NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8 RIMIN DAN RANGGA YANG BODOH

Gembok itu masih terkunci sempurna.

“Mati nggak dia, ya?” gumam Rangga setengah penasaran, setengah berharap.

“Tenang aja,” sahut Rimin santai. “Dia nggak bakal mati. Kemarin-kemarin aja masih hidup. Lagian, dia hidup cuma buat disiksa kok.”

Gembok itu dilepas.

Klik.

Terjatuh ke tanah, menghasilkan denting kecil yang langsung menggetarkan dada Rimin.

Rangga mengulurkan tangan, hendak membuka pintu toilet… tapi—mentok.

Tidak bergerak.

“Lho, kok... kekunci dari dalam sih?” gumam Rangga, keningnya mengerut.

Rimin menatapnya bingung. “Gawat, nih. Kalau kita paksa pakai linggis bisa bikin ribut.”

“Justru itu bodohnya,” bisik Rangga. “Kalau ribut, orang rumah bisa bangun!”

“Yaudah, kita gedor aja biar dia bangun sendiri,” saran Rimin polos.

Plak!

Rimin langsung dapat tamparan ringan di kepala dari Rangga.

“Lu bego ya? Dibilang jangan ribut!”

“Terus gimana dong?” keluh Rimin, mulai panik.

“Kita butuh lasan,” bisik Rangga. “Ada di gudang belakang.”

“Masalahnya… ini halaman belakang mana ada colokan listriknya,” jawab Rimin, mulai gemetar.

Pagi mulai merayap naik. Langit perlahan berubah dari hitam pekat menjadi abu-abu keperakan.

Rangga dan Rimin masih berdiri di depan toilet besi, wajah mereka penuh keringat dan panik.

Galih baru saja datang dan langsung masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Biasanya, dia akan bangun pukul enam tepat untuk sarapan.

Itu berarti… mereka hanya punya waktu kurang dari satu jam.

“Gimana dong?” bisik Rimin, matanya mulai berair.

“Bantu mikir dong, jangan nanya mulu!” bentak Rangga.

Mereka mulai mondar-mandir seperti ayam kehilangan arah. Dan tepat saat ayam tetangga berkokok, datang suara melengking yang membuat darah mereka beku:

“AYAAAHHHH!!”

“AYAHHHH!! TOLONG AKU!!”

“DOR! DOR! DOR!”

Pintu besi terguncang keras. Reza menghantamnya dari dalam. Suara dentumannya nyaring—membelah keheningan subuh seperti sirine darurat.

“Gawat,” gumam Dimas dari dalam rumah, wajahnya tegang. “Kenapa si Rangga belum bawa si Reza ke kamarnya lagi?!”

Vanaya yang sedang menyikat gigi langsung berhenti.

“Kalau ayah bangun dan dengar itu…”

Mereka saling pandang.

Dan hanya satu kalimat yang berputar di kepala semua orang:

“Kita dalam masalah besar.”

Suara teriakan itu semakin kencang, menggema dari dalam toilet besi tua.

“AYAHHHHH!! TOLONG!!! RANGGA MAU MEMBUNUHKU, AYAHHHH!!!”

Rangga pucat. Wajahnya seperti mayat hidup yang baru sadar dia sedang dikubur hidup-hidup.

“Reza, buka pintunya!” bisiknya panik, sambil mengetuk-ngetuk besi.

“REZA!! BUKA PINTUNYA, WOI!!” teriaknya lebih keras, mulai menggedor-gedor.

Tapi Reza di dalam tidak menggubris. Ia malah semakin kencang berteriak, seolah benar-benar sedang disiksa dengan parang di leher.

Yang tidak mereka tahu… beberapa menit sebelum Rimin kembali ke belakang, Reza sudah menyelinap diam-diam, masuk kembali ke toilet lewat atap belakang yang sudah ia congkel semalam.

Dia bahkan sempat memasang alarm jam yang ia sembunyikan di bawah tumpukan kain kotor—sebagai penanda waktu.

Hari ini, panggung utama miliknya.

Dengan napas diatur seperti korban trauma, Reza memukul-mukul pintu dan kembali menjerit:

“AYAHHHHHH TOLONG AKUUUUU!!! RANGGA MAU BUNUH AKU, AYAAAHHH!!”

Dari dalam rumah, terdengar suara pintu terbuka.

Langkah kaki berat. Suara sendal gesek di lantai.

Itu suara Galih.

“Rangga! Ada apa ini?!” bentak Galih dengan suara berat, matanya menyala penuh amarah.

Rangga dan Rimin langsung panik. Wajah mereka seperti anak kecil yang ketahuan mencuri celana dalam tetangga.

“Anjing tua ini udah datang... saatnya mengacau,” gumam Reza dalam hati, menahan senyum liciknya.

Lalu dengan suara lemah yang penuh drama dan tangisan palsu, ia mulai:

“Ayaaahhh… banyak tikus, ayahhh…”

“Aku takut, yahh…”

“Maafkan aku, ayah… nafasku sesak… ayahh…”

Galih sontak panik.

Jantungnya berdebar.

Baru semalam dia sempat bernapas lega karena Reza kembali pulang meski sudah disiksa habis-habisan oleh Dimas dan Vanaya.

Dan sekarang—drama kembali terjadi.

Kalau Reza mati hari ini, Naga Hitam pasti datang menagih janji. Dan itu artinya... seluruh harta keluarga Baskara bisa lenyap dalam semalam.

“Bodoh! Cepat dobrak pintunya!!” bentak Galih.

Tanpa pikir panjang, Rangga yang panik justru menendang pantat Rimin.

“Sakit goblok!” teriak Rimin.

“AYAAAHH... AKU MAU MATIII!!”

teriak Reza dari dalam, suaranya seperti orang sekarat, napasnya sengaja dibuat berat, seperti sedang dicekik makhluk gaib.

Rimin dan rangga dengan menggunakan badan mereka mendorong pintu itu sekuat tenanga, tapi sayang pintu memang di rancang untuk tidak gampang dibuka,beberapa kali mereka mendorak pintu tetap pintu tidak bisa dibuka

Suasana mendadak hening.

Dari dalam toilet, suara Reza tak terdengar lagi.

Galih makin panik. Matanya liar, napasnya berat.

Rangga dan Rimin saling pandang. Mulut kering, tangan gemetar.

“Bos… ini harus di-las, gak bisa didobrak,” bisik Rangga.

“Tunggu apa lagi?! Cepat ambil lasan dan buka pintunya!!” teriak Galih, emosinya meledak.

DOR!—ia menendang pantat Rangga, membangkitkan dendam kecil yang harus Rangga tahan untuk hidupnya.

“REZA!! BUKA PINTUNYA!!” teriak Galih lagi, suaranya nyaris parau.

Sementara itu, di dalam toilet… Reza membekap mulutnya dengan tangan, hampir tertawa terbahak-bahak. Matanya sampai berkaca-kaca menahan ledakan tawa.

“Haha… mampuslah kau. Senam jantung dulu lah kau, anjing tua,” bisiknya dalam hati.

Ia mengintip dari celah lubang kecil di dinding, melihat Galih yang hampir pingsan.

“Jangan mati dulu, anjing tua…” pikir Reza,

“Masih banyak kekacauan yang harus kau nikmati.”

Rangga dan Rimin terbirit-birit ke gudang. Tak lama, mereka kembali dengan peralatan las listrik lengkap—mesin las, gulungan kabel, elektroda, dan bahkan kabel roll sepanjang ular sawah.

Rimin sibuk menyambungkan colokan ke ujung kabel, memutar-mutar gulungan dengan cemas. Mesin las berdiri gagah, siap mengeksekusi pintu besi yang masih kokoh.

Galih datang, melihat itu semua—dan matanya langsung melotot seperti mau copot.

“BODOH… BODOH!!!”

“ANJING SEMUA ANJING!!!”

Galih mengamuk, wajahnya merah padam.

“LAS LISTRIK ITU BUAT NYAMBUNG BESI, GOBLOK!!”

Teriaknya nyaris seperti letusan granat.

DOR!

Kaki Galih kembali mendarat di pantat Rangga. Untuk kesekian kali pagi itu.

“Cepat ambil las oksigen!! Yang cutting torch!! BODOH!!”

Suara Galih nyaring membelah pagi yang baru mulai damai.

Sementara itu, dari dalam toilet…

Reza duduk bersandar, memeluk lututnya, menahan tawa sampai menggigit lengan baju.

Air matanya keluar—bukan karena trauma, tapi karena terlalu menahan ketawa.

“Astaga... ini orang-orang beneran dungu atau pelawak? Gua di-lock tapi mereka yang panik.”

“Teruskan... paniklah. Ayo, tambah tegang”

Rimin dan Rangga sibuk menggulung kabel dan mengangkat mesin las listrik yang baru saja mereka bentangkan—hendak mengembalikannya ke gudang.

Tapi suara Galih langsung meledak seperti petasan meleduk di telinga:

“GOBLOK! TOLOL!”

“Nanti aja beresinnya! Sekarang ambil las oksigen! CEPATTTT!!!”

Rangga dan Rimin langsung panik, seperti tikus yang baru lihat bayangan kucing. Mereka berlari ke gudang.

“Aduh!”

Rangga tersandung batu, jatuh berguling dua kali, menabrak karung pupuk. Rimin cuma bisa melongo.

Tak peduli. Mereka bangkit dan kembali berlari sambil menyeret tabung oksigen dan asetilena.

Sesampainya di depan toilet, mereka sudah ngos-ngosan seperti habis lomba karung.

Galih berdiri di sana, wajahnya seperti lava yang siap meletus.

“GAS LPG-NYA KE MANA, BODOH?!”

Rimin dengan polos menjawab:

“Tuan… kita orang kaya. Mana mungkin pakai gas LPG…”

PLAK!

Tamparan Galih mendarat telak di wajah Rangga, membuatnya oleng dua langkah ke samping.

“AMBIL GAS YANG DI DAPUR!!! BODOH!!!”

1
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!