Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
“Mama! Mamaaa, lihat ini!”
Rania yang baru saja selesai menyalakan kompor menoleh. Begitu melihat putranya datang dengan sebuah piala di tangan, senyum lebar langsung terukir di wajahnya. Ia buru-buru melepas celemek dan menghampiri Alan.
“Astaga, Alan… kamu menang?”
Alan mengangguk cepat, napasnya masih memburu karena kegirangan. “Iya, Ma! Aku juara satu lomba sains tingkat kota! Guru bilang aku bakal mewakili sekolah ke tingkat provinsi!”
Rania menahan air mata haru. Ia memeluk Alan erat-erat.
“Luar biasa kamu sayang… Mama bangga sekali, Nak. Kamu kerja keras, kamu pantas dapat ini.”
Alan tertawa kecil di pelukan ibunya. “Aku belajar setiap malam karena Mama selalu semangatin. Kalau nggak ada Mama, aku nggak yakin bisa.”
Rania mengelus rambut putranya, menatap wajahnya penuh kasih. “Kamu hebat karena memang pintar dan tekun, Alan. Jangan pernah ragu sama kemampuanmu. Mama cuma bantu doa dan kasih semangat.”
Chesna yang sudah duduk di kursi ikut bertepuk tangan riang. “Kak Alan keren! Abang aku juara satu!”
Alan nyengir, lalu dengan bangga mengangkat pialanya tinggi-tinggi di depan adiknya.
“Ini bukan cuma pialaku, tapi piala kita. Karena aku belajar juga bareng kamu.”
Rania menatap kedua anaknya bergantian. Dadanya hangat. Ada rasa syukur yang membuncah. Dalam hatinya, ia berharap kehangatan ini akan selalu utuh setiap hari.Meskipun, jauh di lubuk hatinya, Rania sadar kebahagiaan itu rapuh.
___
Miko duduk di sofa ruang keluarga. Di pangkuannya, Lila tertidur lelap setelah seharian kelelahan. Miko meraih ponselnya, berniat sekadar membaca berita singkat sebelum ikut beristirahat.
Scroll demi scroll terasa biasa saja, hingga matanya berhenti pada satu judul:
"Anak SD Kota Raih Juara Pertama Lomba Sains Tingkat Kota, Lanjut ke Provinsi."
Miko mengetuk layar. Foto seorang bocah lelaki dengan piala besar di tangannya muncul jelas. Senyum polos, sorot mata cerdas,seolah menatap langsung ke jantungnya.
Miko mendesis lirih “Anak ini…”
Ada sesuatu dalam garis wajah bocah itu. Dagu, tatapan mata, bahkan senyumnya, semuanya terasa begitu dekat. Bukan asing. Miko tanpa sadar membandingkannya dengan wajah di cermin yang dilihatnya tiap pagi.
Ia mengusap wajah, mencoba menepis perasaan aneh itu.
Miko mengepal rahang. “Tidak. Ini cuma kebetulan. Anak kecil banyak yang mirip.”
Tapi bayangan pertemuannya dengan Alan di taman, lalu di lomba siang tadi, berkelebat tanpa bisa ia tolak. Dan kini foto itu memperkuat kegelisahannya. Ia mengetuk layar, memperbesar gambar Alan, menatap lekat-lekat.
Miko bergumam, nada tajam bercampur gusar “Kenapa wajahmu… seperti menarik sesuatu yang seakan sudah lama hilang dariku?”
Tangannya mengepal kuat di paha. Dada terasa sesak, pikirannya kacau. Ia tahu dirinya sedang terusik oleh hal-hal yang tak seharusnya ia pedulikan. Namun logikanya tak lagi bisa bekerja normal.
Sementara itu, Lila yang tertidur menggeliat kecil, wajahnya pucat. Miko segera tersadar, menyingkirkan ponsel dan mengusap lembut kepala putrinya. Miko berkata pelan, pada dirinya sendiri, “Anak inilah yang harus menjadi fokusku. Bukan anak orang lain.”
___
Hujan turun deras sore itu. Rania berlari kecil, menundukkan kepala sambil menenteng belanjaan dari pasar. Saat melintasi halaman sebuah gedung pertemuan, ia berhenti sejenak berteduh di bawah atap. Nafasnya masih tersengal, rambutnya basah menempel di wajah.
Suara langkah berat terdengar mendekat. Rania menoleh, dan tubuhnya langsung membeku.
Miko.
Pria itu berdiri tak jauh darinya, mengenakan jas hitam rapi, wajahnya dingin, tatapannya menusuk. Sekilas terkejut, tapi cepat berubah menjadi kilatan amarah yang sudah lama terpendam.
“Rania.” dengan suara rendah tapi penuh tekanan.
Rania memeluk erat tas belanjaannya, wajahnya pucat.
“Aku… aku tidak sengaja ada di sini.”
Miko melangkah mendekat, setiap langkahnya membuat dada Rania kian sesak.
“Tidak sengaja? Kau pikir aku bisa percaya omong kosongmu?” terlihat anggukan dengan mimik jahat.
Rania menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang.
“Aku sudah bukan Rania yang dulu. Aku hanya ingin hidup tenang dengan an-”
“Diam!” Miko menyela tajam
Suaranya menggema, membuat Rania meringis. Tatapan Miko penuh kebencian, bercampur bayangan masa lalu yang tak pernah bisa ia lupakan.
“Kau pikir aku bisa melupakan apa yang pernah kau lakukan? Vania… hampir mati karena ulahmu! Dan sekarang kau berani-beraninya hidup seakan tak terjadi apa-apa?”
Air hujan yang menetes dari atap jatuh mengenai tangan Rania yang bergetar. Ia menunduk, suaranya nyaris tak terdengar.
“Aku menyesal, Miko. Aku menyesal seumur hidupku… Tapi aku tidak bisa memutar waktu. Selama ini aku tinggal di kota kecil yang jauh aku baru saja kembali. Aku mohon ampuni aku,”
Miko mendekat lebih lagi, matanya tajam.
“Penyesalanmu tidak berarti apa-apa. Kalau bukan karena wajahmu yang mirip dengannya, aku sudah memastikan kau tidak akan pernah punya kesempatan hidup bebas seperti sekarang. Aku tidak peduli kau itu kakak kandungnya”
Rania memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah.
Hening sejenak. Hanya suara hujan yang deras.
Miko memalingkan wajah, menarik napas berat, lalu mendesis lirih namun penuh ancaman:
“Jangan biarkan aku melihatmu lagi di kota ini, Rania. Karena lain kali… aku tidak akan sebaik ini.”
Rania terdiam, dadanya terus bergetar hebat. Saat Miko melangkah pergi, air matanya jatuh bercampur dengan derasnya hujan.
Pintu rumah kecil itu berderit pelan saat Rania membukanya. Wajahnya masih basah, entah karena sisa hujan atau air mata yang tak sempat ia seka. Dari dalam, suara riang Chesna terdengar.
Chesna berlari menyambut “Mama! Lihat, aku dapat nilai seratus hari ini!”
Alan menyusul dari meja belajar dengan senyum penuh kebanggaan, tangannya masih memegang buku. “Mama harus lihat. Guruku bilang aku bisa jadi wakil sekolah lagi kalau terus konsisten.”
Rania memaksa tersenyum, menunduk untuk memeluk keduanya. Dadanya sesak, tapi pelukan itu memberinya sedikit kekuatan. Dengan lembut, suara bergetar samar, “Mama bangga sekali pada kalian… lebih dari apapun.”
Kedua anak itu menatap heran, merasakan sesuatu yang ganjil pada ibunya. Alan mengerutkan kening.
“Mama, kenapa matamu merah? Mama habis menangis ya?”
Rania tergagap sejenak, lalu cepat-cepat mengusap wajahnya. “Ah, bukan, Nak. Tadi kena hujan. Mata mama perih sedikit. Tidak apa-apa.”
Chesna menggenggam tangan ibunya dengan wajah polos.
“Mama jangan sakit ya. Kalau Mama sakit, nanti siapa yang masakin aku sama Kak Alan?”
Rania tersenyum samar, hatinya semakin perih mendengar kepolosan itu. Ia mengusap rambut Chesna lembut. “Mama tidak akan apa-apa. Mama janji akan selalu ada buat kalian.”
Alan memperhatikan ibunya dengan tatapan serius, seolah bisa membaca bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar mata perih. Namun ia memilih diam, tak ingin membuat ibunya semakin tertekan.
Malam itu, setelah anak-anak tertidur, Rania duduk sendirian di tepi ranjang, menatap wajah Alan dan Chesna yang terlelap. Air matanya jatuh lagi tanpa bisa ditahan.
“Tuhan… jangan biarkan Miko tahu… jangan biarkan dia tahu tentang mereka. Aku mohon…”
Tangannya menggenggam erat selimut kedua anaknya, seakan ingin melindungi mereka dari dunia luar. “Mungkin saat ini kita harus pindah ke kota yang lain.”
Di luar, hujan masih turun, seakan ikut menyembunyikan doa Rania dalam gelapnya malam.
___
Rania duduk di meja makan kecil dengan wajah serius. Alan dan Chesna baru saja selesai sarapan pagi, namun melihat ekspresi ibu mereka, keduanya menegakkan tubuh, seolah tahu sesuatu penting akan dibicarakan.
Rania menatap kedua anaknya satu per satu. Jemarinya meremas gelas kosong, mencoba mengumpulkan keberanian.
“Ada hal yang harus kita bicarakan. Mama berpikir… mungkin sudah waktunya kita pindah dari kota ini.”
Chesna langsung menoleh, matanya melebar.
“Pindah? Maksud Mama… kita nggak tinggal di rumah ini lagi?”
Rania mengangguk perlahan.
“Iya, Nak. Mama ingin kita mencari tempat yang lebih aman, lebih tenang. Mama takut… seseorang bisa menemukan kita dan mengusik hidup kita lagi.”
Alan terdiam beberapa saat. Matanya yang cerdas menyipit, lalu menatap lurus ibunya.
“Ibu maksudnya… mantan papa tiri itu, kan?”
Rania menahan napas, lalu akhirnya mengangguk pelan.Ia terpaksa sedikit berbohong pada anak-anak yang sudah cukup besar untuk mengerti.
“Mama tidak ingin dia tahu di mana kita tinggal. Mama takut dia akan menyakiti kalian lagi.”
Chesna segera bangkit dari kursinya dan meraih tangan ibunya, menggenggam erat.
“Aku ikut, Ma. Ke mana pun mama mau pindah, aku ikut. Aku nggak mau kita ketemu dia lagi.”
Alan pun ikut bicara, suaranya mantap tapi ada sedikit getar.
“Iya, Ma. Aku juga setuju. Aku lebih baik jauh dari sini daripada harus hidup dalam ketakutan. Asal kita bertiga tetap bersama… aku nggak masalah pindah ke mana pun.”
Rania kembali kemudian memeluk kedua anaknya erat-erat.
“Kalian luar biasa. Mama janji… kita akan mulai hidup baru. Di tempat yang lebih aman. Di mana tidak ada yang bisa menyakiti kita lagi.”
Alan mengangguk tegas, sementara Chesna menempelkan wajah di bahu ibunya. Dalam pelukan itu, ketiganya sama-sama tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah, tapi mereka siap selama bersama.
___
ya, bersambung.. mohon favoritkan cerita supaya kamu ga ketinggalan update rutin dari akuhhh.