Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Kencan Tak Bernama
📝 Diary Mentari – Bab 33
“Kadang seseorang datang bukan untuk langsung dimiliki, tapi untuk menemani saat hati masih belajar membuka diri.”
...****************...
Hari-hari terasa berbeda sejak aku mengenal Bintang. Waktu terasa lebih cepat berlalu, seakan ada yang membuat langkahku terasa lebih ringan setiap kali menyusuri jalanan Ubud sepulang kerja. Bintang, cowok asli Ubud berkulit sawo matang dengan brewok tipis dan senyum hangat itu, selalu menungguku di depan toko patung milik keluarganya. Tak pernah sekalipun dia absen menyapaku dengan semangat, seperti matahari yang menyapa dedaunan setiap pagi.
Setelah aku selesai kerja, dia akan mengajakku makan malam. Awalnya aku canggung. Aku tidak terbiasa makan di luar, apalagi di restoran yang kelihatan mahal dan terang dengan lampu gantung artistik dan dentingan alat makan dari meja sebelah. Tapi Bintang selalu berhasil membuatku merasa nyaman, seolah kehadiranku sudah ditunggu di tempat-tempat itu.
Malam itu, kami duduk di pojok restoran kecil yang asri di Ubud. Di hadapan kami dua piring nasi goreng kacang polong mengepul dengan wangi yang menggoda. Ini pertama kalinya aku makan makanan seperti ini—disajikan rapi, dihiasi daun selada, dan disajikan oleh pelayan yang ramah. Aku hanya memakai blus putih polos dan rok hitam kerja yang biasa, tapi Bintang tak terlihat risih sama sekali.
“Aku menyukaimu, Tari,” katanya tiba-tiba, sambil menatapku dengan mata hangatnya. “Aku sudah menyukaimu sejak pertama kali melihatmu lewat depan toko itu. Kamu beda. Ada sesuatu yang bikin aku nggak bisa berhenti mikirin kamu.”
Aku terdiam sejenak. Pipiku memanas. Kalimat itu bukan pertama yang pernah kudengar dari laki-laki, tapi entah mengapa, kali ini terasa lebih jujur. Lebih tulus. Namun aku tahu, aku belum siap.
“Aku masih belum mau pacaran, Bintang,” jawabku pelan tapi pasti. “Aku masih mau fokus kerja dulu, memperbaiki hidup, bantu keluarga di kampung. Tapi kita masih bisa jadi teman, kan?”
Bintang tersenyum. “Tentu saja. Aku akan tunggu kamu. Kita jalanin aja pelan-pelan. Aku nggak akan maksa.”
Sejak saat itu, kami tetap sering bersama. Aku dan Bintang masih berteman—atau mungkin lebih dari itu, tapi belum kami beri nama. Kami sering jalan-jalan sore di gang-gang kecil Ubud yang penuh dengan galeri seni dan aroma dupa. Ia memperkenalkanku pada dunia yang belum pernah kusentuh sebelumnya: seni patung, lukisan, bahkan kisah-kisah tentang budaya Bali yang selama ini hanya kudengar dari cerita orang.
Kadang kami hanya duduk di pinggir jalan, menikmati es kelapa muda sambil berbagi cerita. Ia bercerita tentang mimpinya ingin membawa toko patung keluarganya ke tingkat yang lebih tinggi, sementara aku bercerita tentang cita-citaku yang dulu—tentang menjadi jurnalis, tentang dunia tulis-menulis yang perlahan mulai kutinggalkan karena hidup tak selalu ramah.
Satu hari, saat kami duduk di tepi sungai kecil yang sejuk, ia memberikanku sebuah gantungan kunci berbentuk hati yang terbuat dari kayu jati. “Aku buat sendiri,” katanya. “Biar kamu inget Ubud, dan mungkin, inget aku juga.”
Aku hanya tertawa kecil. Tapi saat itu, aku tahu hatiku mulai membuka sedikit demi sedikit. Mungkin bukan untuk cinta, tapi untuk kenyamanan yang baru, untuk perasaan bahwa aku bisa merasa berharga tanpa harus menjadi orang lain.
Walau hatiku belum sepenuhnya terbuka, kehadiran Bintang seperti menjadi pelipur lara. Dalam kesederhanaan dan keasingan di kota orang, ia hadir sebagai kawan yang hangat. Dan mungkin, untuk pertama kalinya sejak kutinggalkan kampung halaman, aku merasa bahwa di Ubud ini, aku tidak sepenuhnya sendiri.
“Beberapa orang tidak datang untuk merusak rencana, tapi untuk menunjukkan bahwa hati juga bisa sembuh dalam kehangatan yang sederhana.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.