Karya Asli By Kiboy.
Araya—serta kekurangan dan perjuangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KiboyGemoy!, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Araya menghela napas panjang saat menatap pintu rumahnya yang tertutup. Gadis itu menutup matanya sejenak, saat sudah merasa yakin ia mengangkat tangannya sial untuk mengetuk.
"Kamu harus bersikap dewasa dan bertanggungjawab, Araya."
Tok
Tok
Tanpa menunggu lama pintu terbuka, menampilkan Ibu Araya yang sudah melayang kan tatapan tajam. Terlihat mata wanita itu membengkak, wajahnya pun semakin keriput.
"Untuk apa kamu ke-mari?" tanya Rasti, suara wanita itu terdengar tidak suka dengan kehadiran anaknya.
"Ma... Araya bingung harus ke mana." Araya menunduk, tidak berani menatap Rasti.
Rasti melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Araya dari bawah hingga ke atas. Dada wanita itu naik turun, membuat Araya merasa khawatir.
Rasti membuka pintu dengan lebar, berbalik dan berjalan memasuki rumah.
Araya mendongak, ia pikir Rasti akan meneriakinya dengan setiap kata kasar yang keluar dari mulut wanita itu. Namun, ternyata tidak. Ada sedikit rasa lega di hati gadis itu.
Ia pun memberanikan diri memasuki rumah, menutup pintu dan menyusul Rasti menuju dapur.
"Ma, apa Mama sudah tidak marah lagi?"
Rasti tidak menjawab, wanita itu berbalik dan berjalan ke arah kamar Araya. Wanita itu melempar koper besar dengan keras—membuat Araya membulatkan matanya tidak percaya.
Gadis itu berjalan ke arah Rasti, cepat. "Ma, apa ini?" tanyanya.
"Keluar dari rumah ini!" ucap Rasti tenang, namun terdengar menyakitkan.
"Tapi, Ma, Araya harus ke mana?" tanya Araya.
"Mama tidak peduli! Bukankah Mama sudah mengusirmu, huh!" Rasti meninggikan suaranya, mata wanita itu kembali memerah.
Araya mengampil koper yang Rasti buang, kemudian berjalan ke arah Rasti. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca namun ia tidak boleh menangis.
"Ma... maafkan, Araya!" Ia berlutut dalam rasa takut.
Sedangkan Rasti membuang muka, wajah wanita itu mengeras dan memerah karena rasa emosi yang tersulut.
Leher Rasti terasa berat dan serak. Ia menunduk menatap Araya yang bersujud padanya. Wanita itu mengerutkan keningnya dengan erat.
"Araya kamu tau kan kalau Mama tidak suka dengan seorang dancer? Tapi ... " Rasti terdiam, air matanya akan jatuh kapan saja jika ia melanjutkan.
Namun, Rasti tidak peduli yang terpenting ia mengeluarkan suara agar anaknya paham.
"Tapi kenapa ... kenapa kamu selalu bersikeras ingin menjadi seorang dancer?" Lolos, air mata Rasti lolos membasahi pipinya.
Araya yang mengatakan akan menahan air matanya di saat sampai di rumah, gagal. Air mata gadis itu berjatuhan di lantai. Dadanya naik turun menahan rasa sakit yang tersulut, sesak, tertahan, serta menyekat.
Rasti berjongkok, menatap Araya yang masih tidak mengeluarkan suara.
"Mama benci pada seorang dancer, apa kamu dengar?" Walaupun suara Rasti terdengar santai, namun penuh tekanan pada setiap kata yang dia ucapkan.
Air mata Araya semakin deras, kedua tangannya mengatup keras. Gadis itu mendongak dengan keadaan wajah yang sudah babak belur akan kenyataan.
"A-araya ..." Ia berusaha untuk bersuara.
"Araya akan berhenti asal Mama menerimaku! A-araya BERJANJI!" ucapnya yakin, namun penuh dengan kehancuran.
Rasti tersenyum, memeluk Araya dengan erat. "Baik, Mama akan menerimamu kembali," ucapnya merasa lega.
Sedangkan Araya, air matanya terus mengalir dengan dada yang terasa ingin hancur berkeping-keping.
Gadis itu mengangguk. "Iya, Ma!"
(╥﹏╥)
Di dalam kamar.
Araya bersandar pada dinding, menangis sebisa-bisanya, memukul lantai dengan kuat mengabaikan rasa sakit pada tangannya.
Sejujurnya yang sakit adalah hatinya, gadis itu benar-benar tidak punya pilihan selain melampiaskan amarahnya pada lantai dan juga memukul dadanya dengan kuat.
Menangis dalam diam agar tidak ketahuan. "M-maaf kan Araya, Ma! Bagaimana pun menjadi seorang dancer adalah impianku. Seperti, Ayah!"
(╥﹏╥)
Ke-esokan harinya, Araya keluar dari kamar. Gadis itu disambut dengan senyuman yang sudah lama ia rindukan.
"Pagi, Araya, mari sarapan," ucap Rasti.
Araya menatap wajah Rasti dengan lekat, mata yang membengkak serta wajah yang lusuh kini berubah menjadi ceria lagi. Sebenci itukah Rasti dengan seorang dancer?
Araya melangkah, kemudian mendudukkan dirinya di kursi meja makan. Ia mulai melahap makanan yang sudah Rasti siapkan untuknya.
"Apakah enak?" tanya Rasti.
Araya mengangguk namun sulit untuk mengekpresikan bagaimana enaknya makanan milik Rasti.
"Baguslah, makanlah dengan banyak," ucap Rasti ikut mendudukkan dirinya namun tidak ikut sarapan.
Araya menjadi kikuk dibuatnya.
"Mama lega kamu memutuskan untuk tidak latihan dance lagi." Mendengar kata lega dari mulut Rasti membuat Araya tenang, namun tidak dengan hatinya yang berhenti sejenak menahan sesak.
"Ada banyak yang bisa kamu lakukan, Araya. Dance tidak lah berguna untuk masa depanmu," lanjutnya.
Araya menatap Rasti lalu berucap lirih, "Araya, bingung."
"Untuk apa bingung. Nilaimu bagus, jadi... kamu jadilah seorang pengusaha," ucap Rasti lembut.
Araya tidak lagi melanjutkan makannya, ia menatap Rasti dan mendengar setiap kata yang akan terucap.
"Mama kadang iri pada tetangga yang anaknya sukses menjadi seorang pengusaha. Kamu... harus mencontohnya." Wanita itu tersenyum ke arah Araya.
"Seorang pengusaha akan selalu dipandang."
(╥﹏╥)
Jangan tanyakan bagaimana keadana Araya saat ini, gadis itu benar-benar berantakan. Hari ini, adalah hari tersial pikirnya.
Bugh!
Karena berjalan sambil melamun gadis itu menabrak punggung seseorang. Dengan wajah datar tanpa rasa bersalah, Araya meminta maaf.
"Maaf," ucapnya datar, namun jujur saja kata itu terucap dari hati.
Rifan yang ditabrak menoleh, menatap tajam ke arah Araya yang tetap datar.
"Sengaja?" tanya Rifan.
"Aku minta maaf, aku merasa menyesal." Gadis itu kembali membuka suara, meminta maaf namun terdengar tidak ikhlas. Datar dan tidak merasa meyesal.
Rifan menyipitkan matanya.
Merasa Rifan tidak puas dengan permintaan maafnya Araya menundukkan sedikit badannya. "Maaf," ucapnya setelah itu berlalu pergi.
Rifan sedikit memiringkan kepalanya merasa aneh dengan Araya. Walaupun gadis itu memang aneh.
(╥﹏╥)
"Ku harap dia merasa cukup dengan permintaan maafku," batinnya.
Almera mulai membuka pintu kelas, namun sialnya seseorang mengenai sudut pintu tersebut.
"Aw!"
Dengan gerakan cepat Araya memegang bahu Naya. "Naya, apa kamu baik-baik saja," tanyanya.
Araya memegang jidatnya yang nyut-nyutan. "Tidak. Tidak apa-apa Araya," ucap Naya sedikit menjauh.
"Maaf," ucap Araya merasa menyesal.
Di luar pintu sudah ada Rifan yang berdiri, mwnatap kedua gadis yang entah apa yang mereka lakukan namun itu benar-benar menghalangi jalannya.
"Bisa minggir?"
Araya menoleh, dengan cepat ia menghindar, membiarkan Rifan berjalan masuk ke dalam kelas.
Rifan berhenti sejenak, ia menatap Naya yang nampak menahan rasa sakit pada jidatnya. "Apa kakimu baik-baik saja?" tanya Rifan.
Naya menoleh ke arah pemuda itu, kemudian tersenyum. "Hm, hanya keseleo dikit. Tapi, sekarang jidatku yang terasa sakit," ucapnya.
Ara benar-benar tidak merasa enak mendengar hal itu. "Maaf, Naya, aku tidak tahu."
Naya mengangguk. "Tidak apa-apa, Araya. Ini akan membaik." Naya berbalik kemudian melamgkah ke bangkunya.
Sedangkan Rifan menatap Araya yang nampak sudah merencanakan semuanya. Masa bodoh, pemuda itu berjalan ke bangkunya.