Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dititip Allah aja
Setelah menimbang-nimbang kesepakatan, baik buruknya, dan ogah-ogahannya para gadis akhirnya sudah diputuskan jika survei lokasi akan dilakukan oleh sebagian anggota kelompok terutama anggota laki-laki.
"Belum apa-apa gue udah ngerasain capeknya, tau ngga..." keluh Vio. Jovian tertawa, "mau gue pijitin ngga Vio?"
"Najis." Ketus Vio mendesis sambil bergidik macam pegang-pegang ta-i. Senja bahkan sudah melakukan hal random dengan menelfon ibunya dan merengek mengadu, "mami, kalo nanti Senja pulang kkn berubah jangan mempertanyakan fakta dan DNA Senja anak mamih atau bukan..."
"Yo, siapa lagi yang mau termehek-mehek dulu? Mau pake bahu gue buat bersandar ngga atau bahu jalan biar lebih lebar?" tanya Arlan, "Mei mine mungkin?"
"An jink." Umpat Maru yang tersedak minumnya karena panggilan refleks Arlan pada Mei.
"Bisa banget biji kedongdong," Alby menyeru.
Mei hanya diam saja sambil berkutat bersama buku notesnya sebagai tugas pertamanya menjadi seorang sekertaris, ia langsung mencatat hasil pertemuan hari ini.
"Di catat dulu apa-apa aja peralatan yang mesti dibawa. Ntar bisa dilengkapi kalau anggota cowok udah balik dari survei lokasi." Ujar Jingga menatap Mei, ia mengangguk paham, benar-benar sekedar anggukan paham, lantas kembali menunduk setelah itu. Jujur saja, ini pertama kalinya lagi interaksinya dengan Jingga setelah 4 tahun mereka seperti orang asing. Meski singkat, namun rasa gugupnya tak kalah hebat dari sewaktu ia demam, untung ngga kejang-kejang.
"Ga, ini kita berangkat tanggal 14 Juli kan?" tanya Arshaka diangguki Jingga, "makanya mesti segera survei lokasi, jadi bisa mulai dipikirkan rancangan proker goals kita, biar nanti pas seminar di depan LPM sama DPL udah mantap, tinggal di ajukan terus nunggu acc-an."
Mahad menyeruput sisa jus miliknya, "kapan kita berangkat survei?"
"Lebih cepat lebih baik. Minggu ini?" tiba-tiba tanya Jingga sambil menaikan kedua alisnya memberikan option yang sebenarnya adalah bentuk perintah mutlak.
"Bentar njir..minggu ini gue ada keperluan." Ungkap Mahad lagi.
"Kemana? Ngga usah so penting deh Mahad..." cecar Senja yang baru saja selesai bertelfon ria dengan sang ibu, "cepetan deh survei, kok gue yang resah gini ya nunggu survei lapangan..." ia duduk kembali.
"Main golf." Singkatnya padat dan jelas.
"Becanda," kekeh sumbang Maru.
"Ngga penting banget sumpah." Cibir Syua, dan Mei hanya mendengus saja, "ada lagi yang mesti gue catet?" kini ia memberanikan diri menatap Jingga, namun ketika Jingga balas menatapnya, Mei nyatanya tak seberani itu.
"Ngga ada. Sementara itu aja..." senyum miring tersungging dari Jingga setelahnya.
"Oke." Angguk Mei. Mendadak suara lantang Alby berteriak membuat gendang telinga hampir pecah, "aaaaa...."
Plak! Syua yang berada dekat dengan Alby sudah menggeplak punggung pemuda fakultas pertanian ini.
"Berisik njirrr, apaan sih, gaje!" omelnya.
"Ayolah guys, semangat-semangattt! Mengabdi di tengah masyarakat. Bikin yel-yel dong.. Go...go...go...21 goes to Cikalong goes to be kalong wewe!"
Nalula sudah meledakan tawanya menyadari kerandoman kelompok mereka, ucapan yel-yel itu umumnya membangkitkan semangat bukan justru semakin menambah kesan horor. Mei ikut tertawa renyah, dan tanpa ia sadari sepasang mata dari balik akuarium di depannya sudah menatap Mei lekat.
Kondisi mencair itu seketika kembali membeku ketika seseorang menghampiri kumpulan mereka dengan senyum cantiknya, "Ga. Kenapa ngga bilang disini, padahal kan aku bisa nyusul dari tadi..." seorang perempuan berjilbab pastel menyentuh pundak Jingga seolah sedang menunjukan hak kepemilikan atas Jingga di depan kelompok KKN 21 ini.
"Oh hay...ini kelompok baru kamu ya, Ga?" tanya nya antusias.
"Hay Kana..ngapain nyusulin bang Jing.. Mau minta jajan mie jebew ya?" ujar Jovian. Mei lantas mengalihkan pandangannya kembali ke arah notes. Salah satu alasan dirinya tak mendatangi Jingga saat pertama datang ke kampus nyatanya baru saja datang. Radarnya memang kuat ternyata....
"Oh, iya. Aku ngga liat lagi hape. Sorry..." dan double kill! Jingga menyarangkan usapan lembutnya di punggung tangan Kana yang bertengger di pundaknya.
Sakit? Ia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan rasa itu sekian lama, jadi berdenyut yang ia rasakan sekarang akan ia anggap layaknya obat, pahit dan sakit sedikit hanya untuk sebentar saja demi kesembuhan.
Mei menjatuhkan badannya di sofa, setibanya ia dengan wajah memerah karena letih dan panas, Mei langsung loyo nan meleleh tanpa mau bergerak bahkan untuk sekedar mengganti pakaian atau ke kamar mandi terlebih dahulu.
Panas karena sepertinya siang ini matahari sedang gencar-gencarnya bikin makhluk bumi jadi arang, dan panas karena adegan sentuhan manis yang terjadi tepat di depan matanya harus kembali mengorek kisah lama yang manis sekali untuk dikenang, saking manisnya....sampai sekarang Mei begitu kesulitan untuk melupakan Jingga. Pasalnya mereka berpisah bukan karena pertengkaran hebat mengalahkan pertempuran Bubat, atau Mei yang tersakiti Jingga.
"Kok langsung begitu, ngga niat ke kamar mandi dulu?" mama Inka melintas dan mendaratkan sorot mata tak percayanya pada Mei.
"Bentar ma, ini aku masih capek." Hilang, senyap...suara mama Inka tak lagi terdengar setelah itu karena ia yang masih sibuk dengan kegiatan siang ibu-ibu rumah tangga.
Cukup lama hingga membuat otak Mei tenang dan nyaman untuk sejenak, nyatanya mama Inka tak benar-benar membiarkan sang putri untuk bersantai sampai tertidur.
Ia mencondongkan badannya hingga kini saat ia bicara dengan berbisik, Mei langsung melotot terkejut, "jadi, gimana kabarnya kkn?"
"Aku kkn bareng....Jingga, mama masih ingat kan?"
Dan ucapan itu justru memiliki reaksi berbanding terbalik dari mama dengan yang ditunjukan olehnya tadi di kampus. Mama justru lebih---menatap penuh binar harapan. Seolah kembali menemukan permata yang hilang dan cukup ia rindukan, saat mendengar kata Jingga.
"Oh bagus dong, mama jadi bisa titipin kamu sama Jingga."
Mei melirik dengan mata pedangnya cepat, yang benar saja. Dititip, dipikir barang?
"Eh, udah lama banget ya...udah berapa tahun coba, Jingga kok ngga pernah main kesini, kamu ngga kasih tau kamu balik ke Jakarta lagi apa gimana?" cecaran pertanyaan mama semakin membuat kepalanya pening saja dan memilih hanya menjawab engga dan ngga tau saja. Jawaban paling munafik yang ia keluarkan setelah dulu ia sempat bilang pada seseorang jika ia akan baik-baik saja tanpa dirinya.
Mei meloloskan nafas lelahnya, seperti baru menanggung beban yang teramat berat.....
"Sudah konsul sama dokter Dewi? Obat?" papa Adit meledakan kekhawatirannya pada sang putri. Dan Mei, tanpa semangatnya mengangguk.
Seperti---helaan berat itu berkali-kali ia hembuskan sebelum kenyataan pahit jika ia akan hidup bersama orang itu dalam waktu 45 hari ke depan, apa yang mau ia lakukan cobak?! Bagaimana ia harus bersikap?
"Hindari aktivitas yang memicu luka. Atau aktivitas berat yang bakalan beresiko memperburuk kondisi kamu."
Kini ia meloloskan kata, iya pah...
"Mama bilang kamu satu kelompok sama Jingga?" kembali pertanyaan yang berputar di Jingga harus menjadi topik malam ini, di meja makan pula...bikin naf suu makannya tertebak angin mengingat adegan usap binti mengusap siang tadi dan semua potret sepasang kekasih itu selama di kampus yang terbingkai oleh netra Mei kembali mengulas kaset yang di rewind dan bikin hati mencelos sakit, "Jingga udah punya cewek deh pa, jangan berpikir mau telfon terus titip Mei...no, itu ide buruk."
"Loh, emangnya kalo punya pacar kenapa? Toh ngga minta dititip sebagai istri juga, kan..." suara mama berhasil membuat Mei menoleh horor, mungkin maksud mama...loh, emangnya kalo punya pacar kenapa? Toh janur kuning belum melengkung kan?! Sebab kini tampang mama Inka terlihat mengernyit tengil.
Makin ngaco.
"Dititip aja sebagai teman, seenggaknya kalo ada apa-apa kamu ngga canggung. Jingga juga lebih tau kondisi kamu, daripada yang lain...biar lebih perhatiin kamu aja."
Apa? Kembali Mei menoleh horor pada mama, perhatiin gimana maksudnya?! Lalu usahanya yang selama ini berusaha untuk tak jadi pusat perhatian Jingga harus sia-sia begitu saja? Oh ayolah, sejak awal kehadirannya kembali di Jakarta, bahkan Jingga sudah memusuhinya.
Dengan wajah ketusnya Mei mencoba memberikan pengertian, "dititip Allah aja, Mei kan punya Tuhan..."
.
.
.
eeeeh tapi ngapain jingga n mei didlm????
jadi jangan ada yg di tutup²in lagi ya cantik