NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wang Jingxuan & Si Nan - Passing by a Wind and Moon

Matahari merekah tinggi di antara awan, namun mesin terus-menerus berderit. Sosok Andreas dan karyawan lainnya telah hilang, menyisakan ruang kerja yang lebih sempit namun memberikan kesan hangat. Caroline maju dan tertarik pada satu potret pigura, ia mengambilnya dan terpaku sejenak.

Senyuman murni si pemilik tubuh dan tatapan lembutnya, Caroline merasa bahwa sosok di pigura ini terlihat begitu lembut dan.. rapuh. Ia menyadari auranya begitu berbeda. Jiwa di pigura itu seperti hembusan angin yang membawa kesegaran dan kelembutan, sedangkan ia seperti angin yang mengeras dan membabi-buta.

Hanya lelaki di dalam sana yang terlihat sama saja.

Aliran air bergemericik di dalam ruangan, kemudian pertanyaan tertuju padanya.

“Bagaimana, Lin? cukup melelahkan?”

Caroline meletakkan pigura ke tempatnya, melepas penutup kepala dan masker. Ia duduk di sofa dan mengangkat cangkir di atas meja. Saat menghirup wewangian serbuk coklat itu, wajahnya yang awalnya terlihat lebih lelah dari biasanya sedikit membaik.

Pratama maju dan memijat bahu wanita itu.

Awalnya Caroline menegang dan berhenti menghirup teh di tangannya. Lambat laun ia melemaskan ototnya dan sedikit menggerang puas karena layanan Pratama. “Sedikit melelahkan. Dari sini aku bahkan masih bisa mendengarkan mesinnya..”

“Ya, aku tidak memasang pelapis kedap suara dari luar. Namun di dalam sini suara kita tidak akan terdengar. Jadi ketika ada masalah, aku bisa langsung sigap keluar.”

Mendengarkannya, Caroline sedikit menaik-turunkan rahangnya, menyetujui alasan tersebut. Biasanya saat ada masalah, dibutuhkan pengawas atau pengendali yang mampu mengarahkan anak buahnya. Lagipula disini bukan hanya ruangan khusus Pram, melainkan manajer penanggung jawab dan apoteker.

Ia menilainya dari beberapa kertas yang tulisan tangannya bukan milik Pram. Kemudian sisa gelas kopi yang tertinggal di sudut almari. Buku Farmakope yang terbuka dengan halaman hampir robek.

Hmm… berarti jika aku berteriak disini tidak akan ada yang menyadarinya.

“…Jangan berteriak, nanti kacanya pecah.”

Caroline menoleh ke belakang dengan mata membulat, Pratama menegakkan rahangnya kembali ke depan. “Kau mengucapkannya begitu lantang.”

“Ah ya, termasuk kotoran burung di es krim si kecil itu.”

Caroline : “….”

Mata Caroline beralih ke pigura yang baru saja disentuhnya dan bertanya kembali,

“Pram, apakah itu foto kita sebelum menikah?”

Pijatan terhenti. Pram diam beberapa saat sehingga Caroline sedikit bingung. Saat ia memanggilnya lagi, lelaki itu menggerakkan jarinya lagi dengan nafas yang sedikit melemah. “Bukan. Itu pre-wedding kita.”

Mendeteksi sesuatu yang aneh, Caroline mencoba meluruskan dugaannya. “Hubungan kita, apakah tidak berawal dengan baik?”

Pratama menjawab, “Tidak baik, namun tidak buruk juga.”

Jawabannya ambigu. Caroline mendengarkannya dalam diam. Bibirnya menekan pinggiran cangkir dan teh herbal melembabkan tenggorokannya.

“Seperti dua orang yang seharusnya tidak bertemu? Menjaga jarak,” terka Caroline lagi.

“Bisa dibilang seperti itu. Namun seharusnya kita baik-baik saja.”

Seharusnya? Apa yang membuat mereka berada dalam posisi ini kalau begitu?

Pratama berhenti memijat Pundak Caroline dan mencium pucuk kepala istrinya dengan lembut. Merasakan kehangatan di ubun kepalanya menyebabkan bulu kuduk Caroline merinding. Seolah tidak memedulikannya,

Pram bergerak ke sisi lain dan membersihkan cangkir kotor setelah menutup buku yang terbuka. Lalu lelaki itu membuka pintu. “Ambil waktumu disini, aku akan mengawasi sisanya sejenak.”

Klik!

Pintu tertutup, kepulan asap teh masih mengepul ke wajah Caroline. Wanita itu menyesap sisa teh seduhan Pratama. Tidak terlalu hangat, juga tidak terlalu dingin. Dia merasa ada sesuatu yang salah, namun ia tidak tahu dimana yang salah.

Jika harus disalahkan, salahkan ia yang tidak mendapatkan ingatan dari tubuh ini sama sekali sehingga membuatnya harus menemukan semua lebih dalam.

Bahkan mungkin saja ia telah mengatakan sesuatu yang tidak disukai Pram.

Caroline berjalan ke beberapa sudut dan mencoba melupakannya, membaca beberapa kata yang ada di dalam buku dan mulai merasa sedikit pusing. Kata yang ada di dalam sini mirip dengan saat ia harus menghitung jumlah bintang di langit sebelum tertidur pulas.

Bukan dalam artian jumlah bintang yang ia lihat dari penjara. Itu membuatnya tidak bisa tidur tenang!

Oke kembali ke topik. Sekarang permasalahannya hanya satu. Pram, suaminya, sekarang tengah berada dalam perasaan yang buruk.

Kecanggungan itu berlanjut hingga ia dan suaminya kembali ke rumah. Pram yang ceriwis tidak lagi menunjukkan lidah gemulainya. Ruang tamu Pratama terasa lebih luas, lebih dingin, dan lebih sepi tanpa kehadiran pria itu. Caroline melangkah perlahan ke arah jendela besar, menatap gemerlap lampu pekarangan yang mulai menyala di kejauhan. Tanpa suaranya, ia menyadari sensasi kesepian tengah menggerogoti dadanya.

Tik! Tok! Tik! Tok!

Jarum jam berdentum tanpa henti. Beriringan dengan suara jangkrik yang berteriak hingga suaranya serak dan mengecil.

Kehidupan modern ini, dengan segala hiruk-pikuk dan misterinya, terasa seperti selubung yang membungkus dirinya, menyembunyikan kebenaran tentang siapa ia dan mengapa ia berada di sini. Pertanyaan tentang hubungannya dengan Pratama kini menjadi lapisan misteri baru yang menambah beban pikirannya.

Ia merasa rentan.

Caroline menghidupkan saklar lampu, awalnya mengira bahwa sensasi gelapnya dikarenakan penerangan yang tidak cukup. Tetapi ternyata rasanya sama saja.

"Katanya Baik-baik saja, lalu menjadi seperti ini. Apa yang diinginkannya?”

Wanita itu memejamkan mata, mencoba mencari petunjuk. Apakah ada pertengkaran besar? Pengkhianatan? Atau sesuatu yang lebih umum seperti perbedaan prinsip atau pemikiran yang terlalu jauh? Rasa dingin di tengkuknya saat Pratama menciumnya tadi kembali terasa. Itu bukan ketidaknyamanan karena sentuhan, melainkan karena ia merasakan ada sebuah kerenggangan yang begitu nyata di antara mereka, meskipun sentuhan itu seharusnya intim.

“Tahu gitu seharusnya aku tidak mengungkit pigura itu,” sesalnya.

Beberapa jam berlalu Caroline mencoba membaca buku, namun otaknya menolak memprosesnya. Ia mencoba menyalakan smartphone dan menggulir layar penuh kebosanan. Lima kali mencoba membuka dan ia sudah merasa bosan. Mengapa orang disini seperti tergila-gila dengan benda pipih tak berguna ini?

Jika pelajar atau pekerja mendengarnya, mereka pasti akan memelototkan matanya karena 24 jam non stop mereka tanpa henti menyentuh benda elektronik ini. Sialan, kata mereka.

Caroline menyalakan televisi, namun cerita-cerita di dalamnya terlalu cepat dan penuh warna. Iklan yang ditampilkan sedikit monoton. Ditambah tidak ada Natasya, alangkah baiknya jika gadis melon manis itu masih ada di rumah ini. Setiap usaha untuk mengalihkan pikiran justru mengembalikannya pada pertanyaan yang menggantung, mengapa Pratama menghindarinya?

Dia tidak tahu kata mana yang menyinggungnya, dan sampai kapan lelaki itu bungkam.

Malam ia habiskan tanpa kehadiran sang suami. Kemudian dua malam berikutnya ketika makan malam tiba, Pratama keluar dari ruang kerjanya. Sosok yang raib dari pandangan Caroline akhirnya menampakkan batang hidungnya.

Wajahnya terlihat lelah, dengan bayangan hitam tipis di bawah mata. Ia berbicara tentang pekerjaan, tentang investigasi batch obat yang tertunda, menjelaskan dengan rinci bagaimana tim Andreas menemukan tanda degradasi dini akibat ketidaksempurnaan pada salah satu bahan tambahan yang diimpor.

“Untungnya produksi belum dilakukan dalam skala besar. Bisa jadi masalah besar kalau sampai ke tangan konsumen. Aku sedikit salut pada ketelitianmu, terima kasih,” apresiasinya dengan nada datar.

Pujian yang seharusnya terdengar menyejukkan hati, justru menimpakan batu pada penerima pujiannya.

Caroline merasa sedikit bangga namun lebih banyak bingung. Fokus Pratama pada pekerjaan, pada masalah pabrik, terasa seperti sebuah dinding. Sebuah pengalihan. Ia tahu Pratama sedang menghindarinya, namun tidak tahu bagaimana cara menembus dinding itu.

Terbukti setelah makan malam itu, Pratama kembali mengungsi ke ruang kerjanya.

“Komunikasi itu penting, tapi jika lawan bicaranya bermain kucing-tikus begini, gimana caranya aku berbicara baik-baik?”

Dulu di masanya, ia memang terbiasa karena suaminya hanya akan datang saat ingin “dilayani” dan pergi setelah merasa puas.

Tidak ada ikatan atau perhatian. Berbeda dengan Pram yang lebih perhatian dan terbuka. Bak diberi gulali manis lalu tiba-tiba diberi brotowali pahit.

Pikiran wanita itu berkelana, memikirkan apa saja kemungkinan yang mampu merusak hubungan dua orang ini. Caroline membawa piring kotor ke dapur dan bergumam pelan.

“Masa lalu? Wanita lain? atau...” Piringnya hampir jatuh jika ia tidak menahannya dengan benar, wajahnya sedikit memerah saat memikirkan dugaannya yang konyol namun pernah populer di masanya.

“Apakah anggota bawahnya tidak berfungsi semestinya?”

Pikiran itu membuatnya sedikit geli, namun juga khawatir. Bagi dirinya yang masih berusaha memahami tata krama sosial modern, ia tidak tahu bagaimana menyikapi kemungkinan-kemungkinan itu.

Apakah di dunia ini ada cara untuk bertanya hal pribadi seperti itu secara langsung?

Ataukah ada isyarat lain yang harus ia pahami?

Caroline tidak dapat menebak apakah itu karena batch obat yang ditunda menimbulkan masalah baru bagi perusahaan Pram, atau Pram yang sengaja menghindar. Malam itu, ia menghabisi malam penuh kegelisahan.

Aroma teh herbal yang seharusnya menenangkan kini terasa getir. Ia tahu, untuk memahami dirinya, ia harus terlebih dahulu memahami pria di sampingnya, dan misteri yang menyelimuti hubungan mereka.

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!