Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Alergi Stroberi
Hari itu, Jordan duduk di dalam mobil hitamnya, jendela diturunkan separuh. Pandangannya terpaku pada halaman sebuah sekolah TK eksklusif yang ramai oleh anak-anak berlari dengan ceria. Akan tetapi, Jordan tak tertarik pada tawa-tawa itu. Matanya hanya mencari satu sosok kecil.
Ketika melihat bocah itu—Leon—berlari keluar gerbang dengan tas ransel biru, Jordan menarik napas dalam. Ada sesuatu dalam caranya berjalan, senyumnya, bahkan saat dia menyapu rambut ke belakang dengan tangan kecilnya. Terlalu familiar dan menyayat.
“Apakah kamu benar-benar anakku?” bisik Jordan, meski hanya untuk dirinya sendiri.
Seminggu terakhir, pikirannya tak pernah tenang. Sejak pertemuan itu, wajah Leon seolah menghantuinya. Dia mencoba untuk menyangkal dan berpikir logis. Namun, semakin Jordan mengamati, semakin hatinya menolak menyangkal. Akhirnya, hari ini dia mengambil langkah.
“Pak Jordan,” suara asistennya dari kursi depan membuyarkan lamunan, “berkas sekolah yang Bapak minta sudah lengkap. Ini profil TK Sinar Mentari. Ibu Laura terdaftar sebagai wali tunggal.”
Jordan menerima dokumen itu tanpa suara. Matanya menelusuri nama Laura yang tercantum jelas sebagai ibu kandung dan wali penuh. Tidak ada nama ayah. Kolom itu dikosongkan. Hatinya mencelus.
“Boleh saya pergi sendiri?” tanya Jordan pelan.
Asisten mengangguk, lalu turun dari mobil, membiarkan Jordan membuka pintu dan berjalan perlahan menuju pagar sekolah. Leon sedang duduk di ayunan. Seorang guru tampak memerhatikan dari kejauhan, tetapi tidak menghalangi saat Jordan mendekat dan duduk di ayunan sebelah.
“Hai,” sapa Jordan ringan.
Leon menoleh. Wajahnya langsung cerah. “Paman Jord!”
Jordan tersenyum. “Kamu masih ingat aku?”
“Ya! Mama bilang kamu bos mama dari kantor.” Dia mendongak polos. “Tapi kenapa Paman suka lihat aku kayak orang bingung?”
Jordan terkekeh, sekaligus terpukul oleh kepolosan itu. “Karena kamu bikin aku merasa seperti ngelihat cermin.”
Leon tertawa kecil. “Paman lucu.”
“Paman suka es krim! Apa kamu juga suka?” tanya Jordan yang mencoba menyembunyikan kegugupan.
Mata Leon berbinar. “Itu favoritku, Paman!”
Jordan tersenyum puas. “Mau ikut Paman sebentar? Kita beli, cuma sebentar saja. Mama kamu gak akan marah.”
Leon pun mengangguk sambil tersenyum lebar. Mereka berjalan ke minimarket terdekat. Jordan membiarkan Leon untuk mengamati mesin pendingin yang menyimpan es krim.
Leon cukup lama mengamati es krim yang ada di dalam sana. Tatapannya berakhir pada sebuah es krim cup dengan gambar buah stroberi. Jordan tersenyum lebar karena mengetahui apa yang diinginkan oleh Leon.
"Apa kamu suka es krim stroberi?" tanya Jordan sambil mengambil satu cup es krim stroberi.
"Aku belum pernah merasakannya, Paman. Mama selalu melarangku makan buah stroberi. Katanya terlalu asam untuk anak kecil." Sepasang mata Leon berkedip ketika menatap Jordan.
"Kalau begitu, ini rahasia kita! Hari ini kamu boleh makan es krim stroberi dengan paman!" ujar Jordan.
Senyum lebar kini merekah di wajah polos Leon. Keduanya duduk bersama di bangku taman dekat sekolah. Mata Jordan tak pernah lepas dari bocah itu. Cara dia menikmati es krim, tawa ringannya, semua terlalu akrab. Benar-benar seperti dirinya sendiri saat kecil.
“Bagaimana rasanya?” tanya Jordan.
“Karena rasanya manis dan dingin. ternyata begini rasa buah stroberi!” jawab Leon polos sambil mengunyah potongan kecil stroberi dalam cup es krim.
Hati Jordan mencair. Dia tak tahu bisa sebegini cepat merasa dekat dengan seorang anak. Melihat Leon seperti mendapatkan kembali bagian dari dirinya yang hilang.
Namun, momen itu buyar seketika ketika terdengar suara panik dari arah belakang. Sontak keduanya menoleh ke arah sumber suara. Laura terlihat panik ketika melangkah mendekat.
“Leon!” teriak Laura, berlari mendekat.
Leon melompat berdiri. “Mama!”
Laura langsung menarik anaknya ke pelukan, matanya menatap Jordan dengan kemarahan yang membara. Rahang Laura mengeras. Dia langsung menyembunyikan Leon di balik tubuhnya.
“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tertahan, tetapi jelas penuh tekanan.
“Kami cuma makan es krim,” jawab Jordan pelan.
Laura menoleh dan melihat cup es krim di tangan Leon. Seketika dia merebutnya dan melemparkannya ke tempat sampah. “Kamu gila? Dia alergi stroberi!”
Jordan terdiam. “Apa?”
“Leon bisa sesak napas kalau makan stroberi. Aku sudah bilang ke sekolah, ke semua gurunya untuk mencoret stroberi dari menu makan siangnya. Sekarang kamu dengan seenaknya ngajak dia makan itu? Apa kamu sengaja mau mencelakai Leon!” tuduh Laura.
Wajah Jordan berubah pucat. Dia menoleh ke arah Leon. “Kamu nggak apa-apa, Nak?”
Leon menggeleng, mulai terlihat panik. “Tenggorokanku gatal ....”
Laura langsung mengangkat anaknya, memanggil taksi daring dari ponselnya sambil terus bergumam, “Kenapa kamu ngelakuin ini, Jord? Kenapa kamu harus ikut campur?”
“Aku gak tahu dia alergi,” suara Jordan melemah. “Aku cuma ingin kenal dia lebih jauh.”
Laura menatap Jordan tajam. “Kenapa mau kenal lebih jauh? Karena dia mirip kamu? Karena kamu mirip, kamu pantas menjadi ayahnya? Kamu egois!”
Tak ada jawaban. Jordan hanya berdiri membeku, menyaksikan Laura membawa pergi anak yang diyakininya sebagai darah dagingnya sendiri. Jordan tak bisa berkutik dan rasa bersalah kini merantai hati lelaki tersebut.
Beberapa jam kemudian, Jordan duduk sendiri di ruangannya. Lampu belum dinyalakan meski matahari sudah tenggelam. Gelap dan sunyi. Dia memejamkan mata, memutar ulang kejadian siang tadi.
“Leon alergi stroberi,” gumamnya.
Padahal itu juga alerginya waktu kecil. Dia ingat ibunya selalu melarangnya makan buah merah itu. Bahkan sampai remaja, tubuhnya selalu bereaksi jika tak sengaja menelannya. Kebetulan? Rasanya tidak.
Perlahan, Jordan berdiri dan berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan. Dia membuka laci bawah, mengambil satu foto lama waktu kuliah. Dia dan Laura berdiri berdampingan di taman kampus, senyum mereka lebar. Foto itu sudah buram, tetapi perasaan yang menyertainya tetap tajam.
“Aku tahu kamu berbohong, Laura,” bisiknya lirih.
“Dan aku akan cari tahu semuanya.” Rahang Jordan mengeras sambil terus menatap foto usang tersebut.
Sementara itu, Laura duduk di sisi ranjang rumah sakit, menggenggam tangan kecil Leon yang sudah tenang setelah mendapat suntikan antihistamin. Anak itu tertidur dengan napas teratur. Akan tetapi, Laura tak bisa berhenti merasa bersalah.
Bukan hanya karena membiarkan Jordan mendekat. Namun, karena hatinya sendiri yang bimbang. Sesaat, dia merasa lega melihat kedekatan antara Jordan dan Leon. Akan tetapi, hal itu membahayakan.
Laura tahu Jordan semakin curiga. Dan jika dia sampai tahu kebenarannya, dunia yang selama ini dia bangun untuk melindungi Leon, bisa runtuh dalam sekejap. Laura menarik napas dalam dan menatap anaknya.
“Mama janji, gak akan biarin siapa pun ambil kamu dari Mama. Termasuk ayah kandungmu sendiri.”