Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Pasti ada jalan menuju kebebasan
Malam itu, Rafael duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong menatap tumpukan dokumen di meja. Sejak serangan pertama yang gagal, ia tak pernah lengah. Setiap langkah, setiap penjaga, bahkan jalur udara di atas rumahnya pun dipantau. Marco baru saja melapor bahwa semua titik aman.
Namun ketika fajar mulai merayap, kabar buruk itu datang. Seorang pengawal berlari tergesa, wajahnya pucat pasi.
“Tuan … Nyonya Arunika … dia ... dia tidak ada di kamarnya!”
Rafael sontak berdiri. Kursi di belakangnya hampir terjungkal. Suaranya berat, penuh amarah. “Apa maksudmu, tidak ada?”
“Pintunya terkunci dari dalam … tapi ketika kami dobrak, kamarnya kosong. Ada bekas suntikan di lantai, sepertinya … dia dibius.”
Detik itu juga darah Rafael mendidih. Tangannya mengepal begitu kencang hingga kuku-kukunya memutih. Marco segera berlari masuk, napasnya terengah. “Tidak mungkin ada orang luar yang menembus penjagaan kita, itu berarti…”
Tatapan Rafael tajam menebas udara. “Pengkhianat.”
Dia menghantam meja kayu dengan tinjunya hingga pecah retak di beberapa sisi. Suaranya menggelegar di seluruh ruangan. “Cari siapa pun yang terakhir terlihat dekat dengan Arunika! Periksa semua rekaman! Bawa kemari, hidup atau mati!”
Marco segera memerintahkan anak buah bergerak. Suasana markas mendadak kacau, para pengawal berhamburan memeriksa setiap sudut rumah. Namun Rafael tahu dalam hatinya, ini bukan sekadar penculikan biasa. Ia merasakan denyut halus dalam nadinya, sebuah firasat yang hanya bisa dihubungkan pada satu orang, ibunya, Aurel.
Sementara itu, jauh dari kediaman Rafael, Arunika mulai membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, kepalanya berat. Ia berusaha menggerakkan tangan, namun pergelangannya terikat pada kursi besi yang dingin. Aroma asap rokok menusuk hidungnya.
Saat penglihatan mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan luas, dinding beton tanpa jendela. Lampu kuning redup menggantung di langit-langit. Dan di hadapannya seorang wanita elegan dengan rambut terurai rapi, mengenakan gaun hitam. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya tajam bak pisau.
“Akhirnya kau bangun.”
Arunika menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Kau … menculikku?”
Aurel terkekeh pendek, lalu duduk di kursi berhadapan. Ia menyalakan rokok, menghembuskan asap perlahan. “Kau pikir aku akan diam melihat anakku direnggut wanita rendahan sepertimu? Kau hanya mainan yang membuat Rafael buta. Dan sekarang … aku akan menunjukkan padanya betapa lemahnya ia karena melindungimu.”
Arunika berusaha memberanikan diri, meski rasa takut menelannya. “Rafael tidak akan diam, dia akan datang menjemputku.”
Aurel menatapnya sinis. “Itulah yang kuinginkan. Aku ingin melihat sejauh mana dia berani menantang ibunya sendiri.” Pintu ruangan berderit, masuklah seorang pria, wajah yang sangat dikenali Arunika.
“Ka—kau?” Arunika terperanjat, matanya membelalak. Itu adalah orang kepercayaan Rafael, pria yang selama ini kerap berada di sisi Marco dan dipercaya menjaga rumah.
Pengkhianat itu hanya menunduk pada Aurel, tak berani menatap Arunika. Aurel menepuk bahunya sambil tersenyum puas. “Anakku terlalu percaya pada orang. Dan kepercayaannya itulah yang akan menghancurkannya.”
Arunika merasa dadanya sesak. Luka bukan hanya karena dikhianati, tapi juga membayangkan wajah Rafael ketika mengetahui orang yang paling ia percayai menusuknya dari belakang.
Di sisi lain, Rafael berdiri di aula bawah tanah. Semua anak buah berkumpul. Wajah-wajah mereka menegang, suasana penuh tekanan. Marco baru selesai memeriksa rekaman CCTV. Ia maju ke depan, wajahnya gelap.
“Tuan … kami menemukan siapa pengkhianat itu.”
Layar besar dinyalakan, gambar dari kamera belakang menampilkan sosok pria yang berjalan santai membawa sesuatu di bahunya. Rafael tak berkedip, rahangnya mengeras. Itu adalah salah satu tangan kanan kepercayaannya.
“Bajingan…” gumam Rafael lirih, namun penuh bara.
Marco menunduk dalam, suaranya serak. “Dia yang membuka jalan bagi musuh, Tuan. Dan menurut informasi, Nyonya Aurel sendiri yang menjemput.”
Suasana ruangan langsung ricuh. Semua pengawal berteriak ingin segera bertindak. Namun Rafael mengangkat tangannya, membuat semuanya terdiam.
Wajahnya dingin, matanya merah menyala. “Dengar baik-baik, mulai hari ini, siapa pun yang berkhianat padaku … hanya akan menemui satu akhir, yaitu kematian. Tidak ada belas kasihan.”
Dia menoleh pada Marco. “Kumpulkan semua pasukan. Kita rebut kembali Arunika. Tidak ada negosiasi, tidak ada tawar-menawar. Kita gempur mereka sebelum fajar berikutnya.”
Sorakan tegas terdengar dari para bawahan, tanda kesetiaan. Namun di balik itu semua, ada ketegangan luar biasa. Mereka tahu perang ini bukan sekadar melawan musuh biasa, ini adalah perang darah antara Rafael dan ibunya sendiri.
Rafael menatap ke layar sekali lagi, melihat wajah pengkhianatnya. Matanya menyipit, suaranya dingin bak es.
“Aurel boleh menjadi ibuku. Tapi siapa pun yang menyentuh Arunika … sudah memilih mati.”
Di ruangan lain, Arunika mencoba melepaskan ikatan tangannya dengan sekuat tenaga. Sementara Aurel hanya tersenyum puas, menunggu waktu yang tepat untuk memainkannya.
Arunika duduk kaku di kursi besi itu, kedua tangannya terikat erat. Dingin ruangan menusuk tulang, namun yang paling membuatnya menggigil adalah tatapan Aurel tajam, dingin, sekaligus penuh kebencian. Asap rokok berputar di udara, menebarkan aroma menyengat. Aurel menghembuskan asapnya tepat ke wajah Arunika.
“Kau tahu kenapa aku membawamu ke sini, Arunika?” suara Aurel terdengar pelan, tapi penuh racun.
Arunika menahan batuk, berusaha tidak menunjukkan kelemahannya. “Karena kau takut, kau takut aku yang kau sebut ‘wanita rendahan’ ini mampu membuat Rafael melihat kebenaran.”
Aurel terkekeh, matanya menyipit. “Kebenaran? Tidak ada kebenaran dalam dunia ini selain kekuasaan. Dan Rafael … anak bodoh itu, seharusnya tahu bahwa kekuasaan hanya bisa bertahan kalau dia tetap berada di bawah kendaliku.”
Arunika mencoba menguatkan diri, meski ketakutan mulai merayap. “Dia tidak buta, Aurel, Rafael mencintaiku ... kau bisa mengambil semuanya dari dia … tapi tidak perasaan itu.”
Wajah Aurel berubah tegang. Ia berdiri, mendekat, lalu menampar pipi Arunika dengan keras, suara tamparan itu menggema di ruangan kosong.
“Kau pikir cinta bisa menyelamatkanmu? Kau pikir cinta bisa membuat Rafael melawan ibunya? Aku yang membesarkan dia, aku yang mengajarinya bertahan hidup! Dan kau datang, hanya untuk merusaknya.”
Arunika terhuyung karena tamparan itu, sudut bibirnya terasa perih. Namun matanya menatap balik, tidak getir. “Aku tidak merusaknya … aku menyembuhkannya. Luka yang kau tanamkan di hati Rafael … aku yang mengobatinya.”
Aurel tercekat sejenak, lalu wajahnya mengeras penuh amarah. Ia menendang kursi Arunika hingga hampir terbalik. “Diam kau!”
Salah satu anak buah Aurel masuk, wajahnya ragu. “Nyonya … wanita ini harus diapakan?”
Aurel menarik napas panjang, lalu tersenyum licik. “Biarkan dia hidup, untuk saat ini.” Tatapannya kembali pada Arunika. “Aku ingin Rafael melihat dengan mata kepalanya sendiri. Melihat kau, wanita yang ia lindungi, hancur di hadapannya. Itu akan jauh lebih menyakitkan daripada membunuhmu sekarang.”
Arunika merasa tubuhnya gemetar, tapi ia menggenggam ujung kursi dengan kuat. “Aku tidak peduli apa yang kau lakukan. Rafael akan datang menjemputku. Dan saat itu terjadi … kau akan kalah.”
Aurel mendekatkan wajahnya, matanya membakar. “Kau terlalu percaya diri, Arunika. Dunia ini kejam, Rafael tidak akan selalu datang tepat waktu.”
Arunika hanya menatap balik, bibirnya bergetar namun penuh keyakinan. “Dia selalu datang tepat waktu untukku. Selalu.”
Untuk sesaat, Aurel terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Arunika sesuatu yang membuatnya merasa terancam. Bukan kekuatan, bukan senjata, melainkan keyakinan yang tak tergoyahkan. Aurel berdiri tegak, lalu berbalik.
“Bawa dia ke ruangan atas. Jangan biarkan dia kabur, kita lihat berapa lama keyakinannya bertahan.”
Dua anak buah menarik kursi besi itu, menyeret Arunika ke luar ruangan. Arunika berusaha tetap tegar, meski hatinya diliputi rasa takut.
'Rafael, aku percaya kamu akan datang,' bisiknya dalam hati.
walau awalx sulit menyakit kan..
jgn sampai ada apa2 ya
tegang bacanya
Dan Rafael tidak mengetahui nya