Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditikung dalam diam
"Ustadzah Asha!" teriak seseorang dari arah belakang.
Dengan cepat Asha menyeka air matanya, kemudian berbalik melihat siapa yang memanggil namanya. Saat ia berbalik, dapat dilihat olehnya 3 orang ustadz berada di belakang nya.
"Labaik?" jawab Asha dengan ramah.
"Sendirian aja pulangnya? Gak minta jemput ustadzah Naira atau ustadzah Rayna?" tanya Ustadz Fahmi.
"Oalah gak usah, lagian deket juga kan," ujar Asha menjawab pertanyaan ustadz Fahmi.
"Yaudah kalo gitu kita anter aja, sekalian kita mau ambil kipas rusak di Banat," timpal ustadz Nael.
Asha mengangguk, kemudian berjalan lebih dulu. Matanya masih sembab akibat menangis barusan, padahal dirinya masih ingin menangis, tapi ia merasa malu jika harus menangis didepan ketiga ustadz yang dikenal sangat konyol itu.
"Kalo boleh tau, tadi ustadz Alam ada keperluan apa ya?" tanya ustadz Dafa pada Asha.
"O-oh itu, cuman ngasih beberapa arahan buat acara penutupan pesantren kilat," bohong Asha, ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya dicurigai memiliki hubungan dengan ustadz Nael kan?
"Trus kenapa nangis? Emangnya beliau ngasih arahan sambil mukulin ya dzah?" gurau ustadz Fahmi, niatnya ingin membuat Asha tertawa sedikit, namun tak ada reaksi apapun dari Asha.
"Sedih aja Ramadhan udah mau selesai," balas Asha datar, kemudian mempercepat jalannya.
Sakan Banat
Langkah Asha akhirnya sampai di depan pintu sakan Banat. Malam sudah larut, namun denyut di dadanya justru makin terasa keras. Di belakangnya, masih berdiri tiga ustadz muda yang tadi menemani kepulangannya dari kantor Ustadz Alam. Di antara mereka, Ustadz Nael tampak paling gelisah, meski ia berusaha menyamarkannya dengan ekspresi datar.
Asha menoleh, menunduk sedikit kepada ketiganya sambil mengucapkan,
"Jazakumullahu khairan,"
Ustadz Fahmi mengangguk sopan, Ustadz Dafa membalas dengan senyum kecil, tapi berbeda dengan Ustadz Nael yang malah menatap Asha. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang seolah belum selesai.
Saat tangan Asha hendak menyentuh gagang pintu, suara Nael memecah keheningan. Membuat Asha ragu sejenak, apakah ia harus menjawab perkataan Nael atau ia abaikan.
"Ustadzah Asha… Beliau pasti tanya tentang ada hubungan apa diantara ustadzah Asha sama saya kan?" ucap ustadz Nael, membuat kedua temannya melirik ke arahnya.
Langkah Asha terhenti. Tubuhnya membeku sejenak, tak langsung menoleh. Nael menunduk sebentar, lalu menghembuskan napas pendek sebelum melanjutkan perkataan yang tertunda sejenak.
"Lain kali, kalo ditanya tentang hal itu lagi, bilang aja sama beliau 'Sekarang kita masih rekan kerja. Tapi… siapa yang tahu ke depannya bakal gimana?'" lanjutnya.
Kali ini Asha menoleh perlahan. Senyum yang tersungging di bibirnya bukanlah senyum bahagia, melainkan senyum yang ditarik paksa demi sopan santun. Tatapannya tenang, tapi tak bisa menyembunyikan luka yang terlalu sering ditekan.
Ia menatap Nael sesaat sebelum menjawab, kemudian berkata..
"Bukan cuman itu,"
"Trus apa?" tanya Nael penasaran.
"Beliau… Datang kerumah, minta izin ke orangtua saya buat khitbah.” jawab Asha.
Hanya itu. Ringkas tapi cukup untuk membuat Ustadz Nael terdiam, bahkan wajahnya tampak kehilangan warna sesaat. Matanya mencari-cari makna dari ucapan itu, tapi Asha tak memberinya kesempatan lebih lama.
Asha tak menunggu tanggapan. Ia segera membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam, membiarkan ketiganya berdiri dalam diam. Pintu menutup perlahan di belakangnya, menyisakan suara engsel yang seperti ikut mengunci segala pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh Nael.
Nael menatap pintu itu lama, bibirnya terkatup rapat.
Dalam diamnya, hanya satu hal yang ia sadari. Kadang, diam seseorang bukan karena tak ingin bicara, tapi karena terlalu banyak yang ingin disimpan rapat.
Ustadz Fahmi dan Ustadz Dafa saling menatap, sama-sama menyimpan keterkejutan setelah mendengar penuturan Asha yang singkat namun penuh makna. Kalimat itu masih terngiang jelas di telinga mereka ''minta izin ke orangtua saya buat khitbah.'
Tatapan mereka pun beralih ke Nael, yang kini berdiri membatu di bawah cahaya temaram teras. Ekspresinya tak bisa disembunyikan lagi. Antara terkejut, bingung, dan barangkali… hancur. Ia menatap kosong ke arah pintu yang telah tertutup, seolah berharap Asha akan kembali membukanya dan berkata bahwa semua tadi hanya gurauan Asha saja.
Fahmi berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana, meskipun ia sendiri pun masih tercengang. Siapa yang tidak terkejut, niat hati ingin mendatangi pelaminan Asha dan Nael itu ternyata terhalang oleh duda tua.
"Jadi... tua bangka itu udah sampe ke rumahnya ustadzah Asha?" bisiknya pelan pada Dafa.
Dafa mengangguk mengiyakan, ia sebenarnya juga bingung bagaimana menjelaskannya, namun perkataan singkat Asha tadi cukup mudah dimengerti untuk kalangan mereka yang sedikit loading.
"Gila ya! bener-bener gak punya rasa malu!" geram Fahmi, terlebih saat teringat kembali wajah sembab Asha tadi.
Keduanya kembali menatap kearah Nael, kemudian merangkul bahu ustadz Nael yang tetap pada posisinya, hingga suaranya mengejutkan ustadz Nael.
"Woi! Malah bengong, kesurupan baru tau rasa!" ujarnya.
Nael tak menjawab, matanya kosong menatap pintu yang sudah tertutup. Dafa pun ikut-ikutan menatap Nael, lalu melambai di depan wajahnya.
"Ohoii Nael! Masih nafas kan? Kalo enggak biar ane bantu doa qunut Nazilah tiap malem, biar masuk surga," guraunya, dan hal itu berhasil menyadarkan Nael dari lamunannya.
"Bener-bener gak nyangka, padahal ane baru mau izin ke dia buat datengin orangtuanya, eh malah keduluan sama atasan." gumamnya yang dapat terdengar oleh kedua temannya.
"Makanya Nael, lain kali kalo suka sama orang langsung bilang aja. Kan repot kalo udah dicuri orang startnya, mana ni orang mainnya curang lagi, gak sesuai aturan perkhitbahan!" seru Fahmi.
"Bener tuh, ane curiga dia pake cheat kode biar sat set langsung minang Asha." imbuh Dafa dengan semangat.
"CTRL + ALT + KEPEDEAN!" tambah Fahmi dengan nada bercanda.
Mereka akhirnya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. Meskipun Nael sendiri masih enggan untuk tertawa.
"Udahlah tunda dulu galaunya, kita ambil dulu kipas rusak disana," ucap Dafa menunjuk kearah samping sakan Banat.
Akhirnya mereka bertiga berjalan ke samping sakan Banat. Suasana di sekitar sudah mulai sepi, hanya terdengar suara jangkrik dan suara orang-orang yang masih tilawah di masjid.
Setelah mengambil kipas rusak untuk mereka service besok, mereka pun meninggalkan sakan Banat segera, karena dikhawatirkan adanya fitnah dari para tetangga sekitar. Selagi menyusuri jalanan sekitar, ketiganya masih membahas bagaimana tidak tahu malunya ustadz Alam.
"Berani banget dia punya niatan khitbah tanpa tanya dulu gimana pendapat ustadzah Asha, semua harus nurut apa kata dia, termasuk ustadzah Asha yang harus nurut pas dia khitbah, amit-amit!" kata Dafa meluapkan kekesalannya.
Sudah lama mereka tidak menyukai Ustadz Alam. Di balik jubah kehormatan sebagai ketua yayasan dan pendiri rumah Qur'an tersebut, mereka lebih tahu bagaimana tabiat aslinya. Di antara mereka, diam-diam julukan "tua bangka serakah" pun telah melekat. Tapi mereka tak pernah menyangka, keberaniannya bisa sampai sejauh itu, mendatangi orangtua Asha, seolah-olah gadis itu tidak punya suara, tidak punya pilihan untuk menolak.
Dan Nael, mereka tahu betul, sejak awal ia menyimpan perasaan pada Asha. Begitu pula sebaliknya. Namun keduanya memilih diam, mungkin karena takut harapan hanya akan menyakiti. Mungkin juga karena terlalu menghormati batasan sebagai rekan kerja di lingkungan keagamaan.
Ada banyak hal yang tak bisa diucapkan malam itu, tentang amarah Nael yang terpendam, tentang cinta yang tertunda, dan tentang seorang gadis yang harus menanggung beban yang seharusnya bukan miliknya.
Di bawah langit Ramadhan yang kelam, hanya doa-doa dalam hati yang terus bergema, semoga Asha memiliki keberanian untuk menolak keinginan ustadz Alam untuk memperistri nya.