Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi pasangan hidup
Langkah Tasya terasa gontai ketika keluar dari ruang praktik Tante Bella. Matanya masih sembab, tapi ia berusaha menarik napas dalam-dalam, mencoba menata hati yang baru saja porak-poranda.
Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit sampai akhirnya tiba di taman kecil di sisi gedung. Udara pagi yang masih lembap, aroma rumput basah, dan suara burung yang samar-samar terdengar membuat suasana sedikit menenangkan. Tasya duduk di bangku taman, membiarkan punggungnya bersandar dan menatap kosong ke arah langit.
Tangannya meraih ponsel di dalam tas. Butuh waktu lama sampai akhirnya ia memberanikan diri menekan nomor Revan. Begitu tersambung, suara di seberang terdengar jelas.
"Halo, Sya?" suara Revan, tenang tapi ada nada khawatir yang sulit ia sembunyikan.
Tasya menelan ludah, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. "Revan … aku izin nggak masuk kerja. Aku nggak enak badan. Tolong sampaikan ke tim, ya?"
Revan terdiam sejenak, seolah menimbang sesuatu. "Kamu yakin cuma nggak enak badan?" tanyanya pelan.
"Ya … cuma itu. Aku butuh istirahat," jawab Tasya cepat, meski suaranya terdengar goyah.
"Baiklah. Kamu istirahat yang banyak, jangan dipaksa kerja," ucap Revan akhirnya.
"Thanks, Revan," balas Tasya, lalu menutup telepon sebelum emosinya pecah lagi.
Ia menatap layar ponselnya yang gelap, lalu menghela napas panjang. Air mata hampir tumpah lagi, tapi ia buru-buru menyekanya. Ia tidak ingin terlihat terlalu rapuh.
Yang tidak Tasya sadari, dari kejauhan, seorang pria berdiri di balik bayangan pohon besar. Revan.
Sejak tadi, ia memperhatikan Tasya. Melihat bagaimana bahunya merosot, bagaimana cara gadis itu memandang langit dengan mata kosong, dan bagaimana tangannya gemetar saat memegang ponsel.
Revan mengepalkan tangannya di saku celana, berjuang menahan diri agar tidak langsung menghampiri. Bagian dirinya ingin berlari ke sana, memeluk Tasya, mengatakan bahwa ia tidak sendiri. Tapi ia tahu, Tasya sedang berusaha keras menjaga jarak darinya.
Revan masih berdiri di balik pohon besar itu, matanya tak lepas dari sosok Tasya yang duduk dengan bahu merosot. Gadis itu terlihat begitu rapuh, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja. Revan menahan napas, berusaha keras agar kakinya tidak melangkah maju.
"Revan …"
Suara lembut dan penuh kehangatan terdengar di belakangnya. Revan menoleh cepat, mendapati ibunya berdiri dengan wajah letih, mengenakan jas putih yang jadi identitasnya sebagai dokter.
"Mama …" suara Revan serak, "Mama dari tadi di sini?"
Bella mengangguk pelan, lalu melangkah mendekat. "Iya. Mama lihat kamu terus memperhatikan Tasya dari jauh."
Revan memalingkan wajahnya, menatap kosong ke arah taman. "Aku nggak bisa, Ma. Lihat dia kayak gitu … nangis sendirian. Rasanya dada aku mau pecah. Tapi kalau aku dateng, aku takut dia makin ngindar."
Bella menghela napas panjang, sorot matanya ikut berkabut. "Nak, Mama tahu kamu hancur. Mama juga ikut sedih … bukan cuma karena Tasya pasien Mama, tapi karena Mama tahu kamu peduli sama dia lebih dari sekadar rekan kerja."
Revan menunduk, rahangnya mengeras. "Aku cuma pengen dia nggak merasa sendiri, Ma. Tapi aku nggak tahu gimana caranya. Kalau aku terlalu dekat, dia dorong aku pergi. Kalau aku jauh … aku takut dia nggak punya siapa-siapa."
Bella menepuk bahu putranya dengan lembut. "Kadang, Revan, sayang sama seseorang itu bukan soal seberapa keras kamu berusaha ada di sisinya. Tapi tentang seberapa rela kamu menunggu sampai dia mau membuka diri. Percayalah, kehadiranmu aja sudah lebih berarti daripada yang kamu kira."
Revan mengatupkan mata, menahan perasaan yang makin menyesak. Ada air bening yang hampir jatuh, tapi ia cepat menyekanya dengan punggung tangan. "Aku takut, Ma … aku takut banget kehilangan dia."
Bella menahan air matanya sendiri, lalu menarik Revan ke dalam pelukan hangat seorang ibu. "Kamu nggak sendirian, Nak. Kita sama-sama jagain dia. Mama janji."
---
Langkah Tasya masih terasa berat meski wajahnya sudah ia paksa untuk tersenyum. Ia mematut diri sebentar di depan kaca lift rumah sakit, merapikan rambut yang agak kusut. Ponselnya sudah ia selipkan kembali ke dalam tas.
Hari ini, entah kenapa, ia merasa ingin bertemu papanya. Mungkin karena hanya dengan papanya, ia bisa sedikit merasa aman.
Beberapa jam kemudian, Tasya tiba di gedung perkantoran tinggi tempat papanya bekerja. Aroma kopi bercampur pendingin ruangan langsung menyambutnya begitu memasuki lobby. Seorang resepsionis mengenalnya dan segera menyapa ramah.
"Selamat siang, Mbak Tasya. Mau bertemu Pak Tian?"
Tasya tersenyum tipis. "Iya, boleh tolong hubungkan?"
Tak lama kemudian, ia sudah diantar ke ruang kerja sang papa. Tian Handoko tengah sibuk menandatangani berkas-berkas, tapi begitu melihat putrinya masuk, wajahnya langsung melunak.
"Anastasya? Wah, kejutan nih. Bukannya kamu kerja?" tanyanya sambil melepas kacamata.
Tasya mendekat, memeluk papanya sebentar. "Aku … lagi nggak enak badan, Pa. Jadi tadi izin. Terus kepikiran mau makan siang sama Papa."
Arman menatap wajah anaknya yang pucat, tapi ia memilih tidak bertanya lebih jauh. "Tentu saja boleh. Papa senang banget kamu datang. Kamu mau makan di luar, atau kita pesan ke sini aja?"
"Makan di luar, Pa. Aku pengen suasana beda," jawab Tasya, berusaha terdengar ceria.
Arman tersenyum hangat. "Baiklah, ayo kita keluar. Sekalian Papa bisa rehat sebentar."
Mereka berjalan berdampingan keluar kantor. Tasya sesekali melirik papanya, menimbang apakah ia harus cerita soal kondisi kesehatannya atau tidak. Tapi setiap kali tatapan mata sang papa yang penuh kasih itu menemuinya, ia hanya bisa menggigit bibir dan menahan kata-kata.
Untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati waktu makan siang berdua, pura-pura semuanya baik-baik saja.
---
Restoran bernuansa elegan itu cukup ramai siang ini. Lampu gantung kristal berkilau, aroma steak yang baru matang memenuhi udara, dan musik jazz pelan mengalun dari speaker. Tasya berjalan di samping papanya, berusaha menenangkan hatinya yang sebenarnya masih rapuh.
Mereka baru saja duduk di meja dekat jendela besar ketika suara yang sangat familiar terdengar.
"Selamat siang, Pak Tian …"
Tasya sontak menoleh, matanya langsung membesar. Di depan mereka, dengan kemeja putih rapi dan senyum yang terlalu tenang untuk situasi ini, berdiri Revan.
"Revan?" gumam Tasya, kaget.
Tian, sang papa, justru tersenyum hangat. "Eh, Revan. Kebetulan sekali. Kamu sendirian?"
Revan mengangguk kecil. "Iya, Pak. Tadi ada meeting di dekat sini, jadi sekalian makan siang."
Tasya sudah ingin menolak sebelum semua semakin canggung, tapi Tian justru menepuk kursi kosong di sampingnya. "Gabung aja sekalian. Biar makan siang kita lebih ramai."
"Papa …" Tasya mencoba protes pelan, tapi Tian sudah berdiri, memanggil pelayan untuk menambah kursi.
Revan pun duduk. Sejenak, suasana meja terasa tegang. Tasya sibuk menunduk, menusuk-nusuk makanan dengan garpu tanpa selera. Sementara Revan tetap menjaga sikap, sesekali menatap Tasya, tapi lebih sering berbicara sopan dengan Tian.
Sampai akhirnya, di tengah obrolan ringan, Revan meletakkan garpu dan pisaunya perlahan. Tatapannya bergeser ke Tian dengan keseriusan yang jarang sekali terlihat.
"Pak Tian …" suara Revan terdengar mantap, tapi ada sedikit ketegangan. "Saya ingin bicara sesuatu. Sesuatu yang penting."
Tasya spontan menoleh, jantungnya berdetak panik. "Revan …" bisiknya, hampir memohon agar ia diam.
Namun Revan justru menegakkan badan, menatap Tian lekat-lekat.
"Saya, dengan segala hormat, ingin meminta izin Bapak untuk bisa mendampingi Tasya. Saya ingin menjadi pasangan hidupnya."
Suasana meja mendadak sunyi. Tasya membeku, garpu di tangannya hampir terlepas. Tian terdiam, jelas kaget dengan keberanian itu. Sementara Revan tidak mengalihkan pandangan, meski ada sorot gugup di balik matanya, tapi juga ketulusan yang tak bisa disangkal.
TO BE CONTINUED