Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Takdir Mempertemukan Lagi
Lobi hotel pagi itu sibuk seperti biasa. Para tamu berdatangan, bel berbunyi, dan suara resepsionis membaur dengan derap langkah kaki pegawai.
Namun di balik kesibukan yang nyaris sama setiap hari itu, Nada merasakan sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih berat, waktu terasa lebih lambat.
Hari ini, Abyan dijadwalkan kembali dari Singapura. Dan hari ini pula, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Nada akan melihat wajah yang selama ini hanya hidup dalam ingatannya.
Ia berdiri di sudut lorong, mengenakan seragam cleaning service seperti biasa. Tangan kanannya menggenggam kain lap, tapi jari-jarinya gemetar. Hatinya ragu, pikirannya bertanya-tanya.
Apakah ia masih mengingatku?
Apakah ia tahu aku bekerja di sini?
Apakah pertemuan ini akan menyakitkan atau menyembuhkan?
Nada menarik napas panjang. Ia memutuskan untuk menjalani hari itu seperti biasa. Jika memang takdir membawanya ke situasi seperti ini, maka ia harus siap menatapnya tanpa gentar.
Jam sembilan tepat, pintu kaca besar terbuka. Seorang pria tinggi dengan setelan jas abu-abu melangkah masuk.
Rambutnya disisir rapi ke belakang. Langkahnya tegas. Sorot matanya tajam, namun ada ketenangan yang sama seperti dulu—ketika ia masih menjadi mahasiswa KKN di desa kecil tempat Nada tinggal.
Abyan Elfathan.
Nada menunduk cepat, berpura-pura sibuk membersihkan sudut dinding. Ia tak ingin mencuri perhatian, apalagi menaruh harap.
Dari sudut matanya, ia melihat Abyan disambut oleh manajer hotel dan beberapa staf senior. Mereka tertawa kecil, berjabat tangan, lalu berjalan menuju lift.
“Pak Abyan, ruang kerja Anda sudah siap. Kami juga sudah susun jadwal meeting hari ini.”
“Terima kasih, Pak Denny. Saya ingin ke ruang kerja dulu sebentar, ingin mengecek beberapa berkas.”
Suara itu…
Nada mengatupkan bibir rapat-rapat. Suara yang dulu membuatnya tenang, kini terasa seperti gelombang yang menerjang diam-diam.
Ia tetap menunduk, tak bergerak sedikit pun sampai rombongan itu menghilang di balik pintu lift.
Ruang direktur berada di lantai 15. Hari itu, Nada tidak dijadwalkan membersihkan lantai atas, tapi Dela tiba-tiba meminta tukar giliran karena sakit perut. Takdir seolah terus menyusun skenario yang tak pernah Nada duga.
Dengan langkah pelan, ia membawa trolley ke depan ruangan Abyan. Pintu sedikit terbuka. Ia mengetuk pelan.
“Permisi… saya dari bagian kebersihan. Boleh saya masuk?” Tak ada jawaban.
Nada mengintip ke dalam. Ruangan tampak kosong. Ia menarik napas lega, lalu mulai masuk dan membersihkan meja. Namun ketika ia tengah mengelap bingkai foto di meja, suara langkah kaki membuatnya berbalik cepat.
Dan di sana, Abyan berdiri mematung.
Tatapan mereka bertemu. Dunia seperti berhenti sejenak.
Nada terpaku. Kain lap masih di tangannya, tapi seluruh tubuhnya kaku.
Ia ingin bicara, tapi tak tahu harus memulai dari mana.
Sementara Abyan… hanya menatap tanpa suara, seolah sedang memastikan siapa yang sedang dia lihat.
“Kamu…?” ucap Abyan pelan.
Nada menunduk cepat, sebelumnya dia sudah antisipasi memakai masker dan kaca mata, dengan penampilan seperti ini dia yakin Abyan tidak akan mengenalinya.
Hanya saja dia tadi hampir saja terbawa suasana karena sempat beradu tatap dengan mata yang masih sama seperti tiga tahun yang lalu.
"Selamat pagi, Pak. Maaf saya masuk tanpa izin. Saya hanya bertugas membersihkan ruangan ini.”
Abyan melangkah pelan mendekat ke meja kerja yang sudah dibersihkan dan duduk di kursi kebesarannya.
“Baiklah, silakan lanjutkan.” Titah Abyan yang memilih membuka laptop dan berkas yang ada di atas mejanya.
Nada mengangguk pelan, tak berani menatap langsung. Dia buru-buru menyelesaikan tugasnya agar secepatnya keluar dari ruangan yang tiba-tiba suhunya terasa panas.
“Ternyata dia tidak mengenaliku.” Batinnya, Nada mencoba tersenyum, walau hatinya bergemuruh.
“Hidup membawaku ke sini. Sama seperti hidup yang membawamu kembali. Mari kita nikmati peran masing-masing, kamu yang bertahta dan aku yang tengah berjuang meraih hidup yang lebih baik. Kita dipertemukan kembali sebagai dua orang yang berbeda.” monolog Nada dalam hatinya.
Abyan duduk perlahan di kursinya. Selepas kepergian Nada dari ruangannya ada sesuatu yang membuat hatinya terusik. Aroma parfum itu, sederhana tapi menenangkan, bukan parfum mahal tapi berkesan, Abyan tiba-tiba mengingat aroma yang tak asing untuknya.
“Nada …” gumamnya, menyebut satu nama yang pernah mengisi hari-harinya.
Tok …tok …tok …
“Masuk!” titah Abyan dari dalam.
“Maaf Pak Abyan, saya membawa laporan yang anda minta. Sekaligus memperkenalkan sekretaris anda. Namanya Ayunda.” Denny, manajer hotel membawa seorang gadis yang berpenampilan rapi layaknya seorang sekretaris. Dia memperkenalkan diri.
“ Selamat pagi, Pak Abyan. Saya Ayunda, biasa dipanggil Yunda. Saya akan menjadi sekretaris Bapak mulai hari ini menggantikan sekretaris lama yang kini ditarik ke hotel pusat. Abyan manggut-manggut, dia hanya menatap sekilas ke arah Yunda.
“Jabatan sebelumnya apa?” tanyanya ingin tahu, dia tahu sebelum posisi direktur utam di hotel itu diambil alihnya dari yang ayah yang kini bertugas di hotel pusat yang berada di Bandung. Sang ayah menggantikan kakeknya yang sudah ingin pensiun sejak lama. Sebelumnya sekretaris andalan sang ayah di hotel cabang Jakarta ini juga diboyong sang ayah ke Bandung karena memang domisilinya di Bandung.
“Sebelumnya saya sebagai kepala staf administrasi, Pak.”
“Bu Yund aini sudah hamper delapan tahun bekerja di hotel kita, Pak. Pengalaman dan kinerjanya sudah tidak diragukan lagi, makanya Pak Akmal merekomendasikan Bu Yunda untuk menjadi sekretaris Bapak.” Pak Denny sang manajer menambahkan.
“Sudah menikah?” tanya Abyan lagi.
“Sudah Pak, saya sudah punya satu orang anak masih balita.”
“lalu, selama kamu bekerja, anak kamu sama siapa?”
“Suami saya Pak, kebetulan kami punya toko kecil-kecilan, suami saya dulu bekerja di pabrik dan terkena PHK, untungnya masih mendapat pesangon dan kami jadikan modal untuk buka toko.” Jelas Ayunda Panjang lebar, dia merasa perlu menyampaikan hal ini pada bos barunya itu.
“Baiklah, silakan kembali ke mejamu, bawakan saya jadwal hari ini.”
“Baik Pak, terima kasih. Saya permisi.”
Ayunda mundur perlahan lalu berbalik menuju pintu keluar, dia senang ternyata bos barunya cukup ramah, walau pun tidak seramah atasan sebelumnya Pak Akmal, ayah dari Abyan.
“Pak Denny, ada yang mau disampaikan lagi?” tanya Abyan saat melihat Denny masih berada di ruangannya.
“Iya Pak, ada. Ini mengenai asisten pribadi Bapak. Pak Akbar langsung menghubungi saya agar menyiapkan asisten pribadi untuk Bapak. Dan beliau meminta agar beliau sendiri yang menyeleksinya, saya sudah mengirimkan sepuluh pelamar yang berhasil disaring berdasarkan kualifikasi yang dibutuhkan, dan hari ini beliau sudah memutuskan siapa yang akan menjadi asisten pribadi Ba[ak.”
“Siapa? Laki-laki atau perempuan?” tanya Abyan, ekspresinya masih datar, sejauh ini sang kakek masih mengatur semua tentangnya.
“Sebentar lagi orangnya datang Pak.”
Tok … tok … tok …
Tak lama terdengar suara pintu ruangan Abyan diketuk, Yunda masuk setelah mendapatkan titah.
“Maaf Pak di luar ada Pak Rendi, katanya beliau adalah asisten Pribadi Bapak.” Sekilas Yunda melirik Pak Denny yang menganggukan kepala.
“Suruh dia masuk.” Titah Abyan.
“Baik, Pak.”
“Assalamu’alaikum.” Ucapan salam dari seseorang yang baru memasuki ruangannya mengalihkan pandangan Abyan dari layer laptopnya. Dia merasa tidak asing dengan suara ucapan salam itu.
"Wa’alaikumsalam. Rendi!” Pekik Abyan, seketika dia berdiri dari tempat duduknya dan berhambur memeluk Rendi yang tak lain adalah sahabatnya semasa SMA hingga kuliah.
“Hahaha…” keduanya tertawa Bahagia dengan pertemuan mereka, tiga tahun sejak wisuda S1 di Jakarta keduanya tak lagi saling berkabar, abyan sibuk dengan kuliahnya begitu pun Rendi yang langsung bekerja di salah satu cabang hotel yang ternyata milik keluarga Abyan.
“Selama ini… aku cari kamu. Tapi nomormu tidak aktif lagi.”
“Kamu pergi ke luar negeri tanpa pamit. Apa aku juga berhak kecewa, Abyan?” Rendi merajuk, saat Abyan pergi ke luar negeri tak ada satupun sahabat seangkatannya yang tahu.
“Hahaha ….kamu sudah seperti kekasih yang cintanya digantung aja.” Canda Abyan membuat Yunda dan Pak Denny seketika saling tatap. Abyan menyadari itu, dia segera berdehem untuk menetralkan suasana. Pertemuannya dengan sahabat lamanya membuat dia merasa kembali ke masa indah SMA dan kuliah dulu.
“Pak Denny, Mbak Yunda, Rendi ini sahabat saya sejak SMA dan kuliah. Kami sudah lama tidak bertemu jadi wajar kalua pertemuan kami absurd begini, maaf kalau kalian tidak nyaman.” Jelas Abyan mengembalikan suasana.
“Tidak apa-apa Pak, saya senang ternyata asisten pribadi baak adalah sahabat Bapak sendiri.” Ujar Denny, manajer senior yang sudah bekerja belasan tahun di hotel itu dan telah menjadi orang kepercayaan Pak Akbar, kakek dari Abyan.
Pak Denny dan Mbka Yunda pamit untuk kembali melanjutkan pekerjaan, sementara Abyan dan Rendi alih-alih membahas pekerjaan keduanya larut saling berbagi cerita selama tiga tahun perpisahan mereka.
Jika Abyan tengah menikmati hari pertamanya dengan Bahagia sebagai direktur utama di hotel itu, berbeda dengan Nada. Hatinya masih berdebar kencang, pertemuannya dengan Abyan cukup menguras energinya.
“ Hufft … Akhirnya takdir mempertemukan lagi, dan ini benar-benar terjadi, Bang By.” Gumamnya di balik pintu ruang istirahat karyawan.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak