Althea hanya ingin melupakan masa lalu.
Tapi takdir membawanya pada seorang Marco Dirgantara ,CEO Dirgantara Corp sekaligus mafia yang disegani di Eropa.
Kisah cinta mereka tidak biasa. Penuh luka ,rahasia dan bahaya.
Bab 4 - Dia Tidak Menjauh
Langit malam di Amsterdam turun dengan kelam dan lebih pekat dari biasanya. Lampu-lampu jalan menyala sayu di antara bayangan bangunan tua yang berdiri seperti penjaga rahasia zaman dahulu. Hujan rintik turun pelan, membasahi trotoar dan membuat suara ban mobil menjadi lirih dan melankolis.
Di dalam mobil hitam mewah yang melaju tanpa suara, Marco memandangi laporan hasil investigasi di tangannya dengan alis mengernyit. Sinar dari layar ponsel Reno di kursi depan ikut menerangi wajah-wajah yang tertera di berkas-berkas itu.
Althea Safira.
Nama itu kini bukan sekadar staf baru. Ia adalah sebuah teka-teki ,luka yang berjalan. Dan kini, satu per satu kepingan masa lalunya terbuka, seperti buku yang tak pernah ia izinkan siapa pun untuk membaca.
“Ayahnya meninggal saat Althea masih enam tahun,” ucap Reno, suaranya berat. “Ibunya menikah lagi dengan pria bernama Darto. Pria itu dilaporkan pernah melakukan kekerasan, tapi kasusnya dihentikan karena...."
“Karena tidak ada saksi,” potong Marco pelan, menatap selembar foto kecil. Althea kecil, wajahnya tirus, mata lebam di sudut, tapi tetap menatap kamera dengan senyum kaku. Seolah ia tahu, bahkan sejak kecil, bahwa senyuman adalah bentuk pertahanan terbaik.
“Adiknya?” tanya Marco.
“Ares, usia sembilan tahun. Anak tiri Darto. Kondisi fisiknya lemah. Beberapa rumah sakit mencatat riwayat perawatan asma berat dan anemia sejak lahir,” jawab Reno.
Marco menutup map. “Hidup dari luka tapi tetap berdiri tegak.”
Reno diam. Ia tahu suara Tuan Dirgantara kali ini... bukan sedang menyindir. Tapi rasa kagum dalam diam.
---
Keesokan paginya, Althea datang lebih pagi dari biasanya. Langit masih kelabu, udara pagi membawa aroma tanah basah dan kopi yang hangat. Ia menggenggam termos kecil berisi kopi hitam buatan sendiri. Jemarinya terasa dingin meski sudah terbungkus sarung tangan wol abu-abu.
Ia belum sepenuhnya pulih dari hari sebelumnya. Perasaan tidak nyaman masih membekas, terutama setelah ia bertemu Monica. Tapi di balik kegelisahan itu, ada rasa terima kasih yang belum sempat terucap pada Marco. Pria itu membungkam Monica, bukan dengan kata manis, tapi dengan kuasa dan ketegasan yang membuat semua orang di kantor diam.
Namun begitu ia masuk ruangannya, ia menemukan sebuah map merah diletakkan di atas mejanya. Di atasnya ada secarik kertas dengan tulisan tangan yang sangay tegas:
“Ke ruang CEO. Sekarang.”
-Marco Dirgantara-
Jantung Althea berdetak lebih cepat. Matanya terpaku pada map merah itu. Tangannya sedikit bergetar saat menyentuh kertas tersebut. Ia menarik napas dalam-dalam, merapikan rambutnya yang panjang dengan jari, dan melangkah ke lantai atas.
---
Ruang kerja Marco seperti biasanya ,sunyi, luas, mewah namun tak ramah. Dinding kaca memberi pandangan langsung ke langit kota yang masih kelabu. Namun pagi ini, Marco duduk tanpa jas, hanya mengenakan kemeja abu tua yang lengannya digulung. Pria itu menatap layar, tapi detik Althea masuk, pandangannya langsung berpindah padanya.
"Map itu, buka!"
Althea membuka perlahan. Di dalamnya, ia melihat berkas-berkas ,ada surat pindah sekolah, tagihan rumah sakit, salinan laporan kekerasan rumah tangga. Bahkan... foto-foto lama nya.
Dan salah satunya adalah foto dirinya sendiri, usia sekitar tujuh tahun. Memar samar di pipi, namun senyum tetap menghiasi wajah kecil itu.
Matanya membeku ,dan tangannya gemetar.
“Siapa... yang memberi Anda semua ini?”
Marco bangkit dari kursinya. Langkahnya lambat, terukur, mendekati Althea dengan aura dingin yang tak bisa dijelaskan.
"Aku yang mencari."
Althea mundur satu langkah. Napasnya memburu. Tapi Marco tak berhenti.
“Kenapa... Anda lakukan ini?” bisiknya, hampir tak terdengar. Langkah kaki Althea semakin terpojok ke dinding kamari yang dingin itum
“Karena aku tak percaya orang seperti kamu bekerja di tempat ini hanya untuk bertahan hidup. Ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan sekarang, aku tahu.”
Ia berhenti hanya satu langkah darinya. Tatapannya menusuk, namun tidak kejam. Lebih seperti... membaca.
“Luka yang kau sembunyikan... adalah senjatamu, kan?”
Althea menggeleng, perlahan. “Tidak ,itu masa lalu. Sungguh saya tidak mau dikasihani.”
“Bagus,” jawab Marco cepat. “Karena aku pun tidak berniat untuk mengasihani. Aku hanya ingin tahu... seberapa jauh kamu bisa bertahan jika aku menyentuh bagian paling gelap dari dirimu.”
Tangannya menyentuh sisi map, menutupnya pelan. Matanya menatap dalam, nyaris menusuk ke dalam jiwa.
“Kau bilang tak punya tempat untuk pergi. Tapi bagaimana jika aku menciptakan tempat... yang tidak bisa kau tinggalkan?”
Althea menahan napas. Ada perasaan asing yang menyelinap.
“Apakah itu bisa disebut ancaman, Tuan?”
Marco tersenyum tipis. Bukan senyum hangat. Tapi ada sesuatu yang jujur di baliknya.
“Tentu saja bukan. Itu tawaran ,dan kau akan tinggal di sini, lebih lama. Lebih dalam lagi kau akan belajar bahwa dunia ini tak akan memelukmu, Althea. Tapi aku akan memastikan kau tetap berdiri, dengan caraku.”
Ia melangkah mundur, kembali ke meja.
“Sekarang pergi, dan tutup mulut soal ini. Termasuk pada Reno!”
Althea berbalik, melangkah keluar dengan dada sesak.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu... ia takut. Karena untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tahu semuanya tentang dirinya, dan tidak menjauh. Namun justru mendekat.
---
Sepulang kerja, Althea berdiri di depan cermin kecil di apartemennya. Wajahnya tampak pucat, tapi matanya tak lagi takut. Ia menatap bayangannya sendiri dengan sorot yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Seolah perempuan di cermin itu bukan dirinya, tapi versi dirinya yang lebih kuat.
Ia kembali merenung dalam diamnya...
“Dia tahu semuanya,” bisiknya. “Dan aku... tidak tahu harus bagaimana.”,bahkan untuk melawan nya pun aku tak sanggup...
Di luar, hujan kembali turun. Angin meniup tirai tipis di jendela. Tapi Althea tidak menutupnya. Ia membiarkan angin masuk, membiarkan dirinya menggigil dalam diam.
Pikirannya terus kembali pada tatapan pria itu. Marco Dirgantara. Tatapan yang tidak menyelamatkan, tapi juga tidak menghancurkan. Tatapan yang menyadari luka dan menggunakannya.
Dia berkata: “Aku akan menyakitimu... dengan alasan yang tidak bisa kau tolak.”
Dan ia sadar... luka ini tak akan sembuh. Tapi entah kenapa, ia juga tidak ingin pergi.
Mungkin karena dalam luka, ia menemukan tempat untuk tinggal. Mungkin karena pria itu... mengerti bahwa ia bukan ingin dikasihani, tapi dipahami.
Dan itu... jauh lebih berbahaya.
Althea nampak memejamkan matanya ketika hari hampir menjelang pagi ,namun lagi-lagi ia tampak tak bisa. Hingga jam menunjukan pkl 05.00 ,Althea baru bisa untuk istirahat.
Althea mungkin nampak tertidur ,namun aku bisa melihat kalau air mata itu perlahan melesak masuk.
"Marco Dirgantara ,sebenarnya apa yang kamu inginkan. gumam Althea pelan.