Sepeninggal kedua orang tuanya, Dennis harus menggantungkan hidupnya pada seorang janda kaya bernama Vivianna. Sehari-harinya Dennis bekerja menjadi asisten pribadi Si Tante, termasuk mengurusi pekerjaan sampai ke keperluan kencan Tante Vivianna dengan berbagai pria.
Sampai akhirnya, Dennis mengetahui motif Si Tante yang sesungguhnya sampai rela mengurusi hidup Dennis termasuk ikut campur ke kehidupan cinta pemuda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
“Barang kamu hanya ini?” Om Ikhsan mengangkat tas ranselku. Sepertinya Bahar yang meletakkannya di sana. Karena seingatku, aku kejang di depannya juga. Dan entah bagaimana Tante Vivianna ada di sana di rumahku waktu itu. Ada urusan apa dia di rumahku saat itu ya?
“Dari sejak seminggu yang lalu hanya itu yang bisa saya bawa ke sana kemari. Saya bahkan takut menyentuh lemari saya sendiri.” Kataku. Bajuku saja pinjam Bahar makanya kedodoran begini. Bahkan baju dalam dibelikan ibunya Bahar.
Aku mengikuti Om Ikhsan berjalan menelusuri koridor. Terlihat beberapa suster sampai menatap Om Ikhsan dengan tatapan terpaku, sebagian lagi senyum-senyum, sisanya berbinar.
Iya, Om Ikhsan setampan itu. Seperti model baju batik di aplikasi online toko oren. Ditambah, auranya itu mapan dan sukses. Wanginya saja... entahlah yang jelas bukan Axe atau Romanov yang ada di Indomart. Beda denganku yang ketek aja kusikat pake batu tawas. Wangi-wangian pakai wangi kretek Alias asap rokok. (Hehe). Sabun mandi seadanya, kalau ada nuvo yowes, kalo nggak ada ya so klin kupakai sabunan.
“Hey, Den...” Om Ikhsan tampak menoleh ke belakang ke arahku. “Ayahmu punya hubungan khusus sama Vivi?”
“Ipar ke Ipar, Om.”
“Bukan, maksud saya, melebihi itu.”
“Ya itulah yang dituduhkan oleh orang-orang.” Jawabku seadanya. Kenapa juga dia berusaha mengorek-ngorek keterangan dariku?!
“Mereka nggak punya hutang balas budi?”
“Setahu saya saat Tante Depresi, ayah saya selalu mendampingi. Lalu sebagai balas jasa Tante Vivianna membantu ayah saya di bisnis. Tapi sejak ibu saya cemburuan, hubungan kerjasama mereka berakhir. Sejak itu Tante Vivi seperti menghilang dari kabar berita di keluarga kami.”
“Yakin?”
“Nggak yakin Om, tapi begitulah pengakuannya.”
“Kerena...” Om Ikhsan berhenti dan menatapku. Aku pun menghentikan langkahku. “Kalau memang hubungan mereka berakhir sejak lama, tidak mungkin Vivi dipanggil kepolisian untuk interogasi 14 jam kemarin lusa.”
Aku terdiam.
“Serius Om? Buat apa dia ditanya-tanya?” aku balik bertanya.
“Lah...” keluh Om Ikhsan.
Jujur saja, aku baru tahu kalau Tante Vivi ikut dipanggil polisi. Secara dia tidak ada hubungan apa pun dalam peristiwa ini.
Atau aku yang salah?
“Hubungan orang dewasa rumit Om, saya nggak ngerti.” Kujawab saja begini. Aku pusing harus mikirin ini-itu di waktu yang bersamaan. Tinggal di mana saja aku masih belum tahu. “Om kan pacarnya. Kenapa nggak tanya?”
“Nggak dia jawab.” Sahut Om Ikhsan sambil meneruskan perjalanan kami.
BMWi7 warna merah yang keren banget menunggu kami di lobby RS.
Om Ikhsan masuk ke kursi pengemudi.
Aku masuk ke bagian penumpang.
Kulihat rambut megar-megar Tante Vivianna yang kecoklatan terlihat dari belakang. Ia duduk di sebelah Om Ikhsan.
Mereka berciuman di depanku.
Lalu Tante Vivianna menoleh padaku.
“Kamu malam ini tidur di hotel, sudah saya pesankan kamar. Kalau mau say goodbye sama teman kamu yang gendut itu, lakukan besok pagi. Setelah itu kamu tinggal di rumah saya, kamar kamu sedang disiapkan.” Kata Tante Vivianna.
“Tapi Tante-“
“Jangan protes.” Potongnya. Nadanya lembut tapi tatapannya mengancam. “Besok pagi saya antar ke cafe dekat hotel untuk kalian bicara.”
“Se-enggaknya jelasin detailnya dong.” Gerutuku.
Terdengar tarikan nafasnya yang menandakan kalau ia tak sabar terhadapku.
“Mau nurut atau tinggal saja dengan Pakde kamu?”
“Nurut.” Gumamku. Banyak oertanyaan di benakku.
Banyak sekali.
Seperti... bagaimana ia tahu mengenai hutang ayahku, juga kok dia tahu dengan siapa saja ayahku berhutang.
Lalu dana yang barusan diberikan ke Pakdeku, itu uang siapa? Uang Tante Vivianna atau uang Om Ikhsan?
Juga, kenapa dia di-interogasi polisi?
Dan kenapa dia kemarin ada di rumahku?
Ah sudahlah... biar waktu yang menjawab.
“Nih.” Jemari lentik yang dihiasi kuku-kuku panjang dengan berlian tertempel di atasnya itu menyodorkan beberapa lembar uang merah padaku. “Jajan kamu minggu ini. Gunakan dengan bijak.”
“Saya harus ganti nggak Tante?”
“Iya lah. Saya sudah pecat-pecatin semua pembantu saya. Rese semua.”
“Eh? Gimana?”
“Kamu tidak usah bilang ini ke teman kamu ya, tapi kamu akan saya pekerjakan sebagai asisten saya. Di rumah dan di Kantor. Saya akan gaji kamu, tapi tidak full. Setengah gaji akan saya ambil untuk pelunasan hutang. Yang 250juta tadi kamu jatuhnya berhutang ke saya ya.”
Aku bengong.
“Katanya mau ‘take care’ saya. Malah saya dijadikan Jongos.” Omelku spontan.
Terdengar Om Ikhsan cengengesan.
“Kamu tahu Dennis. Saya ini menghargai privacy. Meanwhile those whore exposed my life to public. Something that supposed not to be shared!” dia mulai sewot.
Dan aku masih mencerna kalimatnya.
“Maksudnya Dennis,” Om Ikhsan langsung pegang kendali. “Tadinya tante kamu ini memiliki beberapa asisten. Rumah tangga dan kantor. Tapi kehidupan Tante Vivianna malah dibagikan di medsos sama mereka, dibumbui dengan skandal dan omongan-omongan buruk. Padahal Tante kamu ini udah gaji mereka besar-besar. “
“Cukuplah dengan orang asing yang saya nggak tahu siapa. Kalau kamu kan keponakan saya, dan kamu laki-laki nggak mungkin dong kamu iri ke saya?!”
Begitulah logika Tante Vivianna.
Lagian apa sih yang mau ku share?
Yatim piatu yang dibuang Pakde budenya, lalu berujung ditekan tantenya dan difungsikan jadi pembantu?
Miris lah.
Kutatap uang di tanganku dan kuhitung jumlahnya. Ada 20 lembar.
Gilaaaaa... aku kaya mendadak.
Dua juta buat anak seumuranku itu banyak loh! Bisa beli action figure transformer berapa piece ya?!
“Ini, laporan BI Checking ayah dan ibumu.” Kata Tante Vivianna sambil menyodorkan beberapa lembar kertas ke arahku.
Malamku di hotel, kupelajari laporan yang tadi dosodorkan Tante Vivianna mengenai daftar hutang orang tuaku, sambil mencari cara membacanya di TikTok. Karena pusing melihat angka yang mencapai miliaran, aku pun akhirnya ke minimarket dan jajan sesukaku.
Ditemani dengan kasur empuk, Netflix, dan jajanan mini market.
Aku pun tidur dengan senyum di wajah tanpa mimpi.
**
“Jadi…” Bahar terlihat memandangku dengan tatapan yang sulit kujelaskan. Antara ragu, tapi sedih. Antara mencoba mengerti aku, tapi aku juga melihat kalau dia agak senang dengan kondisiku. Ia menjeda kalimatnya sebentar, seakan sedang mencari kata-kata yang pas yang tidak menyinggungku.
“Kamu nggak jadi kuliah di PTN?” Begitu sambungan kalimatnya.
Aku mengangguk sekilas.
“Nggak jadi kerja di tempatku juga?” Tanyanya lagi.
“Nggak.” Jawabku.
“Aku nggak ngerti maumu apa, Den.”
“Sama.” Balasku.
Kami pun sama-sama menarik nafas panjang. Kugaruk bekas infus di punggung tanganku, masih nyeri ternyata. Tapi gatal masa nggak digaruk? Bisa stress aku cuma gara-gara bekas jarum.
“Gini Har.” Aku mengetuk-ngetuk meja di depanku. Bahar tampak menyeruput kopi kekinian dari gelas plastiknya. “Aku nggak punya duit, dan kuakui, aku takut tinggal di rumah itu. Aku juga nggak mau terganggu dengan orang yang akan datang ke sana mencariku menagih hutang yang aku tidak tahu untuk apa dana itu digunakan.”
“Kamu sudah cek BI Checking atau apalah itu punya orang tuamu?” Tanya Bahar.
“Sudah, aku tahu tadi malam dari Bank. Kalau ditotalnya sama bunga ya 1,7miliar. Sisanya tidak tercatat karena sepertinya pinjamnya sama saudara.”
“Sebentar lagi sodara-sodaramu datang ke rumahmu meminta hutang dibayar atau rumah dijual dan hasilnya dibagi-bagi.”
Kok intuisi Bahar tepat yaaaa?
“Begitu juga perkiraanku.” Aku menjawab sekenanya karena aku tidak ingin bilang kalau Pakde dan Budeku kemarin sudah duluan menagih.
“Nggak boleh loh kabur dari hutang. Orang tuamu matinya nggak wajar, masih harus didobel dosa hutang.” begitulah Bahar, lidahnya nyelekit tapi sesuai kenyataan. Makanya aku senang berteman dengannya. Tidak seperti orang lain yang menjauhinya, menganggapnya songong. Bahkan kalau mereka tak terima diingatkan Bahar, mereka mulai memukuli sahabatku ini.
Kami mulai berteman saat aku menyelamatkannya dari pembully. Waktu itu Bahar secara nekat menjelaskan bahayanya tawuran, di hadapan 20 anak yang sudah bersiap menggempur kawan di basis dengan parang dan gear mereka.
“Ya satu-satu lah lunasinnya. Aku belum kerja nih, buat sehari-hari aja aku bingung. Tapi aku malah makin depresi kalo didatengi debt collector. Makin jadi stressku kalau DCnya sodara sendiri. Yatim piatu kok ditagih.” Omelku sambil meniru kalimat Om Ikhsan saat menyindir Pakde Budeku.
“Kau benar nih tak mau bilang padaku mengenai lokasi rumah barumu? Share lock aja nggak mau?”
“Nggak boleh, katanya.”
“Kata siapa?”
“Tante Vivianna.”
“Dia tuh siapa sih?”
“Ipar dari ipar.”
“Yakin?”
“Nggak.”
Dan kami pun kembali terdiam.
“Yang jelas, Har,” aku menyeruput kopiku. “Dia mau membantuku menenangkan diri. Bahkan membiayai kebutuhanku sehari-hari. Aku memang tidak akan kuliah di PTN impianku, karena gampang dilacak. Sekolah kan tahu aku diterima dimana saja. Kemungkinan aku akan kuliah di tempat yang Tante Vivianna tunjuk.”
“Atau malah nggak kuliah sama sekali. Langsung kerja kamu. Jadi pembantu atau sopir di rumahnya.” sepertinya Bahar sedang berspekulasi. Herannya, sekali lagi dia tepat. Gila juga nih temenku. Bisa nebak dengan akurat.
“Ya nggak papa asal digaji.” Desisku.
“Ya kalo digaji. Kalau diperas gimana? Kau ingat sodara-sodaramu menyebutnya pela cur. Mungkin benar dia selingkuhan ayahmu. Nggak dapat bapaknya, malah ke anaknya mumpung masih muda ngganteng gini. Diiming-imingi pelunasan hutang, kerja di sana tanpa digaji.”
Aku menyangga daguku ke meja sambil mendengarkan teori Bahar.
“Gimana kalo benar begitu?” Aku balik bertanya ke Bahar.
“Ya gas aja. Kau manfaatkan saja rejeki ini. Untung kau laki-laki.”
Aku melempar Bahar dengan tisu. “Memang otak kau aja yang kotor!” Sahutku sambil cengengesan.
“Memang kamu nggak?” Balasnya padaku.
“Selintas, kuakui, ada bayangan itu. Kayak di komik-komik hentai itu loh. Tapi yaaaa…” aku sedikit mengernyit sambil membayangkan sosok Tante Vivianna. Yang seumuran ibuku. Yang kemarin menamparku padahal aku sedang diinfus baru sadar dari kejang. Beneran dia galaknya melebihi ibuku.
Nggak deh kalo dijadikan pelampiasan. Bisa-bisa aku diikatnya sampai kurus.
Lagian, aku tenang setelah aku tahu dia punya pacar. Om Ikhsan levelnya jauh di atasku.
“Serem kayaknya Har. Nggak jelas dia. Jangan-jangan aku tumbal pesugihan buat obat awet mudanya.” Kataku bermaksud bercanda.
Bahar tersedak kopinya.
Lalu terbahak.
Aku ikut terbahak.
Lalu kami sama-sama diam lagi.
Raut wajah kami berubah serius.
Menyadari kalau mungkin saja aku benar. Aku sebenarnya tumbal pesugihan. Atau santet.
Karena sakit hati pada bapakku, dihabisinya sekeluarga. Beruntung aku malah diajak main sama Bahar.
“Udah tau punya pikiran begitu malah mau ikut aja sama Tante. Orang goblok mana coba?”
“Orang goblok yang ini,” aku menunjuk diriku sendiri, “Sama seperti orang goblok yang mau-maunya ikutan digebuki nolongin kamu gara-gara kau tantang itu para jawara tawuran.”
“Emang kacau otakmu.” sahut Bahar
“Sama otakmu juga.” balasku.
“Makanya pas vaksin covid dateng, bukannya malah sibuk main game! Terkontaminasi virus kan kau!”
“Lah waktu itu kau kan mabar sama aku!”
Dan kami pun kembali tertawa bersama.
“Har, aku nggak bisa kasih tahu dimana aku akan tinggal. Tapi kalau aku kenapa-napa, aku akan ingat nomormu. Kau jangan ganti nomor ya.” Kataku.
“Gimana sih Den! Jangan nakut-nakutin laaah!”
“Ngapain takut sih Har. Nanti kalau kau ulang tahun kukirimi hadiah. Tapi dari alamat random, khehehe.” Aku memukul bahunya.
Bahar tampak cemberut sambil mengelus lengannya yang kupukul. Lalu menarik nafas panjang. “Ya sudahlah kalau itu keputusanmu. Lagian kalau kau tetap tinggal di rumah Om Doni malah aku makin khawatir.”
Kami berdua pun terdiam dan memandang ke arah jalanan kota. Kopi di gelas plastik kami hampir habis.
“AH, Den, keburu aku lupa nih.” Bahar menoel-noel tanganku. Aku pun kembali menatapnya. “Di malam kejadian itu, yang aku jemput kamu dari sekolah.”
“Iya, kamu kan harusnya pulang duluan. Aku kan harus ikut acara pelepasan pangkat dan serah terima jabatan buat Paskibraka.”
“Nah itu. Yang kita akhirnya nongkrong makan Somay? Itu sebenarnya bukan improvisasiku.”
“Ha?” aku tak mengerti.
“Jadi... Om Doni nelpon bapakku sorenya. Katanya kalau bisa Dennis jangan pulang dulu soalnya dia dan Tante Rahayu lagi berantem. Terus dia transfer bapakku 100ribu buat jajan kita nongkrong sampai malam, buat ngulur waktu pulangmu. Eeeeh pas pulang ternyata...”
Tanganku mulai gemetaran.
“Ayahku sama sekali nggak nelpon aku.” Kataku. Suaraku gemetar.
“Ya kayaknya... kalau kamu ditelpon, kamu pasti akan langsung pulang untuk memisahkan mereka seperti biasa.”
“Harusnya aku bisa langsung pulang untuk mencegah hal itu terjadi Har!” aku gebrak meja.
“Den, kalau dipikir... kalau kamu langsung pulang, kamu bakal mati juga nggak sih Den?”
Apakah itu kode dari ayahku?
Ia berusaha membuatku kenyang dulu, sehingga aku nggak makan sate di rumah karena kekenyangan somay.
Lagipula, siapa yang akan nafsu makan saat mendapati kedua orang tua sudah begitu keadaannya?
Jadi mereka berdua tidak bundir?
Atau... jangan-jangan tersangkanya...
Ah! Tidak! Tidak!
Jangan berspekulasi macam-macam dulu.
“Bapakmu sudah lapor polisi mengenai hal ini?” tanyaku
“Sudah dari awal, Den. Makanya polisi memanggil bapakku ke kantor untuk dimintai keterangan. Tapiiii, bapakku dan Tante Vivianna ketemu di polda, mereka sama-sama menjalani interogasi di ruang terpisah.”
Aku membesarkan mataku.
Kaget.
“Beneran Tante Vivianna dipanggil ke Polda ya?!” tanyaku. Aku sangat ingin tahu hal ini.
“Tampang kayak gitu nggak mungkin dilupakan bapakku Den. Makanya bapakku kaget waktu pemakaman kemarin, Si Tante muncul di sana.”
“Kenapa kamu nggak bilang padaku sih?”
“Aku baru tahu kemarin malam Den, bapakku cerita waktu aku ngabarin kalau kamu udah dijemput sama Tante Vivianna dari RS.”
Dan setelah itu... BMW i7 merah parkir di depan cafe.
Aku sudah dijemput.
Maka, kutarik nafas panjang dan aku mencoba menguasai diriku lagi.
Aku harus menunjukkan wajah normal ke Bahar.
Aku tak ingin dia kepikiran akan keadaanku.
“Bro, nih hard-diskku. Ada 100 game yang udah kuinstal di sini. Kalau kamu kangen aku, mainkan saja.” Aku menyerahkan lempengan kotak hitam pada Bahar.
“Nggak ada yang aneh-aneh kan di sini?” tanya Bahar sambil cengengesan.
“Ya ada dong Bahaaar, kita cowok normal!” sahutku sambil mengacak-acak rambutnya yang tipis.
Kami pun berpelukan, salam tempel.
Lalu aku pun masuk ke dalam mobil mewah Tante Vivianna.
memancing di danau keruh
dan boom dapat ikan 🤣😂
ngerti kebiasaAne othor yg maha segala