Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23: The Bones of the Mountain
Tiga hari setelah penyerangan menara, kota Ravennor mulai terasa berbeda.
Jalan-jalan jadi lebih sunyi. Bisik-bisik menggantikan orasi. Mata-mata asing berkeliaran—tak memakai baju zirah, tak membawa pedang. Tapi mereka membawa sesuatu yang lebih berbahaya: keraguan.
Seraphine berjalan melewati pasar pagi, menyamar dalam jubah kelabu. Ia menyimak, bukan memimpin. Mendengarkan, bukan memberi perintah.
“Kau lihat tanda hitam di tangan mereka?”
“Kudengar mereka bukan dari Ravennor. Mereka menyebut Orin sebagai Yang Tak Bernama…”
“Katanya dia bisa bicara pada orang mati.”
Desas-desus tumbuh seperti jamur di sisa-sisa kekuasaan lama. Dan Seraphine tahu: ini bukan sekadar rumor. Ini adalah panggung baru, dan Orin sudah memulainya lebih dulu.
Di ruang bawah tanah Dewan Baru, Caelum membentangkan peta.
Titik-titik merah menandai lokasi korban dengan luka aneh—tubuh kaku, mata terbuka, tapi tak bernyawa.
Ash berdiri di sampingnya, tangan kanan bergetar.
“Ini bukan sihir biasa,” kata Ash. “Aku bisa rasakan jejaknya. Bukan hanya mencabut nyawa… tapi menukar jiwa.”
Caelum mengangguk. “Dan kau yakin ini Orin?”
Ash terdiam. “Tak sepenuhnya. Tapi... hanya satu orang yang pernah mempelajari sihir hitam dari Kitab Arkhana—dan ia pernah bersumpah tidak akan membukanya. Tapi janji, seperti kerajaan, bisa runtuh.”
Sementara itu, di tempat lain—jauh di bawah kota—Orin menghadap cermin besar yang terbuat dari obsidian. Tapi yang ia lihat bukan pantulan dirinya, melainkan masa depan.
Seseorang berdiri di atas reruntuhan istana. Bukan Seraphine. Bukan Caelum. Bukan dia sendiri.
Tapi… wajahnya diselimuti bayangan.
Orin tersenyum kecil. “Kau akan datang juga, akhirnya.”
Di belakangnya, para pengikutnya—yang menyebut diri mereka Umbrae, atau “Bayangan”—mengangkat senjata tak terlihat. Senjata mereka bukan baja, tapi bisikan. Mereka menyusup ke sistem, masuk ke dewan, meracuni dari dalam.
Orin tidak akan merebut Ravennor lewat perang.
Ia akan membuatnya menyerah dari dalam.
Satu malam, Seraphine dipanggil ke ruang rahasia oleh Ash. Di sana, seorang tahanan duduk—terikat dengan rantai sihir.
Seorang anak muda. Tapi matanya gelap, suaranya datar.
“Kami tak ingin membunuh Ravennor,” katanya.
“Kami ingin menghapus konsep ‘kerajaan’. Termasuk kalian.”
Ash bergumam, “Mereka bukan pengikut Orin. Mereka adalah sesuatu yang lain…”
Caelum masuk, membawa selembar kertas. Surat yang ditemukan di tubuh salah satu korban.
Isinya hanya satu kalimat:
“Matahari tidak dibunuh. Ia ditutupi.”
Seraphine kembali ke puncak istana.
Angin malam membelai wajahnya. Dari kejauhan, ia bisa melihat kota masih menyala. Tapi api itu mulai berubah warna—bukan cahaya harapan, tapi lidah gelap yang menari.
“Ini bukan tentang siapa yang memimpin lagi,” katanya pelan.
“Ini tentang siapa yang berani tetap sadar saat semua orang memilih menjadi bayangan.”
Ia tahu satu hal pasti:
Perang ini tidak akan punya pemenang.
Karena semua pihak sudah mulai berubah bentuk.
Malam itu, Ash dan Seraphine menuruni lorong-lorong tersembunyi di bawah kota. Di tangan Ash tergenggam kunci dari batu giok hitam, yang hanya bisa dipakai di satu tempat: Pintu Rahasia Arkhana, tempat yang pernah dilarang oleh semua raja Ravennor.
“Ini bukan cuma ruang bawah tanah,” ujar Ash.
“Ini makam. Dan bukan untuk orang mati… tapi untuk hal yang tak seharusnya hidup.”
Mereka menyusuri lorong kuno, berdinding batu yang dipahat dengan simbol-simbol tua yang bahkan Caelum tak bisa terjemahkan. Di dinding tertulis nama-nama… yang dicoret. Seolah-olah mereka tak dihapus, tapi dihilangkan dari keberadaan.
Akhirnya, mereka sampai di ruangan berbentuk lingkaran. Di tengahnya ada altar, dan di atasnya: buku besar yang terbuat dari kulit manusia.
Kitab itu bergerak… bernapas.
Seraphine mundur selangkah. “Kitab Arkhana…?”
Ash mengangguk. Tapi sebelum dia menyentuhnya, sebuah suara menggaung di dalam ruangan—bukan dari bibir, tapi dari dalam kepala mereka.
"Namamu tak berarti di sini. Tapi darahmu mengingat."
Seraphine memejamkan mata. Ia melihat kilatan masa lalu. Seorang perempuan berjubah putih, dikelilingi api. Seorang lelaki dengan dua wajah. Dan seorang anak kecil… duduk di tahta, sementara dunia di sekelilingnya runtuh.
Ia tersentak.
“Itu bukan Orin.”
Ash menoleh. “Apa maksudmu?”
Seraphine memandangi dinding—dan menemukan lukisan tua yang tertutup debu. Ia menyekanya, dan melihat wajah seorang anak kecil… mirip Orin, tapi matanya lebih tua, lebih kelam.
“Orin bukan yang pertama disebut ‘Yang Tak Bernama’.”
“Dia hanya… pewaris.”
Sementara itu, di permukaan, Caelum berdiri di hadapan dewan baru. Beberapa anggota mulai berubah sikap. Satu mulai meragukan Seraphine. Yang lain mengusulkan pemilihan umum. Tapi sebagian… diam. Terlalu diam.
Caelum memperhatikan mereka dengan cermat.
"Mereka sudah dimasuki Umbrae," bisik salah satu penasihat.
"Orin tak butuh kudeta. Dia cuma perlu waktu."
Caelum mengepal tangannya. Ia tahu bahwa kekuatan bukan lagi soal sihir atau pasukan.
Tapi tentang cerita mana yang dipercaya rakyat.
Kembali di ruang bawah tanah, Ash akhirnya membuka Kitab Arkhana. Cahaya gelap menyembur dari dalamnya. Dan dari bayangan itu, muncul sosok... bukan Orin, bukan manusia, bukan iblis. Tapi konsep yang hidup—ideologi purba.
“Aku adalah kehampaan yang kau sembah tanpa sadar. Aku hadir saat kalian berhenti bertanya. Saat kalian memilih diam.”
Seraphine menatap makhluk itu. “Apa yang kau inginkan?”
“Bukan tahta. Bukan darah.”
“Cukup… kekosongan. Hingga Ravennor lupa bahwa ia pernah hidup.”
Makhluk itu tertawa, dan lorong pun mulai runtuh.
Ash menarik Seraphine. “Kita harus tutup tempat ini!”
Tapi sebelum keluar, Seraphine menoleh sekali lagi ke kitab yang mulai menyatu dengan batu. Dan ia bersumpah: suara tawa itu… bukan hanya dari makhluk itu.
Tapi juga… dari dalam dirinya sendiri.
Di malam yang hujan, Seraphine duduk sendirian di reruntuhan kuil kuno. Gaung suara tawa dari lorong Arkhana masih menggema di kepalanya. Ia menatap tangannya sendiri… dan melihat jejak gelap samar—seperti bekas sentuhan makhluk itu masih tertinggal di kulitnya.
“Kalau kehampaan itu tumbuh dalam diam…” gumamnya,
“…maka siapa aku sekarang, kalau aku justru memilih untuk diam tentang yang kulihat?”
Caelum sedang membakar dokumen di ruang kerjanya. Ia sudah tahu. Beberapa anggota dewan mulai menjual informasi kepada loyalis lama. Bahkan ada desas-desus: Orin tidak lagi mengendalikan Umbrae… tapi sedang dikendalikan oleh sesuatu yang jauh lebih tua.
“Seseorang, atau sesuatu, menyusup ke takdir Ravennor sejak awal,” kata Caelum ke Ash.
“Dan kita… cuma bagian kecil dari permainan mereka.”
Ash mengangguk, namun wajahnya tidak menunjukkan keraguan—justru kepastian yang lebih kelam.
“Kalau begitu, mari kita ganggu permainan mereka.”
Sementara itu, Orin duduk di singgasananya. Sunyi. Hanya obor yang menyala dengan api biru—bukan sihir biasa, tapi nyala dari dimensi antara hidup dan mati.
Seorang pelayan datang membawa kabar: “Pasukan Utara menolak tunduk. Mereka memilih membakar wilayah mereka sendiri daripada mengakui Anda.”
Orin mengangguk… lalu berjalan ke jendela besar di ruang tahtanya.
“Biarkan mereka terbakar,” katanya datar.
“Tapi kirimkan surat belasungkawa, tulis tangan. Rakyat suka pemimpin yang pura-pura peduli.”
Di belakangnya, bayangan makhluk dari Arkhana muncul di cermin. Orin melihatnya… dan tersenyum tipis.
“Seraphine masih percaya dirinya lebih baik dariku.
Tapi dia lupa…”
“…aku diciptakan oleh sistem yang dia coba hancurkan.”
Kembali ke Seraphine, ia kembali ke Perpustakaan Tengah dan memanggil sosok misterius: Elowen, penyihir abadi yang pernah bersumpah tak akan mencampuri urusan manusia lagi.
“Kau sudah menari terlalu dekat dengan kematian, Seraphine,” ujar Elowen.
“Tapi yang lebih bahaya… kau mulai menikmatinya.”
Seraphine menggertakkan giginya. “Aku butuh tahu kebenarannya.”
Elowen menggeleng. “Kebenaran bukan kunci. Itu jebakan. Tapi kalau kau ingin melanjutkan…”
Ia mengeluarkan sesuatu: belati dari tulang dewa yang pernah mati karena kepercayaan rakyatnya sendiDi malam yang hujan, Seraphine duduk sendirian di reruntuhan kuil kuno. Gaung suara tawa dari lorong Arkhana masih menggema di kepalanya. Ia menatap tangannya sendiri… dan melihat jejak gelap samar—seperti bekas sentuhan makhluk itu masih tertinggal di kulitnya.
> “Kalau kehampaan itu tumbuh dalam diam…” gumamnya,
“…maka siapa aku sekarang, kalau aku justru memilih untuk diam tentang yang kulihat?”
---
Caelum sedang membakar dokumen di ruang kerjanya. Ia sudah tahu. Beberapa anggota dewan mulai menjual informasi kepada loyalis lama. Bahkan ada desas-desus: Orin tidak lagi mengendalikan Umbrae… tapi sedang dikendalikan oleh sesuatu yang jauh lebih tua.
> “Seseorang, atau sesuatu, menyusup ke takdir Ravennor sejak awal,” kata Caelum ke Ash.
“Dan kita… cuma bagian kecil dari permainan mereka.”
Ash mengangguk, namun wajahnya tidak menunjukkan keraguan—justru kepastian yang lebih kelam.
> “Kalau begitu, mari kita ganggu permainan mereka.”
---
Sementara itu, Orin duduk di singgasananya. Sunyi. Hanya obor yang menyala dengan api biru—bukan sihir biasa, tapi nyala dari dimensi antara hidup dan mati.
Seorang pelayan datang membawa kabar: “Pasukan Utara menolak tunduk. Mereka memilih membakar wilayah mereka sendiri daripada mengakui Anda.”
Orin mengangguk… lalu berjalan ke jendela besar di ruang tahtanya.
> “Biarkan mereka terbakar,” katanya datar.
“Tapi kirimkan surat belasungkawa, tulis tangan. Rakyat suka pemimpin yang pura-pura peduli.”
Di belakangnya, bayangan makhluk dari Arkhana muncul di cermin. Orin melihatnya… dan tersenyum tipis.
> “Seraphine masih percaya dirinya lebih baik dariku.
Tapi dia lupa…”
“…aku diciptakan oleh sistem yang dia coba hancurkan.”
---
Kembali ke Seraphine, ia kembali ke Perpustakaan Tengah dan memanggil sosok misterius: Elowen, penyihir abadi yang pernah bersumpah tak akan mencampuri urusan manusia lagi.
> “Kau sudah menari terlalu dekat dengan kematian, Seraphine,” ujar Elowen.
“Tapi yang lebih bahaya… kau mulai menikmatinya.”
Seraphine menggertakkan giginya. “Aku butuh tahu kebenarannya.”
Elowen menggeleng. “Kebenaran bukan kunci. Itu jebakan. Tapi kalau kau ingin melanjutkan…”
Ia mengeluarkan sesuatu: belati dari tulang dewa yang pernah mati karena kepercayaan rakyatnya sendiri.
> “Ini bisa membunuh siapa pun… bahkan ideologi.”
Seraphine menerima belati itu. Tangannya gemetar. Tapi matanya tegas.
> “Kalau kepercayaan rakyat bisa menciptakan dewa...
...maka aku akan jadi orang pertama yang membunuh satu.”
ri.
“Ini bisa membunuh siapa pun… bahkan ideologi.”
Seraphine menerima belati itu. Tangannya gemetar. Tapi matanya tegas.
“Kalau kepercayaan rakyat bisa menciptakan dewa...
...maka aku akan jadi orang pertama yang membunuh satu.”
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~