Aku seorang gelandangan dan sebatang kara, yang hidupnya terlunta-lunta di jalanan, setelah ibuku meninggal, hidup yang penuh dengan kehinaan ini aku nikmati setiap hari, terkadang aku mengkhayalkan diriku yang tiba-tiba menjadi orang kaya, namun kenyataan selalu menyadarkanku, bahwa memang aku hanya bisa bermimpi untuk hidup yang layak.
Namun di suatu siang bolong, saat aku hendak menata bantal kusam ku, untuk bermimpi indah tiba-tiba, ada segerombolan pria berpakaian rapi, mereka menyeretku paksa, tentu saja hal seperti ini sudah biasa, aku kira aku kena razia lagi.
Dan ternyata aku salah, aku dibawa ke rumah yang megah dan di dudukan di sofa mewah berlapis emas, karena terlalu fokus pada kemewahan rumah itu.
Tiba-tiba saja aku adalah anaknya, dan besok aku harus menikah dengan duda beranak satu yang tak bisa bicara, untuk menggantikan kakakku yang kabur.
Ayo baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie Alfredo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. 500 juta
"Sudah Bella kau tidak bisa merengek begitu." ujar Vania.
"Tapi nyonya, saya benar - benar merasa bersalah pada tuan muda." Ujar Bella.
" Tapi penyesalanmu tidak ada gunanya." ujar Vania.
"Ah benar ya." Bella pun berhenti merengek lagi, dia kembali tenang.
Vania pun mengatakan banyak hal tentang anak nakalnya itu, jika anak itu sangat cerdas dan sudah memiliki pendirian sendiri.
"Apa anda dendam pada keponakan saya?" tanya Bella.
"Apa aku ini orang yang seperti itu?" tanya balik Vania.
"Saya rasa anda tidak akan mudah menyimpan dendam." ujar Bella tersenyum.
Namun tiba-tiba Bella menanyakan pendapat Vania tentang Divon.
"Nyonya, apa anda memilikinya kesan khusus pada Tuan Divon?" tanya Bella tampak sungguh - sungguh.
"Ya, dia bukan suami biasa!" jawab Vania, karena baru menikah sehari Divon sudah tahu asal dia seorang gelandangan.
"Anda menyukainya?" Bella tampak terkejut dan memasang wajah tidak senang.
"Tutup mulutmu Bella, aku tidak tertarik padanya!, kau jangan khawatir aku tidak akan ikut campur tentang urusanmu." ujar Vania.
"Ah, baik terimakasih nyonya, anda tidak boleh suka dengan Tuan Divon, atau nanti anda akan menderita." Ujar Bella.
"Apa kau harus membahas masalah perasaan di saat seperti ini?, biarkan aku tenang dulu dan mencoba beradaptasi dengan keluarga luar biasa ini." ujar Vania.
Bella pun mengangguk mengerti dan pergi, agar Vania bisa beristirahat dengan tenang.
Vania tidak tahu apa yang akan dilakukan Bella dengan keluarga itu, yang jelas dia tidak mau terlibat, dia hanya akan menikmati fasilitas yang ada dan menjinakkan anak tirinya, masalah Divon itu tidak perlu diambil pusing.
Baru mengucapkan hal itu, tiba-tiba Mutia datang membawa beberapa obat herbal untuk kesuburan.
Aku memang tidak bisa menganggap remeh, nenek tua ini memiliki harapan yang tinggi.
Dalam hati Vania.
"Ibu, aku kan tidak penyakitan, ibu kan juga lihat sendiri hasil cek medical nya." ujar Vania.
"Menantuku, apa kau tersinggung, aku tidak bermaksud menyinggung mu, tapi ini ada perhatian ku untukmu." ujar Mutia memberikan obat herbal kesuburan itu pada Vania.
"Aduh, Ibu sangat baik ya." Vania pun terpaksa menerima dan mengucapkan banyak terima kasih pada Ibu mertua nya.
Mutia pun banyak memberi pengertian pada Vania agar lebih berlapang dada dengan sikap anak Divon dan juga Divon itu sendiri.
" Tenang saja Bu, saya baik-baik saja." jawab Vania tersenyum.
"Aku tidak suka dengan orangmu itu, karena dia ada hubungannya dengan masalalu putraku, tapi kalau dia bisa membujuk dan membawa pergi anak itu, aku akan memberikannya kesempatan itu." Ujar Mutia tersenyum, dia tampak seperti ibu mertua yang sangat memihak menantunya.
"Memang Divon mengijinkan putranya di asuh orang lain?" tanya Vania.
"Kurang tahu juga Vania, tapi hanya anak dari dirimu saja yang akan aku akui." Tegas Mutia.
"Ya terimakasih Ibu." jawab Vania tersenyum.
"Kau mau istirahat ya, kalau begitu ibu keluar ya." ujar Mutia segera berjalan keluar kamar Vania.
"Huft... kenapa berputar-putar, Bella datang untuk mencari keadilan, tapi ibu mertua menginginkan anakku, dan berharap anak itu di buang, tapi ah ... ikut gila lama - lama aku ini!" Vania menjambak rambutnya karena sangat pusing.
Tiba-tiba ada yang mengetuk dahinya
"Apa kau gila, menarik rambutmu seperti itu?"
Vania terkejut melihat kedatangan Divon yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya, dengan kertas andalannya.
"Keluarga mu yang gila!" ujar Vania kesal.
"Kenapa kau mau menikahi ku?" Tulis Divon.
"Aku kan dipaksa, kau tahu aku ini gelandangan bukan, aku tahu kau ini pasti sudah mencari tahu latar belakangku, aku tidak berpendidikan tapi aku bisa baca tulis dan berbahasa inggris." ujar Vania santai.
"Kalau kau bisa menjaga Lenard dengan baik aku akan memberikanmu gaji bulanan 500 juta." Tulis Divon.
"Tunggu - tunggu, Li-li-lima, satu, dua, tiga, empat lima enam tujuh delapan ya enolnya?, kau tidak salah tulis?" Vania membolak-balikkan kertas Divon.
"Mau tidak?" Tulis Divon.
Vania langsung menyalami Divon dengan sangat bersemangat.
"Tapi aku tidak punya rekening, atau brangkas." ujar Vania.
"Tenang saja semua ada disini!" Tulis Divon sambil memberikan kartu debit pada Vania.
"Terima kasih, ehmm siapa aku harus memanggilmu?" tanya Vania.
"Terserah!" tulis Divon.
"Kalau begitu, suamiku ... Dimana anak kita?" tanya Vania bersemangat.
Mata Divon terbelalak, dia hampir saja kelepasan bicara, setelah bertahun-tahun pura-pura membisu.
Apa dia ini sungguh hidup dijalanan?
Dalam hati Divon.
Melihat Vania bersemangat mencari Lenard, Divon tersenyum.
"Lenard..." panggil Vania sambil berjalan mencari di sekitar kediaman Sandreas.
"Apa yang kau lakukan diatas pohon?, bagaimana kau sekecil itu bisa naik?" ujar Vania segera ikut memanjat pohon, memanjat pohon, dinding dan pagar itu bukan hal yang sulit untuk anak yang setiap hari hidupnya kejar tayang bersama Satpol-PP.
"Kau tidak bisa turun nanti nangis!" ujar Lenard.
"Aku ahlinya dalam hal ini, aku akan membuat rumah pohon di sini, ini tempatku sekarang, jika kau mau ke sini harus menjadi temanku." ujar Vania.
"Sudi!" sahut Lenard.
"Kalau begitu kau turun!" pinta Vania.
"Apa kau harus berebut dengan anak kecil?" ujar Lenard heran.
"Mana ada berebut, aku kan mengajakmu berteman, kan umur kita juga tidak jauh-jauh amat, kau 5 tahun, aku baru 20 tahun hanya beda 15 saja kan." Ujar Vania percaya diri.
"15 belas ?, 5 ke 20 itu jauh, aku saja mengerti, apa kau bodoh." ujar Lenard terkekeh.
"Ya, aku belum pernah bersekolah!" ujar Vania.
"Jangan omong kosong!" Lenard tidak percaya sama sekali.
"Kau mau ku beritahu soal rahasiaku?" ujar Vania.
"Tidak, aku masih kecil tidak mau kau Bebani dengan kerumitan mu." ujar Lenard memang tidak mau tahu.
"Aku pengganti kakakku, aku adalah anak haram yang tinggal menggelandang, dan tahu-tahu jadi ibu tiri mu dalam semalam." ujar Vania.
Lenard terdiam, tidak ada yang keluar dari bibirnya, namun tampaknya dia mendengarkan dengan baik.
"Aku harap kau mau bersekolah dengan baik, lalu kau bisa menceritakan padaku bagaimana bersekolah, dan bertemu teman sekolah, saat di usiamu aku sering dipukuli dijalanan, karena duduk di dekat sekolah, karena penasaran dengan sekolah, dan aku sering di usir karena kucel dan mengganggu pemandangan." Ujar Vania lanjut bercerita.
"Aku akan bersekolah." tiba-tiba saja Lenard mengatakan hal itu.
"Wah itu bagus, apa kita sekarang adalah teman?" tanya Vania senang.
"Ya, aku lapar apa kau bisa memasakan makanan?" tanya Lenard.
"Heheh, tidak bisa teman, maafkan aku." ujar Vania terkekeh.
"Kalau begitu bisakah kau meminta orang dapur memasakan paha ayam?" ujar Lenard.
"Baik teman, kita turun dulu, ayo kita ke dapur." ujar Vania bersemangat karena akhirnya dia bisa sedikit lebih dekat dengan Lenard, dengan menjual kesedihan.