira Aksara suka sama lo? Nggak usah mimpi! Kalian berdua emang pantes temenan ... sama-sama udik, kampung!" Melda menendang tubuh Nayna yang masih diam di posisi awal. Tania berulang kali meronta, namun cekalan beberapa tangan membuatnya tak bisa berkutik, bahkan lengannya kini terlihat merah karena terkena kuku mereka yang panjang.
"Udah, Mel. Ada guru, cepet kabur!"
Tangan Melda ditarik paksa meninggalkan lokasi, tapi dia masih sempat menginjak telapak tangan Nayna hingga gadis itu meringis kesakitan.
Tania segera berlari menghampiri Nayna setelah dilepas oleh para penjagalnya.
"Nay, kita ke UKS, biar diobatin di sana. Emang mereka nggak punya hati, bener-bener nggak berubah sejak dulu." Tania menggeram marah, lalu membawa temannya ke UKS, tanpa tahu adanya sebuah tangan memegang ponsel yang kembali ditarik ke balik dinding.
*
Di rumahnya, Rahmat terpekur di ruang tamu menghadap beberapa berkas yang berserakan di atas meja. Siti yang baru saja pulang dari warung, merasa keheranan melihat raut wajah suaminya.
"Yah, Ayah kenapa? Ada apa?"
Wanita itu meletakkan barang belanjaan di lantai, lalu duduk di samping Rahmat. Tangannya meraih selembar kertas yang tak jauh dari jangkauan.
"Maksudnya apa, Yah?" gumam Siti, matanya masih mengamati barisan kata dan angka yang tertera di sana. Rahmat menghela napas, lalu meraih kertas di tangan istrinya.
"Uang toko dibawa kabur, Bu. Sementara tagihan air dan listrik belum dibayar juga beberapa upah karyawan."
Siti menatap suaminya dengan kening berkerut, "Pak Cahyo? Bukannya dia yang bertanggung jawab atas semua ini?"
Rahmat mengangguk lesu, dia membalas tatapan istrinya dengan mata berkaca.
"Maafkan aku, Bu. Kurang hati-hati memilih partner kerja, aku juga mengabaikan saranmu waktu itu untuk tidak memilih Cahyo sebagai tangan kananku. Aku pikir, karena kita sudah lama berkawan, dia tak akan tega berbuat seperti ini." Rahmat menunduk, kepalanya dipenuhi angka-angka yang tak sedikit.
Diam-diam, Siti menghela napas, menatap puncak kepala suaminya yang mulai terlihat helai perak di beberapa sisi.
"Ya sudah, Yah. Toh sudah kejadian, mau gimana lagi? Kita cari cara untuk bayar itu semua. Kasihan para pekerja, mereka cari nafkah demi keluarganya. Aku masih ada simpanan perhiasan, itu bisa dijual untuk upah mereka, Yah." Siti mengusap punggung suaminya, dan tanpa diduga, Rahmat bergerak memeluk sang istri dengan isak tangis yang tak mampu dibendung lagi.
"Bu, maaf, aku minta maaf sudah membuatmu merasakan ini semua. Maaf kalau aku belum bisa jadi suami yang baik untukmu, Bu."
Siti menggeleng lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir Rahmat, "nggak usah ngomong gitu, Yah. Kita suami istri, sudah sepantasnya saling dukung, saling menguatkan."
Mereka berdua membenahi berkas di meja, lalu beranjak masuk. Sementara Siti segera mengeluarkan kotak hitam miliknya.
"Ayo kita ke toko emas, Yah. Semoga saja ini semua cukup."
Rahmat tersenyum namun hatinya bagai teriris melihat barang simpanan sang istri harus rela dilepas demi kepentingan bisnisnya.
**
Di gerbang sekolah, Nayna sudah berdiri ditemani Tania, menunggu jemputan datang. Mereka berbincang ringan, sambil menikmati sebungkus snack di tangan Tania.
"Hai, Nay. Balik bareng aku yuk, dari pada nungguin jemputan lama. Yuk, tapi kamu aja, dia nggak usah, nggak muat."
Kedua gadis itu menoleh, menatap Sandy dengan si merah kesayangannya. Dia mengulurkan sebuah helm ke arah Nayna lalu menepuk bagian belakang jok motor.
"Nah, mau di sini, apa di sini?" Sandy juga menepuk bagian depan sambil tertawa.
"Makasih, aku duluan." Nayna bangkit kala melihat sang ayah datang, sementara Tania melirik tajam ke arah Sandy sebelum akhirnya menyusul pergi kala kakaknya semakin mendekat.
Oh, jadi itu bokapnya? Keliatannya nggak galak sih, apa perlu ke rumahnya bawa martabak? Ah, masih jam segini, ngapain buru-buru balik.
Sandy menyalakan mesin motornya lalu melaju mengikuti ke mana bapak dan anak tadi pergi.
Di perjalanan, Nayna merasa ada yang berbeda dengan sang ayah. Saat ditanya, laki-laki itu hanya diam seakan pikirannya tengah penuh dengan berbagai persoalan.
"Yah, hati-hati, awas!" pekik Nayna saat motor mereka hampir menabrak sebuah gerobak es cendol.
"Astaghfirullah!"
Rahmat justru menabrak trotoar di samping kiri, membuat putrinya terjatuh. Dia cepat turun dan beranjak memeluk Nayna untuk menenangkan. Setelahnya, dia segera menghampiri laki-laki tua penjual es yang berdiri tak jauh dari mereka dengan tubuh gemetar.
"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf." Rahmat berulang kali membungkukkan badan lalu menggenggam tangan keriput itu yang masih sedikit bergetar.
Dari arah mereka datang, sebuah motor sport berwarna merah berhenti lalu pengendaranya turun dan berlari menghampiri Nayna yang duduk di tepi trotoar. "Nay, kamu nggak papa?"
Nayna menoleh kaget, Sandy ada di sana dengan wajah khawatir. Namun, gadis itu tetap tak merespon, dia kembali mengurut pergelangan tangannya yang masih terasa sakit, akibat diinjak Melda ditambah menjadi penopang tubuhnya saat terjatuh tadi.
Setelah selesai dengan penjual es, Rahmat menghampiri putrinya dengan kening berkerut. Siapa, dia?
Pria itu memanggil anaknya, dan mereka menoleh bersamaan. Tatapan Rahmat tertuju pada sepasang mata laki-laki yang tengah bersimpuh di depan putrinya.
"Kamu siapa?"
Rahmat menatap dingin, terlebih saat melirik Nayna yang seakan tak peduli dengan laki-laki di hadapannya.
"Oh iya, Om. Kenalin, saya Sandy, temen sekelas Nayna. Tadi kebetulan saya lewat dan melihat Nayna di sini," terangnya dengan raut wajah meyakinkan.
Rahmat hanya mengangguk tanpa membalas uluran tangan Sandy, lalu membantu putrinya bangkit dan berlalu begitu saja.
Sementara Sandy menatap kepergian anak dan bapak itu dengan senyum kecut.
Ternyata sama aja judes. Buah jatuh sepohon-pohonnya ini mah, nggak kebayang gimana emaknya di rumah. Hihh.
Sandy bergidik ngeri, lalu kembali tancap gas dan memutar arah menuju rumah. Dia mengurungkan niat untuk mengikuti Nayna dan bertamu ke sana.
Kapan-kapan aja deh, jiwa ragaku belom siap sepenuhnya. Apalagi kalau sampai ditolak.
***