NovelToon NovelToon
Pertukaran Jiwa: CEO Kejam Menjadi Istri Teraniaya

Pertukaran Jiwa: CEO Kejam Menjadi Istri Teraniaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Romansa / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:21.5k
Nilai: 5
Nama Author: Santi Suki

Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.

Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.

Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.

Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Aiden menatap tajam ke arah Rachel, sorot matanya tajam dan menusuk. Meski wanita itu adalah istrinya secara sah, itu tak berarti dia mendapat perlakuan istimewa. Di mata Aiden, jika bersalah, siapa pun wajib menerima konsekuensinya. Saat ini, amarah yang lama terpendam mulai membara lagi.

“Apa yang dikatakan oleh Nona Hillary itu benar, Tuan,” ucap Anne, kepala pelayan keluarga Salvador, dengan nada datar, tapi tegas. Tatapannya menusuk seperti belati. “Tadi, saya juga melihat Nyonya Rachel masuk ke dalam kamar. Tapi tidak lama kemudian keluar lagi. Dan itu … terlihat mencurigakan.”

Rachel menegang. Tubuhnya seolah lumpuh sesaat. Ia merasa seperti seekor rusa yang dikepung serigala di hutan yang tak memberinya ruang untuk lari.

“Bohong!” Rachel membentak, suaranya tercekat oleh rasa frustrasi yang menyesakkan. “Kalian semua sudah berbohong!”

Rachel menatap satu per satu wajah yang mengelilinginya—tak ada satu pun yang menunjukkan pembelaan. Hanya sorot tuduhan dan ketidakpercayaan yang terpancar.

“Memangnya apa yang hilang?” tanya Hillary dengan nada seolah-olah peduli, tapi senyum sinis di wajahnya mengkhianati maksud sebenarnya.

“Flashdisk berwarna merah,” jawab Aiden tanpa ragu. Suaranya datar, tapi dinginnya menembus tulang.

Mendengar itu, mata Hillary berbinar—seolah jebakan yang dirancangnya telah jatuh tepat sasaran.

“Bagaimana kalau kita geledah kamar Rachel untuk membuktikannya?” usul Hillary. Senyumnya miring, penuh ejekan. Sorot matanya seperti sedang menyaksikan mangsanya jatuh ke dalam perangkap.

Aiden tidak langsung menjawab. Ia menoleh kepada Rachel, menatap tajam dengan tatapan penuh kekecewaan. Diamnya berbicara banyak—antara percaya dan tidak percaya, tetapi amarahnya perlahan menguasai logika.

“Akan aku geledah kamar kamu,” ucapnya dingin.

“Biar aku bantu, Tuan,” kata Anne cepat. Lalu ia memberi aba-aba. “Kalian, bantu aku memeriksa kamar milik Nyonya Rachel!”

“Baik!” seru ketiga pelayan serempak. Mereka langsung mengikuti Anne menuju kamar Rachel, seperti pasukan yang hendak mengeksekusi titah raja.

Nenek Hilda yang sejak tadi duduk di kursi ukiran kayu mewah hanya menghela napas. Sorot matanya mengarah lurus ke wajah Rachel—wajah yang dulu pernah dipeluknya penuh kasih, kini dipandang dengan dingin.

“Jika kamu terbukti bersalah, maka akan dimasukkan ke dalam penjara,” ucap Nenek Hilda, datar namun tegas.

“Apa?” Rachel terperanjat. Tubuhnya gemetar. Kata ‘penjara’ bergema keras di kepalanya, lebih menakutkan daripada cambuk dan ejekan.

Aiden masih berdiri tanpa berkata sepatah kata. Namun, sorot matanya jelas menyiratkan bahwa kepercayaannya semakin menipis.

Berbeda dengan Hillary. Wanita itu justru tampak senang luar biasa, seakan menanti pertunjukan favoritnya mencapai klimaks.

“Benar sekali, Grandma,” ujar Hillary sok berwibawa. “Seorang pencuri itu seharusnya dimasukkan ke dalam penjara. Biar kapok dan tidak mengulangi lagi.”

“Aku tidak pernah mengambil barang milik orang lain, apalagi mencuri,” Rachel membalas tegas. Suaranya gemetar, tapi dia berusaha tetap kuat. Tidak di hadapan Hillary, tidak di hadapan Aiden.

Tak lama kemudian, langkah cepat terdengar dari tangga. Anne muncul tergopoh-gopoh, napasnya tersengal, tangannya menggenggam sesuatu.

“Tuan … Tuan!” serunya. Ia mengacungkan benda kecil di tangannya. “Apakah ini flashdisk yang Tuan cari?”

Aiden langsung menyambar benda itu dari tangan Anne. Tangannya sedikit gemetar saat mengenali benda pipih berwarna merah—benda yang menyimpan data penting perusahaan dan dokumen pribadi yang tak ternilai.

“Ya,” gumam Aiden pelan namun pasti. “Ini flashdisk yang aku cari.”

Rachel terpaku. Matanya membelalak. “Tidak … aku tidak pernah melihat benda itu sebelumnya,” ucap Rachel.

“Saya menemukannya di dalam lemari pakaian Nyonya, di bawah tumpukan baju,” jelas Anne dengan suara mantap.

Dunia Rachel seolah runtuh seketika. Ia merasa seolah ditarik masuk ke dalam lubang gelap yang tak berujung. Tak pernah sekalipun ia menyentuh flashdisk itu, apalagi menyembunyikannya.

Aiden menatapnya penuh kemarahan. Tidak ada lagi kelembutan di mata itu, yang ada hanya kekecewaan yang menggelegak.

“Dasar tidak tahu diri! Aiden, kirim dia ke penjara!” seru Hillary dengan nada tinggi. Tangannya menunjuk lurus ke wajah Rachel, seperti sedang menuntut keadilan—padahal dialah dalangnya.

“Tidak! Aku tidak mencuri—” Rachel berteriak, tapi suaranya tertelan oleh ombak tuduhan yang datang dari segala arah.

“Bukankah tadi Nyonya Rachel mendorong Nona Hillary karena memergokinya?” tambah Anne tiba-tiba.

“Maksudmu?” Aiden menoleh cepat, alisnya mengernyit. Ia butuh penjelasan.

“Aiden,” sela Hillary cepat, suaranya mendayu penuh sandiwara. “Tadi aku didorong oleh Rachel saat aku memergoki dia keluar dari kamar kamu. Semua orang melihat itu.”

“Yang dikatakan Hillary itu benar,” sahut Nenek Hilda mantap, seakan sudah memutuskan segalanya.

Hati Aiden benar-benar terbakar. Tak tahan lagi, ia meraih pergelangan tangan Rachel dan menyeretnya ke tengah ruangan. “Semakin ke sini, kamu semakin berani berulah!” bentaknya. “Sekarang kamu harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu!”

“Aiden, aku tidak mencuri!” Rachel berteriak histeris, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. Tubuhnya menggeliat, tapi tangan Aiden mencengkeram kuat, seolah tak ingin ada celah untuk kabur.

“Aku tidak akan berbaik hati lagi padamu, Rachel,” ucap Aiden dengan dingin. “Kamu tidak tahu betapa berharganya isi dalam flashdisk itu.”

“Aku tidak tahu!” Rachel membalas dengan napas terengah. Air mata mulai jatuh, tapi bukan karena lemah—melainkan karena keputusasaan menghadapi fitnah yang terlalu sempurna. “Dan aku tidak pernah mengambilnya!”

“Tanyakan saja kepada semua orang yang ada di sini. Mereka semua lihat Rachel tadi siang diam-diam keluar dari kamar kamu,” ujar Hillary, mendekat sambil menatap Aiden dengan tatapan licik. “Mereka semua tahu siapa yang sebenarnya mencurigakan.”

Rachel berdiri sendirian di tengah lingkaran mata yang menuduh, mulut yang menyudutkan, dan hati-hati yang tidak lagi percaya padanya.

Dia pun sadar—tak seorang pun di rumah itu yang benar-benar berpihak kepadanya. Tidak lagi.

Semua orang memberikan kesaksian yang sama—menuduh Rachel tanpa ragu. Tidak ada satu pun yang membelanya. Mereka menuding dengan suara lantang, seolah tak sabar melihat wanita itu dikorbankan.

Aiden dengan sorot mata tajam yang tak lagi menyisakan keraguan, mempercayai semuanya. Baginya, kebenaran adalah suara mayoritas, bukan suara hati.

“Rachel, ikut aku sekarang juga,” ucap Aiden dingin, menggenggam pergelangan tangannya dengan kuat. Tidak ada kelembutan. Tidak ada kasih. Hanya amarah yang menggumpal, seperti bara api yang siap membakar habis segalanya.

Dia menyeret istrinya keluar rumah. Hujan lebat turun seperti ikut menangisi nasib wanita itu. Langit menggelegar, angin berhembus kencang, seolah semesta pun tahu malam ini adalah malam kehancuran bagi seseorang yang tak bersalah.

“Aiden! Aku bukan pencuri!” teriak Rachel dalam kepanikan dan keputusasaan. Suaranya tenggelam dalam deru hujan yang mengguyur deras. “Aku berani bersumpah dengan nyawaku sendiri. Jika aku berbohong, maka hari ini juga aku rela mati!”

Wajah Rachel basah, entah oleh air mata atau air hujan. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin semata, tetapi karena luka yang terus dibuka oleh pria yang dulu berjanji melindunginya.

Akan tetapi, tatapan Aiden tetap dingin seperti batu. Tidak ada empati, tidak ada keraguan. “Aku tidak butuh sumpahmu itu,” jawabnya tajam, bahkan tidak sudi menatap wajah Rachel yang menyedihkan.

Sejak keguguran empat tahun lalu, cinta Aiden padanya menguap begitu saja. Tatapan hangat yang dulu membuat Rachel merasa aman, kini telah berganti menjadi tatapan penuh benci dan hina. Tidak ada lagi pelukan. Tidak ada lagi pelipur lara. Yang tersisa hanya kesunyian dan tuduhan.

Kala itu, Rachel kehilangan bayinya—dan Aiden kehilangan seluruh kepercayaannya padanya. Bukan karena bukti, tetapi karena bisikan orang-orang yang sejak awal tidak pernah menyukai Rachel.

Mobil melaju kencang menembus hujan. Wiper bekerja sekuat tenaga menyapu air dari kaca depan, namun pandangan tetap buram. Jalanan malam ini sunyi, hanya cahaya samar dari lampu jalan dan gelegar petir yang seolah mengikuti mereka.

Rachel duduk di kursi penumpang dengan tangan terkepal di pangkuan. Seluruh tubuhnya menegang. Perasaannya campur aduk—takut, marah, dan hancur. Tapi tak satu pun kata bisa menggambarkan betapa sakitnya saat orang yang paling kamu cintai percaya pada semua orang kecuali kamu sendiri. Lalu, seolah takdir turun tangan.

DUAR!

Kilatan petir menyambar papan reklame raksasa di atas jalan. Gambar promosi tempat wisata air panas itu tampak terdistorsi sesaat sebelum papan besi itu lepas dari pegangan dan melayang turun dengan kecepatan mematikan.

Rachel, yang lebih dulu melihatnya, menjerit sekuat tenaga. “Aiden, AWAS!”

Tanpa pikir panjang, dia meraih kemudi dan menginjak pedal gas dengan paksa. Tapi terlambat. Logam seberat itu jatuh hanya sepersekian detik kemudian, menghantam bagian belakang mobil mereka dengan dentuman mengerikan.

BRAKKK!

Mobil terguncang keras, terlempar sedikit ke depan. Kaca belakang pecah. Suara logam melengking saat menghantam aspal. Tubuh Rachel dan Aiden terpental, terbentur, dan bersimbah darah. Kilatan cahaya dari petir berikutnya memperlihatkan betapa rusaknya kendaraan itu—belakang mobil remuk total, tak berbentuk.

Jika Rachel tidak menginjak gas, bagian depan mobillah yang akan tertimpa. Lalu, keduanya pasti sudah tidak bernyawa.

Tapi malam belum selesai. Sirine ambulan dan polisi meraung bersahutan, memecah gelap dan derasnya hujan. Lampu merah biru berkedip di antara kabut malam yang mulai menipis.

“Korban di dalam mobil ada dua orang!”

“Cepat! Mereka mengeluarkan banyak darah!”

“Jangan sampai korban mati kehabisan darah. Hubungi rumah sakit terdekat!”

Suara-suara panik itu terdengar di antara kesadaran yang mulai memudar. Rachel, dalam setengah sadar, mendengar teriakan dan langkah tergesa para petugas. Bau bensin, darah, dan logam memenuhi hidungnya.

Sakit luar biasa menyerang seluruh tubuhnya. Namun, bukan itu yang paling menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa dia hampir mati dalam keadaan dituduh, dibenci, dan dibuang oleh orang yang paling dia cinta.

Matanya perlahan tertutup, suara sirine memudar, dan kesadaran pun perlahan lenyap dalam sunyi yang menakutkan. “Sepertinya ini akhir hidupku.”

***

1
Ratih Tupperware Denpasar
lanjut kak/Pray//Pray/
Susi Akbarini
karena Tuhan Maha adil...

mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Tasmiyati Yati
mungkin biar mereka bisa merasakan kehidupan satu sama lainnya biar tidak selalu bertengkar karena fitnah orang orang sekitar nya
Ita rahmawati
mungkin supaya kamu tau penderitaan yg dialami rachel,,pertukaran itu secara lgsg membuka matamu yg selama ini tertutup
Ita rahmawati
siapkah itu 🤔
Ita rahmawati
terus aja lakuin apa yg kamu mau hill biar di masukin penjara secepatnya sm aiden
Ita rahmawati
males gtu hel,,ngapain belajar bisnis emang kalian akan selamanya tertukar 🤦‍♀️🤣
Hasanah Purwokerto
Biar Aiden bs merasakan penderitaan Rachel..
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
⁽⁽ଘ[🐾©️le🅾️🦋]ଓ⁾⁾
Astaga...ya kalian biar bisa akur🤣🤣
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu
juwita
biar km merasakan apa yg Rachel derita selama ini
Esther Lestari
ya supaya kalian bisa merasakan dan mengalami apa yang selama ini terjadi tanpa kalian tahu dan supaya kalian bersatu kembali sebagai suami istri😊
Sukhana Ana lestari: Itu semua udah kehendak yg diatas biar kamu ngalami & ikut merasakan apa yg Udah Rachel alami selama jd istrimu Aiden.. selama ini kamu ga pernah percaya sm sm omongan Rachel atas perlakuan duo parasit..
total 1 replies
partini
buat mata kamu terbuka ga merem terus kasihan dong istri mu lanjut Thor 👍👍👍👍👍🥰🥰🥰
Tasmiyati Yati
siapa tuh, laki laki apa perempuan oh jangan jangan si ulat bulu Sandra
Tasmiyati Yati
lawan hilary dengan elegan Rachel biar dia kena mental
Susi Akbarini
lanjutttt ...
❤❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
siapa ituuuuu...
😀😀😀😀❤❤❤❤
Noor hidayati
sandra si ulat bulu
Noor hidayati
senangnya selalu ada balasan balik pada hilary
juwita
ulat bulu Sandra x ya
sryharty
pasti si sandrong grandong
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!