NovelToon NovelToon
SENORITA DEL AMOR

SENORITA DEL AMOR

Status: tamat
Genre:Misteri / CEO / Roman-Angst Mafia / Tamat
Popularitas:31.8k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

Series #1

•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••

Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.

Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 : Hari Pertama

...•••Selamat Membaca•••...

Hari pertamanya sebagai mahasiswi kedokteran dimulai lebih pagi dari biasanya. Matahari bahkan belum tinggi saat Maula keluar dari rumah di La Moraleja. Jalanan masih basah oleh embun malam, dan langit Spanyol berwarna biru pucat dengan semburat jingga di ujung timur.

Maula berangkat dengan mobilnya sendiri, berjalan sambil menggenggam ransel berisi buku catatan, tablet, dan jas lab putih yang baru.

Perjalanan menuju kampus hanya memakan waktu 18 menit via M-12 dan sambungan ke M-607, sebelum mobil berbelok ke arah utara menuju kampus utama Universidad Autónoma de Madrid (UAM) di kawasan Cantoblanco. Kampus ini luas, lebih seperti kota kecil daripada universitas. Dikelilingi oleh hutan, taman liar, dan jalur sepeda, atmosfernya terasa tenang—terputus dari keramaian Madrid.

Fakultad de Medicina (Fakultas Kedokteran) terletak di sisi timur kompleks kampus, di Calle Arzobispo Morcillo, s/n, 28049 Madrid.

Gedung utamanya adalah bangunan modern berlapis kaca dan beton putih, menjulang lima lantai dengan pintu utama yang menghadap taman terbuka dan lahan parkir mahasiswa.

Tepat di depannya, terdapat Hospital Universitario La Paz, rumah sakit rujukan yang menjadi tempat praktik para mahasiswa kedokteran UAM.

Begitu masuk, udara dalam gedung dingin dan steril. Bau khas koridor medis campuran alkohol, kertas, dan formalin segera menyergap indra penciuman Maula.

Aula utama dipenuhi oleh mahasiswa baru dari berbagai penjuru dunia.

Beberapa berasal dari Spanyol, lainnya dari Jerman, Italia, bahkan Kolombia dan Nigeria, beberapa dari Indonesia melihat dari raut wajah mereka. Di atas mimbar aula, seorang wanita paruh baya berseragam putih dengan name tag Dra. Helena Cruz berdiri dengan penuh wibawa.

“Bienvenidos a Medicina. En este lugar, no solo van a aprender a curar el cuerpo, sino también a mirar más allá de la enfermedad,” ucapnya dalam bahasa Spanyol cepat tapi jelas. (Selamat datang di Fakultas Kedokteran. Di tempat ini, kalian tidak hanya akan belajar menyembuhkan tubuh, tapi juga belajar melampaui penyakit itu sendiri.)

Maula mencatat beberapa frasa sambil berusaha memahami. Ia tahu, akan butuh waktu untuk benar-benar berpikir dalam bahasa ini. Tapi ia juga tahu, inilah langkah pertamanya.

Setelah sambutan, para mahasiswa dipandu menuju Laboratorio de Anatomía, ruangan yang terletak di lantai bawah.

Lorong menuju ruang itu sunyi dan redup, dengan lantai keramik putih mengkilap.

Di dalam, meja-meja otopsi baja berderet, masing-masing ditutupi kain putih. Di salah satu sisi, lemari pendingin besar menyimpan spesimen—sebagian besar adalah tubuh manusia yang didonorkan untuk pembelajaran.

“Hoy, conocerán a su primer paciente: el cadáver,” ucap profesor mata kuliah anatomi, Dr. Rafael Domenech, dengan nada datar. (Hari ini, kalian akan bertemu pasien pertama kalian: mayat.)

Beberapa mahasiswa memejamkan mata saat melihat mayat di depannya, berbeda dengan Maula karena dia sudah sering melihat mayat.

Bukan melihat, bahkan dia sering menjadikan manusia yang masih bernyawa menjadi mayat tak berguna.

“Hai, kamu dari Indonesia?” sapa seorang gadis seusianya pada Maula.

Maula menoleh dan tersenyum, gadis berhijab hitam itu mengulurkan tangan.

“Sofia Khaira, kamu?”

“Maula Chulpan Maximillian. Kok tau aku dari Indonesia?” tanya Maula bingung karena dari segi wajah, Maula sama sekali tidak terlihat seperti orang Indonesia. Karena kedua orang tuanya bukan berasal dari Indonesia seutuhnya.

“Tadi aku mendengar kamu bicara ketika menulis di buku.” Maula tersenyum karena memang tadi dia mengoceh dengan bahasa Indonesia.

“Oh iya, aku lupa.”

“Kau mau menjadi temanku? Maaf lancang, semenjak aku datang ke sini, beberapa orang justru menjauhiku karena mereka menganggap aku teroris.” Maula merasa kasihan, pasti Sofia dibilang seperti itu karena wajahnya yang lebih condong ke arab dan mengenakan hijab pula.

“Tentu boleh, kamu Indonesia asli?”

“Bukan, ayahku asli Madinah dan ibuku Bandung. Kami tinggal di Bandung dan aku mendapatkan beasiswa di sini.” Maula mengangguk dan menggandeng tangan Sofia.

“Mulai sekarang, kita berteman.” Sofia begitu senang karena ada juga orang yang mau menerima dirinya.

Maula dan Sofia duduk di barisan keempat dari depan, tepat di tengah ruangan yang luas dan terang. Ini adalah Aula Miguel de Unamuno, salah satu ruang kuliah terbesar di Fakultas Kedokteran Universidad Autónoma de Madrid (UAM). Terletak di lantai dasar gedung utama, aula ini dinamai dari tokoh filsuf dan penulis terkenal Spanyol. Kapasitasnya hampir 300 mahasiswa, dengan deretan kursi kayu yang melengkung mengikuti bentuk setengah lingkaran.

Dindingnya dilapisi panel akustik berwarna krem dan cokelat muda, dan di depan—di balik mimbar kayu tua terpasang layar putih besar untuk proyeksi materi kuliah. Cahaya matahari menyusup lewat jendela tinggi di sisi kanan ruangan, memantul pada papan tulis digital yang belum menyala.

Di sekelilingnya, suara-suara dalam bahasa Spanyol menggema. Beberapa mahasiswa bicara cepat, tertawa kecil, saling bertukar jadwal, dan membuka laptop.

Sementara itu, Maula hanya menatap ke depan, berusaha menguasai gemuruh dalam dirinya. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu, setiap kalimat yang diucapkan di aula ini akan menentukan masa depannya sebagai seorang dokter.

“Hei gadis sorban, kau tidak membawa bom ke kampus ini kan?” ledek salah seorang mahasiswa pada Sofia, dengan tangan yang sudah berkeringat dingin, Sofia tidak menjawab dan hanya menunduk.

“Jangan sampai kampus elit ini hancur karena kamu ya,” ujar mahasiswa lain hingga beberapa orang ikut meledek bahkan menghina Sofia.

Maula berdiri dan menantang mereka dengan pisau kecil yang dia arahkan ke leher salah satu mahasiswa yang meledek Sofia.

“Jaga bicaramu, kalau tidak, kau akan menjadi bahan praktek di hari pertamaku ini,” ujar Maula dengan tegas yang membuat mereka seketika terdiam.

Maula kembali duduk dan memegang tangan Sofia yang mulai dingin. Memang tidak mudah bagi seorang gadis berhijab masuk ke negara yang minoritas muslim.

“Jangan diambil pusing, mereka tidak akan mengejekmu lagi,” kata Maula menenangkan.

“Terima kasih Maula.”

Pukul 08.00 tepat, pintu samping terbuka. Seorang pria tinggi berjubah putih masuk dengan langkah tegas dan wajah serius. Namanya Dr. Fernando Llorente, pengajar biokimia dan farmakologi medis. Ia membawa map kulit dan kacamata bulat yang menggantung di saku jas lab-nya.

“Buenos días a todos,” ucapnya singkat, nyaris tanpa ekspresi.

“Buenos días, profesor,” jawab ruangan serempak. Maula dan Sofia ikut mengucapkan, meski suara mereka tertelan lautan suara lain.

Dr. Llorente menyalakan proyektor dan menampilkan slide pertama yaitu “Introducción a la bioquímica médica.”

“Hoy hablaremos de la célula, la base de la vida, y por qué entender su funcionamiento es esencial para todo médico. Aquí, no memorizamos. Aquí, comprendemos.”

(Hari ini kita akan bicara tentang sel, dasar kehidupan, dan mengapa memahami cara kerjanya sangat penting bagi setiap dokter. Di sini, kita tidak menghafal tetapi kita memahami.)

Setiap kata yang meluncur dari mulut profesor itu cepat, padat, namun logis. Maula mencatat dalam dua bahasa, istilah medis ditulis dalam bahasa Spanyol, sementara catatan pinggirnya tetap dalam bahasa Indonesia. Ia tahu, butuh waktu untuk transisi penuh. Tapi ia juga tahu, inilah jalannya.

Menjelang akhir kuliah, Dr. Llorente memberikan satu pertanyaan untuk membuka diskusi.

“Qué pasaría si una célula no pudiera sintetizar proteínas?”

(Apa yang akan terjadi jika suatu sel tidak bisa mensintesis protein?)

Hening. Beberapa mahasiswa saling pandang. Maula mengangkat tangannya. Perlahan. Tak ada yang menyangka.

“Profesor… si no puede sintetizar proteínas… entonces la célula no puede reparar tejidos ni producir enzimas esenciales. Morirá lentamente, creo.”

(Profesor… jika tidak bisa mensintesis protein… maka sel tidak bisa memperbaiki jaringan atau memproduksi enzim penting. Sel itu akan mati perlahan, saya rasa.)

Dr. Llorente menatapnya sebentar. Lalu mengangguk pelan.

“Exacto. Muy bien. Tu nombre?” (Tepat sekali. Bagus. Siapa namamu?)

“Maula Chulpan Maximillian, de Indonesia.” Suara bergema. Beberapa kepala menoleh ke arah Maula.

Hari itu, tanpa ia sadari, Maula telah menancapkan nama dan keberaniannya di antara ratusan mahasiswa. Dan bagi dirinya sendiri, hari itu bukan hanya hari kuliah pertama, melainkan hari ketika rasa takut berubah menjadi rasa percaya diri.

“Indonesia? Tapi namamu seperti bukan dari Indonesia,” ujar profesor tersebut.

“Mamaku, Rusia dan Papaku Las Vegas.” Maula memperjelas dan profesor itu mengangguk.

...***...

Pukul 13.30 siang, matahari Madrid menggantung rendah, menyinari halaman kampus dengan cahaya keemasan.

Kuliah selesai, dan perut Maula mulai menuntut perhatian. Ia menyusuri trotoar kecil menuju Cafetería de Medicina, kantin khusus yang terletak di belakang gedung Fakultas Kedokteran. Bangunannya sederhana tapi modern, dengan dinding kaca yang memperlihatkan interior terang dan penuh warna.

Di depan pintu masuk, aroma khas masakan Spanyol menyambutnya, kombinasi dari roti panggang, keju manchego, daging chorizo, dan tomat yang ditumis dalam minyak zaitun.

Maula mengambil nampan dan mengikuti antrean mahasiswa lain. Di belakangnya, sekelompok mahasiswi berbicara cepat dalam bahasa Spanyol, tertawa tanpa beban.

Sofia tidak ikut karena dia sedang berpuasa sunnah.

“Quieres lentejas o pasta?” tanya petugas kantin.

Maula menunjuk pasta dan menambahkan sepotong tortilla española—omelet kentang khas Spanyol—serta jus jeruk segar. Ia lalu mencari tempat duduk di pojok, mencoba menikmati makan siang dalam diam.

Tapi tak lama, seseorang menghampiri.

“Puedo sentarme aquí?” (Boleh aku duduk di sini?)

Seorang mahasiswa perempuan berambut keriting panjang dengan kacamata hitam di atas kepala menatap Maula sambil tersenyum ramah.

“Claro,” jawab Maula, mencoba tampak tenang. (Tentu.)

“Ana. Soy de Sevilla,” katanya sambil menyodorkan tangan. “Maula. De Indonesia,” jawabnya, menjabat tangan Ana yang hangat.

Obrolan mereka dimulai canggung, namun perlahan mencair. Ana membantu menjelaskan menu kampus, memberi tahu bahwa tiap hari menunya berubah, dan pada hari Jumat kadang disediakan paella. Maula, yang masih terbata dalam mendengar aksen Spanyol selatan yang kental, lebih banyak mendengarkan sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, dua mahasiswa lain ikut duduk di meja yang sama. Thomas, pria jangkung dengan jaket kulit dan selera humor sarkastik, serta Lina, mahasiswi asal Kolombia yang sedang kuliah tahun kedua.

“Eres nueva?” tanya Thomas. (Kamu anak baru?)

“Sí, empecé esta semana.” (Ya, aku mulai minggu ini.)

“Ya lo notamos en clase de bioquímica. Qué huevos para responder al profesor Llorente,” celetuk Tomás sambil tertawa.

(Kami semua tahu itu di kelas biokimia. Berani ya kamu jawab pertanyaan Prof. Llorente.)

Maula tertawa pelan. Ia tidak benar-benar sendiri di kampus ini.

Lina berbagi cerita soal masa-masa awalnya di Madrid, adaptasi dengan musim dingin, makanan, bahkan bahasa yang penuh idiom. Ana merekomendasikan tempat nongkrong favorit di Barrio de Malasaña dan mengajak Maula ikut jalan-jalan ke pusat kota akhir pekan ini.

“Te va a encantar Madrid por la noche,” kata Ana. (Kamu pasti akan jatuh cinta pada Madrid di malam hari.)

Maula hanya membalas dengan senyum ringan karena dia tidak tertarik keluar malam, kecuali jika Rayden yang mengajaknya.

Di meja kecil itu, sambil memotong tortilla dan menyeruput jus jeruk, Maula merasa sesuatu yang baru mengalir dalam dirinya seperti koneksi. Bukan sekadar dengan orang-orang asing, tapi dengan versi dirinya yang sedang tumbuh. Yang tak lagi diam, tapi berani menyapa balik dunia.

Hari itu bukan hanya tentang makanan, tapi tentang membuka pintu pertama menuju persahabatan dan tempat bernama ‘rumah’ di negeri orang.

Dia mengirimkan pesan pada Rayden, pesan singkat penuh makna bagi pria itu.

Maula : [Hari ini sangat baik, Ray. Aku bisa menjawab pertanyaan dari profesor tanpa ragu. Bilang pada Papaku kalau anak gadisnya ini sudah jauh lebih baik.]

Maula tersenyum, dia sebenarnya sudah mengirimkan pesan pada kedua orang tuanya.

...•••Bersambung•••...

1
Radella
good
Syaqilla
awesome
Naxed2448
👍
Dewi Dejiya
awesome
Dinda Kirana
Awesome
Khadijah Jaelani
amazing
Iguana Scrub
luar biasa
adi_nata
motor itu kenapa tiba tiba ada ? sudah ada di rumah itu sebelumnya atau diantar seseorang ?
adi_nata: ya .. mungkin memang imajinasiku yang terbatas jadi terkadang agak bingung menangkap alur cerita. cuma bisa fokus pada satu titik keterangan.
🌺Shella BTS🌺: Oh ya beda pandangan ya, tapi kalo dri segi alur sih, mereka kan beberes di rumah dulu dan Rayden sempat bilang kalo rumahnya deket. Jadi ke supermarket ya pake kendaraan Rayden, deket lah bolak balik ke rumah dia 😁
total 6 replies
Khaira Delisya
ada lanjutannya gak Thor🥹🥹
Vebi Gusriyeni: Ada kakak, judulnya SENORITA PERDIDA
total 1 replies
adi_nata
lha dianya sendiri juga biadab.
Vebi Gusriyeni: Namanya juga psikopat
total 1 replies
adi_nata
seorang gadis belia bisa melalukan tindakan brutal semacam ini. luka seperti apa yang mendorongnya ?
adi_nata: oke siap author Vebi
Vebi Gusriyeni: Hehe aman, ntar baca aja dari awal biar gak bingung ya ☺ btw nanti kalo ada salah alur atau kekeliruan di tengah cerita bisa kasih respon dan saran, ntar aku perbaiki. Makasih udah kasih dukungannya ☺☺
total 4 replies
Yuyun Asrifani
Suka🥰
Bunda Rian Putra
terbaik
Ukhty Hawa
Baca dari season 1 sampai ke series ini benar2 menghayati, terbawa suasana hingga susah move on dari tokohnya 👍
Cherry Clode
good
Miami Zena
Awesome
Sader Krena
Amazing
Inay Inayah
keren
Flo Teris
awesome
Alya Nurhidayat
Best
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!