NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Beberapa minggu setelah makan malam bersama keluarga Hanif, hari-hari Sekar berjalan lebih ringan. Ia merasa dicintai dan diterima. Setiap pagi dimulai dengan senyuman Hanif dan setiap malam diakhiri dengan pelukan hangat yang membuatnya merasa aman. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia percaya bahwa kebahagiaan itu nyata dan bisa ia genggam.

Namun, pada suatu sore saat ia baru saja selesai mencatat hasil pemeriksaan pasien dan hendak beristirahat sejenak di ruang staf, ponselnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Sekar sempat ragu untuk mengangkatnya, tapi rasa penasaran mendorongnya untuk menjawab.

“Halo?”

Tak ada suara selama beberapa detik. Lalu, terdengar suara berat yang sangat ia kenali—suara yang sudah bertahun-tahun mencoba ia lupakan.

“Sekar… akhirnya kamu angkat juga.”

Tubuh Sekar seketika membeku. Suara itu. Nafas itu. Intonasi yang pernah membuatnya gemetar setiap malam. Ia tidak pernah bisa melupakannya.

“A-ayah…” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada lawan bicaranya.

“Kamu di mana sekarang? Ayah kangen sama kamu…”

Sekar langsung mematikan telepon. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar hebat. Ponselnya hampir terjatuh dari genggaman. Nafasnya memburu, seperti baru saja lari jauh. Ia menatap sekeliling ruangan, seolah memastikan dirinya masih aman.

Meski hari masih terang dan tempat itu penuh orang, rasa takutnya kembali menyeruak.

---

Sore itu, saat jam istirahat tiba, Sekar duduk di taman kecil belakang rumah sakit. Angin sejuk tak mampu meredakan kegelisahannya. Ia memeluk tubuh sendiri, seolah mencoba menguatkan diri. Trauma yang ia pikir sudah terkubur ternyata hanya tertidur, dan kini terbangun kembali.

Langkah kaki ringan mendekat. Hanif muncul membawa dua gelas teh hangat.

“Capek ya?” sapanya lembut.

Sekar tak menjawab. Matanya menatap kosong ke depan.

Hanif memegang pundaknya pelan. Sekar terlonjak sedikit, lalu menoleh. “Oh… Hanif…”

“Ada apa? Kamu kelihatan pucat.”

Sekar menggigit bibir bawahnya. Rasa sungkan membuncah, tapi ia tahu tak bisa terus menyembunyikan semuanya. Kalau ia ingin bebas, ia harus berani menghadapi semuanya—dan Hanif adalah satu-satunya tempat ia bisa bersandar sepenuhnya.

“Ayah tiriku… dia telepon aku tadi.”

Hanif mendadak menegang. “Apa?”

“Dia tahu aku masih hidup. Dia tanya aku di mana.” Suara Sekar bergetar. “Aku matikan teleponnya, tapi aku takut dia akan mencariku lagi.”

Hanif memeluk Sekar. Erat. “Kamu nggak sendirian, Sekar. Aku di sini.”

Sekar menatap Hanif. “Aku… ingin lapor polisi, tapi aku nggak punya bukti. Dia bisa saja mengelak.”

Hanif mengangguk. “Kalau dia mencoba menghubungimu lagi, jawab. Tapi kita atur pertemuan. Biar ada saksi. Aku punya teman polisi, mereka bisa bantu pantau diam-diam.”

Sekar sempat ragu. Tapi kemudian ia mengangguk pelan. “Baik. Aku akan coba.”

---

Keesokan harinya, saat mentari masih enggan muncul sepenuhnya dari balik langit abu-abu, ponsel Sekar kembali bergetar. Sebuah panggilan dari nomor yang membuat napasnya tercekat seketika—ayah tirinya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Sekar menatap layar beberapa detik, menimbang. Ia bisa saja mengabaikannya seperti sebelumnya, tapi entah kenapa hari ini jari-jarinya bergerak menekan tombol hijau.

“Ngg—nggak biasanya kamu jawab, Sekar.” Suara pria itu terdengar lembut, tapi telinga Sekar menangkap nada manipulatif yang dulu sangat ia kenal.

Sekar menarik napas dalam, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski dadanya berdegup kencang. “Ada apa menelepon?”

“Ayah cuma mau bicara,” jawabnya pelan, seperti sedang mencoba mencairkan ketegangan. “Maaf kalau dulu Ayah kasar. Ayah sadar banyak salah. Sekarang Ayah tinggal di hotel dekat sini. Datanglah, kita ngobrol. Hanya sebentar.”

Sekar meremas ujung selimutnya. Kata-katanya terdengar seolah tulus, tapi trauma dalam dirinya tidak mudah percaya. Hatinya berdebar, kepalanya dipenuhi kilasan-kilasan masa lalu—tatapan mengerikan pria itu, sentuhan yang membuatnya ingin lenyap dari dunia. Dan kini, pria yang sama memintanya datang seperti tidak pernah ada luka yang ditorehkan.

Sekar menggigit bibir. Ia menahan gemetar dalam suaranya. “Kirim saja lokasinya.”

Tanpa menjawab, pria itu menutup telepon. Hanya beberapa menit kemudian, sebuah tautan sharelock masuk ke ponselnya. Nama hotel itu membuat tengkuk Sekar merinding—bukan karena tempatnya, tapi karena kini jarak antara dirinya dan si iblis masa lalu semakin nyata. Hotel di pusat kota, hanya beberapa kilometer dari tempat mereka tinggal.

Sekar mengusap wajahnya, mencoba mengatur napas. Kemudian, ia meneruskan lokasi itu ke Hanif, tanpa banyak kata. Tapi Hanif yang membaca pesannya segera tahu bahwa ini bukan hal kecil.

Hanif langsung meneleponnya. “Kamu nggak sendirian, Sekar. Jangan ke sana dulu. Aku akan atur semuanya. Percayakan ini ke aku.”

Nada tegas dan tenang dari Hanif seketika membuat Sekar merasa sedikit lebih kuat. Ia tidak sendiri kali ini. Tidak lagi harus menghadapi mimpi buruk itu dengan ketakutan dan rasa malu. Hanif tahu segalanya, dan ia tidak menjauh. Justru kini, pria itu menjadi tameng yang ia butuhkan.

Hanif kemudian menghubungi beberapa rekan polisinya, menceritakan kronologis dan mengatur strategi. “Kita nggak bisa tangkap dia hanya berdasarkan cerita. Tapi kalau dia datang dan ada niat jahat, kita bisa jerat dia. Kita harus punya bukti,” katanya tegas.

Sekar, dengan jantung yang masih berdegup kencang, mengangguk kecil walau Hanif tak bisa melihat. Ia tahu ini langkah berbahaya, tapi ia juga tahu ini bisa jadi satu-satunya jalan untuk benar-benar lepas dari bayang-bayang kelam itu.

Dan kali ini, ia tidak akan lari..

---

Malam itu, Sekar mengenakan pakaian sopan—rok panjang dan blus lengan panjang. Rambutnya diikat sederhana. Di balik tubuh ringkihnya, ada keberanian baru yang tumbuh: keberanian untuk menghadapi masa lalu.

Hanif mengantar sampai ke lobi hotel. “Kalau kamu takut, kamu tinggal bilang. Kami akan langsung masuk.”

Sekar mengangguk. Ia menggenggam tangan Hanif. “Terima kasih… sudah percaya aku bisa melewati ini.”

“Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan,” Hanif membalas.

Sekar naik sendiri ke lantai enam. Lorong hotel sepi, hanya suara pendingin udara yang terdengar. Ia berdiri di depan pintu kamar 608, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk.

Pintu terbuka, menampilkan wajah pria paruh baya dengan mata licik yang masih sama seperti dulu. Begitu melihat Sekar, ia tersenyum miring dan menarik tangan gadis itu masuk sebelum sempat berkata apa-apa.

“Sekar… akhirnya kamu datang juga.”

“Lepaskan aku, Ayah!”

Namun tangan pria itu semakin erat mencengkeram. Pintu dikunci dari dalam. Ia mendorong Sekar ke tempat tidur, mencoba mencium wajahnya.

“Jangan pura-pura suci. Dulu kamu juga suka kan?”

Sekar menahan muntah. Ia menendang tubuh pria itu, tapi tidak berhasil mendorongnya jauh.

“LEPASKAN AKU!”

Ia berteriak, sekeras mungkin. Dan terus berteriak hingga dua menit berlalu—dan akhirnya pintu didobrak paksa oleh staf hotel yang sudah diberi aba-aba oleh polisi.

Beberapa petugas langsung masuk dan menyaksikan pemandangan mengerikan: pria itu di atas tubuh Sekar, bertelanjang dada, sementara pakaian Sekar sudah kusut dan robek di bagian bahu dan rok bawahnya. Sekar menangis, wajahnya penuh ketakutan.

“ANGKAT TANGAN! JANGAN BERGERAK!” teriak polisi.

Ayah tirinya terkejut dan berusaha berdalih, tapi para polisi langsung memborgolnya.

Hanif datang beberapa detik kemudian, menerobos masuk begitu diberi izin. Ia langsung berlutut di samping Sekar, memeluknya erat.

“Sssshh… aku di sini, kamu aman, kamu aman sekarang…”

Sekar membenamkan wajahnya di dada Hanif, tubuhnya masih gemetar. Tapi untuk pertama kalinya, air mata yang jatuh membawa rasa lega. Ia tak lagi sendirian. Ia telah bertarung, dan kali ini… ia menang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!